I Smile Back (2015)
Selalu akan muncul kontradiksi dalam diri seseorang wacana "what I should do" dan "what I wanna do". Keharusan tercipta alasannya yaitu adanya tuntutan status atau norma. Seorang siswa harus belajar, orang renta wajib menjadi pola bagi anak-anaknya, dan lain sebagainya. Walau tahu harus berbuat apa, tekanan hasrat langsung serta ego menghalangi kita untuk menjalankannya. Gesekan batin menyerupai itu normal terjadi, namun akan lebih kompleks tatkala dialami oleh penderita mental illness khususnya depresi sekaligus anxiety berlebih. Situasi itu terjadi pada Laney Brooks (Sarah Silverman), aksara utama I Smile Back yang merupakan bentuk penyesuaian novel berjudul sama karya Amy Koppelman (juga menulis naskah filmnya bersama Paige Dylan).
Sepintas, kehidupan Laney bersama sang suami, Bruce Brooks (Josh Charles) dan dua anak mereka tampak harmonis. Tinggal di pinggiran kota seharusnya menjauhkan keluarga ini dari kepadatan metropolitan, memberi banyak waktu membangun keintiman. Tapi nyatanya bukan itu yang Laney rasakan. Dia seorang alkoholik, karam dalam adiksi drugs, juga acapkali mencemaskan hal-hal kecil. Poin terakhir kerap membuat perdebatan dengan Bruce. Laney turut terlibat perselingkuhan dengan Donny (Thomas Sadoski), suami teman Laney sendiri. Di satu sisi, Laney menyadari semua tindakan tersebut keliru mengingat statusnya sebagai istri sekaligus ibu dua orang anak. Namun ia pun kesulitan menjauhkan diri dari segala hal tersebut, membuat konflik batin yang menjerumuskannya ke lubang depresi.
I Smile Back menggunakan progresi alur sebagai sarana penggalian karakter. Ceritanya disusun oleh fragmen-fragmen selaku penggambaran pergulatan Laney teruntuk kondisinya, bukan narasi lurus berisi satu konflik besar. Alhasil kita bakal sering mendapati Laney berubah sikap. Sekali waktu ia nampak telah berubah, sebelum beberapa ketika kemudian kembali menunjukkan kecemasan atau mengkonsumsi kokain lagi. Pemaparan itu bertujuan biar penonton memahami inkonsistensi sang aksara sebagai bentuk pergumulan batinnya. Namun secara bersamaan, perpindahan alur cepatnya juga berujung membuat kisahnya tak tergali. Belum sempat saya terikat oleh satu momen, Adam Salky sudah memaksa berpindah ke momen berikutnya.
Sebenarnya Salky sangat kompeten dalam menyuguhkan adegan dramatis. Beberapa kali saya dibentuk tertohok, merasa miris menyaksikan destructive behavior Laney menyerupai mencoba bunuh diri, seks dengan laki-laki asing, masturbasi menggunakan boneka, hingga pertengkaran antara ia dan Bruce pada klimaks. Those scenes are powerful and well-crafted. Tapi jawaban perpindahan alur terlampau cepat mengakibatkan aksara Laney terasa underdeveloped. Sulit memahami dari mana asal muasal gangguan mentalnya. Memang disebutkan hal itu bersumber dari masa lalu, atau tepatnya daddy issues saat ia kecil. Tapi bagaimana sanggup hingga pada tingkatan menyerupai kini tak ada eksplorasi sebagai pembagian terstruktur mengenai menyeluruh. Durasi 85 menit sejatinya cukup andai tak terlalu banyak sisi dipaparkan khususnya menjelang selesai ketika semestinya tiap konflik sudah mulai mengerucut.
Tidak sanggup disangkal, hal terbaik dalam I Smile Back adalah akting Sarah Silverman lewat keberhasilannya mengakibatkan Laney tampak benar-benar kacau. Penampilan Silverman merupakan bentuk totalitas melakoni adegan (terlebih saat fucked up situation) juga total embodiment, di mana baik secara physically maupun mentally, Silverman meresapi aksara peranannya dengan menyeluruh. Pada perhelatan Oscar lalu, semestinya Silverman, bukan Jennifer Lawrence yang mencatatkan namanya di jajaran nominee aktris terbaik. Kekacauan laris Silverman (in a positive way) selaras pula memperkuat nuansa depresif dan destruktif filmnya, walau sayangnya sering tercipta inkonsistensi tone akibat selipan obrolan yang daripada memperkuat sisi sarkastik Laney justru merusak atmosfer film. Because I love how this movie constantly broke my heart with Laney's behavior.
Belum ada Komentar untuk "I Smile Back (2015)"
Posting Komentar