Batman V Superman: Dawn Of Justice (2016)

Kehebohan massal terjadi tiga tahun kemudian tatkala Zack Snyder mengumumkan bahwa lanjutan dari Man of Steel akan mempertemukan Superman dan Batman. This isn't just an ordinary blockbuster superhero movie. It's an event, or maybe even history. Bahkan menyelidiki popularitas keduanya, Batman v Superman: Dawn of Justice masih jauh lebih besar dibanding The Avengers sekalipun. Namun seiring waktu berjalan, antusiasme perlahan bermetamorfosis kekhawatiran alasannya yaitu banyak faktor, sebutlah pergantian jadwal rilis, keraguan akan kapasitas Zack Snyder, hingga pilihan taktik promosinya. Sebagai watu pijakan untuk DC Extended Universe sekaligus jembatan menuju Justice League, beban berat diemban oleh film ini.

Melanjutkan insiden pada Man of Steel, dikisahkan Bruce Wayne (Ben Affleck) mencicipi adanya ancaman atas kehadiran Superman (Henry Cavill) dengan kekuatan tanpa batasnya. Terlebih lagi banyak karyawan Bruce tewas ketika Superman bertarung melawan Zod. Berawal dari situ, ia memulai penyelidikan terhadap si insan baja. Superman sendiri tengah menghadapi persoalan tatkala banyak pihak mengecam aksinya yang telah banyak memakan korban jiwa warga sipil. Keduanya pun karenanya saling mencari guna saling menghentikan. Mereka tidak sadar bahwa di balik perseteruan itu, Lex Luthor (Jesse Eisenberg) menyimpan sebuah rencana mematikan.

Terdapat banyak pemicu keresahan bagi film ini, di mana salah satunya kisah yang penuh sesak. Tidak hanya gladiator match antara dua titular heroes, Batman v Superman: Dawn of Justice juga berisi evil plan milik Lex Luthor serta membangun jembatan untuk DC Extended Universe ke depan khususnya Justice League (dirilis dalam dua part, 2017 dan 2019). Artinya akan bertebaran banyak abjad dan sub-plot. Sayangnya naskah garapan David S. Goyer (di-rewrite oleh Chris Terrio) gagal merangkai aneka macam aspek itu secara rapih. Lebih dari 90 menit awal film menderita alasannya yaitu lompatan alur acak kolam tanpa koherensi satu sama lain. Naskahnya menyerupai kumpulan to-do list, dengan Goyer dan Terrio hanya memastikan semua dimasukkan tanpa perjuangan menjadikannya satu kesatuan utuh.
Paruh pertama memang jadi kelemahan terbesar. Menengok treatment-nya (babak awal didominasi drama minim action) kentara adanya perjuangan mempunyai kedalaman kisah plus karakter, bukan sekedar paparan agresi tanpa esensi. Berpijak pada niatan tersebut, kekuatan naskah merupakan keharusan, bukan lagi kebutuhan sekunder layaknya mayoritas blockbuster yang (hanya) mementingkan spectacle. Ada ambisi mengemas Dawn of Justice berisi ukiran ideologi dua tokoh utama alih-alih sekedar baku hantam, itulah mengapa porsi perkelahian fisik Batman dan Superman tak seberapa. Kekacauan naskah menghalangi tersampaikannya niatan itu. Lompatan alur random melucuti intensitas, sehingga ceritanya lewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan. 

Eksplorasi abjad turut terkena dampaknya. Luthor misalkan. Sosoknya menyiratkan kompleksitas, punya motivasi lebih dari sekedar membuat kekacauan. Tapi apa tepatnya? Ambisi sebagai ilmuwan? Menganggap Superman ancaman? Atau apa? Hal ini urung dijelaskan. Untuk Clark/Superman masih faktual kesulitan membuatnya lebih relatable di zaman kini sambil tetap mempertahankan sisi "simbol harapan". He's not a leader. He's not the most likeable. He's just the strongest one. Alhasil sulit bagi siapapun bisa bersimpati apalagi berpihak padanya.

Sedangkan Bruce, sisi paranoidnya tidak digali cukup dalam. Apalagi hanya selang beberapa menit sesudah luapan amarah akhir dendam selama dua tahun, Bruce tiba-tiba menganggap Superman sebagai teman, kemudian berjanji tidak mengecewakannya. So rushed, it's so laughableSome aspects in this movie are indeed laughable with a lot of unintentionally funny moments from character's behavior (what's Lois Lane doing in the climax?) or the dialogues. Remember the line "tell me, do you bleed? You will" from the teaser? It sounds bad-ass right? Well, I laughed when Batman said that in the actual movie. 
Cukup membicarakan keburukan naskah, alasannya yaitu Zack Snyder menunjukan ia masih capable dalam menghantarkan adegan agresi menghibur terutama ketika klimaks. Walau kesan over-the-top akibat CGI dominan kurang selaras dengan pembangunan tone serius pada babak sebelumnya, kita patut bersyukur Zack mengemas klimaksnya secara "cartoonish". Setidaknya sesudah hampir dua jam melelahkan, penonton karenanya diajak bersenang-senang lewat cara yang total menyenangkan. Zack sudah berguru atas kesalahannya di Man of Steel. Adegan agresi film ini bergerak cepat, (surprisingly) brutal dan bombastis, tapi gampang diikuti tanpa harus membuat penonton sakit kepala. Belum lagi scoring karya Hans Zimmer sukses memacu adrenaline. Hanya saja durasinya terlampau singkat dan nihil ketegangan pula dinamika antara Trinity (Superman-Batman-Wonder Woman). Fun, but not intense or epic enough.

Bicara soal klimaks, bukan Batman atau Superman pencuri perhatian terbesar melainkan Wonder Woman. Bahkan sedari kemunculan awalnya di medan pertempuran -diiringi scoring "Is She With You?"- saya dan beberapa penonton lain seketika bersorak. Meskipun tampil tak seberapa lama, ketangguhan Amazon Princess ditampilkan secara maksimal ketika ia bisa meladeni kebuasan Doomsday. Adegan tatkala ia terjatuh kemudian tersenyum seolah berujar "this is fun" jadi favorit saya. Here's the biggest superheroine at her best! Gal Gadot terang meruntuhkan jawaban miring kala ia pertama di-cast dulu. Dia tampak tangguh, bahkan ketika tidak menggunakan kostum Wonder Woman sekalipun.
Scene stealer lain yaitu Jeremy Irons sebagai Alfred Pennyworth. Alfred di sini bukan sekedar pelayan setia Bruce Wayne, ia yaitu partner sekaligus hebat teknologi yang turut membantu agresi Batman. Irons membuat Alfred tampak dependable, partner tepat bagi Batman. Ben Affleck sendiri punya pesona tepat sebagai Bruce Wayne, meski patut disayangkan dangkalnya naskah menghalangi Affleck memamerkan kapasitas aktingnya lebih jauh. Tapi performa paling divisive berasal dari Jesse Eisenberg. People will either love him or hate him. Bagi saya aktingnya tidak buruk, hanya nihil substansi hasil kekeliruan naskah atau sutradara. Seolah Snyder and co. hanya ingin semoga Luthor seaneh mungkin semoga berbeda dari tipikal villain kebanyakan tanpa ada alasan berupa latar belakang karakter.

Mungkin beberapa dari anda akan menganggap saya terlalu serius menyikapi film superhero macam ini. Tapi tunggu dulu. Melihat bagaimana Dawn of Justice dikemas, terang para pembuatnya ingin membuat sajian berisi kompleksitas pada tataran cerita. Di situ filmnya gagal. Klimaksnya memang sedikit mengobati, tapi sesudah separuh jalan lebih dari total 152 menit diisi kekacauan, hiburan sesingkat itu tidak cukup sebagai penebusan. As one of the biggest movie event of all time, 'Batman v Superman: Dawn of Justice' is such a disappointment. Untung berkat cliffhanger pada ending serta menariknya tease bagi karakter-karakter Justice League lain, atensi saya cukup terenggut untuk menantikan kelanjutan DC Extended Universe. Mari berharap Suicide Squad dan film solo Wonder Woman berakhir memuaskan sebelum Justice League Part One rilis tahun depan.


Ticket Powered by: ID Film Critics

Belum ada Komentar untuk "Batman V Superman: Dawn Of Justice (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel