Bulan Terbelah Di Langit Amerika 2 (2016)

"Apakah muslim penemu Amerika? terang tagline yang berani. Entah berujung sekedar kontroversi sensasional kosong atau penelusuran provokatif mendalam, pertanyaan di atas semestinya menyediakan cukup amunisi untuk menyajikan eksplorasi sejarah menarik. Masalahnya, "Bulan Terbelah di Amerika 2" rupanya tak lebih dari sekuel dengan tujuan meraup laba semata (film pertama ditonton lebih dari 900.000 orang) tanpa diimbangi usaha memadahi. Muncul di tengah ramainya konflik seputar agama di Indonesia, kisah wacana kedigdayaan Islam dan muslim selaku penemu negara yang selalu dianggap pusatnya kafir kemungkinan bisa membawa film ini menjadi film kesembilan yang menerima satu juta penonton.

Masalahnya, dongeng novel karya Hanum Rais dan Rangga Almahendra telah usai di film sebelumnya, memaksa Alim Sudio dan Baskoro Adi menulis kisah yang sepenuhnya baru. Kali ini Hanum (Acha Septriasa) diminta meneliti kebenaran fakta mengenai pelaut muslim Cina yang konon berlabuh di San Francisco sebelum Christopher Columbus menemukan daratan Amerika. Penugasan ini menimbulkan konflik, lantaran Hanum dan Rangga (Abimana Aryasatya) sedang berusaha mempunyai anak. Di sisi lain ada kelanjutan usaha Stefan (Nino Fernandez) merebut kembali cinta Jasmine (Hannah Al-Rashid) serta kekalutan Azima (Rianti Cartwright) dan puterinya, Sarah (Hailey Franco) menghadapi penolakan sang ibu (Ira Wibowo) akhir keputusannya memeluk Islam.
Ke mana bahwasanya film ini melangkah? Opening-nya memperlihatkan pengepungan satu keluarga muslim Cina oleh pasukan komunis di tahun 1975, sebelum melompat ke 1998, 2001, dan seterusnya, menyoroti permasalahan keluarga Azima dikala ia memutuskan menikah dengan laki-laki Islam, menjadi mualaf walau sang ibu menentang keras, sampai insiden 9/11. Pembuka merupakan latar guna memperkenalkan konflik utama atau membangun karakter, pondasi yang menentukan arah narasi. Tapi bahkan sedari awal, film ini telah kebingungan menegaskan fokus, hendak mengetengahkan penelusuran sejarah atau keterkaitan antara kisah personal tokoh-tokohnya. Keduanya bisa disajikan bersamaan andai terdapat relasi sebab-akibat. Namun plot "Bulan Terbelah di Amerika 2" tidak demikian dikala penelitian Hanum dengan sub-plot lain berdiri sendiri-sendiri.

Di tengah setumpuk sub-plot, Hanum dan Rangga berakhir terpinggirkan dalam film di mana semestinya mereka merupakan tokoh utama, sentral pertemuan segala cerita. Kontribusi keduanya terhadap konflik aksara lain amat minim, tidak substansial. Stefan bisa saja menyadari kesalahannya tanpa ceramah Rangga, begitu pula Azima yang tak membutuhkan Hanum. Interaksi Hanum-Rangga yang selama ini menarik disimak berujung dingin, serupa bagaimana Acha dan Abimana nampak tak bersemangat berperan. Kejenakaan Nino Fernandez serta curahan emosi Hannah Al-Rashid kala resolusi konflik untungnya cukup memberi nyawa.
Jangankan memprovokasi atau memberi jawaban, faktor sejarah terpinggirkan, sekedar diisi serangkaian hipotesis seadanya. Daripada mengolah hipotesis tersebut, alur hanya memperlihatkan perebutan koin antara Hanum dengan sebuah keluarga misterius yang dipaksakan terjadi. (SPOILER) Jika keluarga tersebut memang penganut Islam taat kenapa mereka menolak menjadikan koin itu sebagai bukti penguat inovasi Amerika oleh muslim? Apalagi kalau mereka hanya ingin menempatkan koinnya di museum. Kenapa pula risikonya Hanum menentukan tidak melanjutkan goresan pena hanya lantaran ketiadaan koin? Bukankah seorang aksara sempat bersedia memberi bukti lain yang lebih kuat? (SPOILER)

Sudah barang tentu "Bulan Terbelah di Amerika 2" masih sempat berceramah demi memuaskan dahaga para penonton "alim" yang mencari pesan agama eksplisit. Kesubtilan bukan kekuatan franchise ini, tapi dalam "Bulan Terbelah di Amerika 2", penghantaran pesan semakin gamblang namun kosong. Lihat betapa gemarnya Rangga membuang alkohol milik Stefan, atau ucapan Hanum bahwa seorang istri semestinya menghormati suami tapi justru menentukan pekerjaan dikala mereka tengah berusaha keras mempunyai momongan. Pengadeganan clumsy Rizal Mantovani pun ikut memperparah keadaan. Banyak momen laughable seperti kala seorang perempuan mendadak menggunakan make-up, kehadiran biro FBI, atau perkataan Sarah soal "kebersihan sebagian dari iman" yang bagai berasal dari iklan layanan masyarakat. 

Jangankan berujung tontonan thought-provoking, "Bulan Terbelah di Amerika 2" gagal menjadi apapun yang diinginkan. Paparan sejarah kosong, permasalahan aksara dangkal, bahkan keburukan teknis termasuk visualnya meniadakan kesan "jalan-jalan keliling luar negeri" yang biasanya sedikit menolong. Apabila anda merupakan sasaran penontonnya, kepuasan mungkin bakal terasa menyaksikan film di mana semua orang, tidak peduli asal negara maupun ras sanggup fasih berbicara Bahasa Indonesia. The first movie is pretty bad, but this sequel is even worse. It's boring, dull, pointless, and lacks of identity.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Bulan Terbelah Di Langit Amerika 2 (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel