The Fault In Our Stars (2014)
Bagaimana seni administrasi paling klise untuk membuat sebuah film tearjerker? Tentu saja dengan membuat huruf utamanya sakit parah bahkan sekarat, kemudian tempatkan orang yang ia sayangi entah itu pacar atau keluarga di sekitarnya. Ingin lebih klise lagi maka buatlah penyakit yang diderita sang huruf utama ialah kanker. Kisah "cengeng" ihwal seorang tokoh yang sekarat akhir kanker memang sudah terlalu banyak dieksploitasi khususnya oleh perfilman Hollywood dan Korea Selatan. Dengan forumla yang itu-itu saja serta plot yang sudah sanggup ditebak akan berjalan ibarat apa dari awal hingga akhir, yang dipedulikan oleh film semacam itu ialah bagaimana membuat penontonnya meneteskan air mata...sebanyak mungkin. Tapi toh seburuk apapun film dengan dongeng semacam itu akan menjadi guilty pleasure jika sanggup membuat penonton menangis sejadi-jadinya. Tapi bukan berarti semua film yang mengangkat kanker terasa klise, alasannya ialah ada segelintir film yang mengambil pendekatan berbeda. Salah satu yang paling gres ialah 50/50 dimana film itu memiih untuk "mentertawakan" nasib tragis karakternya. The Fault in Our Stars yang diangkat dari nove berjudul sama karya John Green ini jujur saja cukup menjanjikan mengingat naskahnya ditulis oleh duet Michael H. Webber dan Scott Neustandter yang juga menulis (500) Days of Summer dan The Spectacular Now, dua film yang berbasis dongeng klise tapi dikembangkan dengan kreatif.
Hazel Grace (Shailene Woodley) ialah gadis berusia 16 tahun yang menderita kanker paru-paru stadium empat. Bagi Hazel sendiri ajal sudah bukan sesuatu yang begitu ia takuti lagi mengingat ketika usia 13 tahun beliau sudah nyaris mengalami hal itu. Tapi sang ibu yang merasa bahwa Hazel mengalami depresi dan butuh lebih banyak teman di dekatnya menyuruh Hazel untuk menghadiri sebuah support group para penderita kanker. Demi menenangkan sang ibu, mau tidak mau Hazel pun terpaksa mendatangi lembaga tersebut. Disanalah ia bertemu dengan Augustus "Gus" Waters (Ansel Elgort) seorang cowok yang sempat menderita Osteosarcoma. Meski kanker Gus sekarang sudah tidak lagi kambuh, imbas dari penyakit tersebut membuat kaki kanannya harus diamputasi. Tidak butuh waktu usang bagi keduanya untuk menjadi dekat dan perlahan jatuh cinta. Bagi Hazel sendiri, kehadiran Gus tidak hanya memperlihatkan banyak santunan bagi dirinya tapi memunculkan kembali rasa bahagia dan tawa yang sempat cukup usang sulit untuk ia dapatkan. Sampai disini bukankah plot-nya terdengar klise? Bahkan apa yang terjadi pada karenanya pun niscaya sudah sanggup ditebak sedari awal meski kemunculan twist menjelang simpulan memperlihatkan imbas yang berbeda meski punya inti yang tolong-menolong tidak jauh berbeda. Tapi ibarat yang sudah saya duga, berkat penyesuaian naskah dari duet Webber dan Neustandter, The Fault in Our Stars tidak hanya menjadi sebuah drama tearjerker yang cengeng. Film ini lebih dari itu.
Film ini memang mengharukan tapi tidak cengeng. Alih-alih memperlihatkan momen-momen dramatis dengan scoring menyayat, film ini bertutur dengan lebih sederhana tapi disisi lain lebih mendalam pada eksplorasinya mengenai aneka macam aspek kehidupan. Banyak film tearjerker tidak terlalu mempedulikan kualitas naskah serta plot dari awal hingga pertengahan. Semuanya hanyalah sebagai set-up atau pengisi durasi sebelum hingga pada momen grand diakhir yang akan dieksploitasi habis-habisan suapaya sesedih mungkin. The Fault in Our Stars justru sebaliknya dimana film ini lebih banyak berfokus pada proses yang terjadi daripada akhirnya. Fokus utamanya ialah memperlihatkan bagaimana mereka yang seolah tinggal menunggu hari ajal mereka tetap terus menjalani hidup sebaik mungkin dan tidak hanya menyesali nasib tragis yang mereka alami. Dari obrolan yang muncul banyak tersirat impian yang seolah meneriakkan bahwa sebuah ajal bukanlah simpulan dari segalanya. Makara daripada menyesali dan pasrah menunggu ajal bukankah lebih baik berjuang semaksimal mungkin, alasannya ialah toh tidak ada yang terbatas dalam hidup ini, dan selalu ada hal yang jauh lebih besar yang mungkin tidak kita perkirakan. Ada rasa sakit, ada kesedihan, ada juga ajal disini. Tapi semua itu bukan untuk diratapi dan bukan akhir. Bahkan jangan heran jikalau ada beberapa momen ketika karakternya menganggap ajal sebagai materi dagelan yang tidak mereka takuti, alasannya ialah toh cepat atau lambat mereka niscaya akan mati.
Bagi mereka yang sekarat ataupun orang-orang disekitarnya, ajal ialah sesuatu yang sudah diantispasi dan mereka tahu bahwa hal itu akan segera datang. Disinilah yang membuat The Fault in Our Stars tidak terasa cengeng, bahkan menyimpan banyak impian dan ketegaran. Secara keseluruhan ini ialah kisah ihwal bagaimana tiap-tiap individu yang ada mencoba untuk move on atau bahkan mempersiapkan itu sebelum benar-benar terjadi. Kisah cinta yang terjalin anggun dan kasatmata antara Hazel dan Gus juga makin menjauhkan film ini dari kesan cengeng. Keduanya saling membangun dan berusaha menghadirkan tawa dalam kehidupan masing-masing tanpa harus meratap. Chemistry yang hadir antara Shailene Woodley dan Ansel Elgort selalu berhasil memunculkan interaksi yang dinamis dan menyenangkan untuk disaksikan. Masing-masing dari huruf mereka pun terasa berkesan. Hazel ialah perempuan berpengaruh yang penuh dengan sarkasme dan sekilas saja terlihat bahwa ajal bukanlah sesuatu yang memusingkan. Sedangkan Gus yang terlihat semaunya juga selalu punya kata-kata "ajaib" untuk membuat tidak hanya Hazel tapi juga saya sebagai penonton tertawa. Jelas saja kerja sama mereka berdua membuat simpati gampang dirasakan oleh tiap penonton.
Banyaknya selipan humor yang begitu efektif memancing tawa juga makin menguatkan aura kasatmata dan semangat penuh harap dari film ini. Bahkan saya lebih banyak tertawa daripada menangis ketika menonton film ini. Pada karenanya hal tersebut memang membuat The Fault in Our Stars mungkin tidak sesedih yang saya bayangkan. Tidak ada air mata yang mengalir meski banyak rasa haru yang terasa. Bukan hal jelek pastinya, tapi sedikit berbeda dari ekspektasi awal saya. Sedikit terasa terlalu panjang memang, tapi berkat twist yang sederhana tapi berdampak begitu besar pada jalan dongeng di karenanya sudah cukup untuk membuat film ini mempunyai ending yang anggun tanpa perlu bercengeng-cengeng ria. Alih-alih memperlihatkan kesedihan, film ini justru memperlihatkan kekuatan disaat dengan begitu baik The Fault in Our Stars memperlihatkan bagaimana cara terbaik untuk menghadapi sebuah kehilangan, sebesar apapun kehilangan itu. Satu lagi bukti bahwa untuk membuat sebuah drama yang berkesan dan menyentuh tidaklah harus memperlihatkan sentuhan dramatis berlebihan disana-sini, cukup lakukan dengan sederhana, tapi maksimal dan jikalau perlu berikan sedikit "kejutan" maka jadilah suatu tontonan minialis yang memikat.
Belum ada Komentar untuk "The Fault In Our Stars (2014)"
Posting Komentar