Big Eyes (2014)

Apa persamaan Tim Burton dengan Johnny Depp? Mereka sama-sama pernah menjadi mesin penghasil uang sebelum sekarang karirnya mandek dengan film-film mengecewakan yang kesulitan hanya untuk sekedar balik modal. Alice in Wonderland memang meraih lebih dari $1 milyar, tapi kualitasnya jelek sebelum disusul Dark Shadows yang lebih parah tidak hanya dari segi kualitas tapi juga dollar yang didapat. Tapi tidak ibarat sahabatnya yang masih keras kepala, Burton nampaknya mulai sadar. Frankenweenie adalah animasi berkualitas meski tidak sukses besar di Box Office. Tapi kesempatannya kembali ke performa terbaik di ranah live action terbuka lewat Big Eyes, sebuah biopic perihal penipuan di dunia seni lukis yang dilakukan oleh Walter Keane pada masa 50 hingga 60-an. Dengan bahan dongeng provokatif serta kehadiran Christoph Waltz dan Amy Adams di jajaran pemain, inikah membuktikan kembalinya "the (once) great" Tim Burton?

Margaret (Amy Adams) membawa putrinya kabur dari rumah meninggalkan sang suami. Mendapati dirinya tanpa pengalaman dan harus menafkahi sang anak, Margaret pun bekerja di pabrik furnitur sambi sesekali menjual lukisan hasil karyanya. Lukisan Margaret yaitu gambar unik yang menampilkan bawah umur kecil dengan mata yang besar, jauh di atas ukuran proporsional. Suatu hari ia bertemu dengan Walter Keane (Christoph Waltz) yang juga seorang pelukis dan mengaku pernah bersekolah seni di Prancis. Keduanya saling jatuh cinta dan tidak usang kemudian menikah. Walter yang banyak melukis pemandangan kota mendapati lukisannya kalah diminati jikalau dibandingkan "Big Eyes" karya sang istri. Hal itulah yang membuatnya mulai mengaku sebagai pembuat lukisan-lukisan tersebut. Walter berdalih pada Margaret bahwa hal itu ia lakukan semata-mata sebab alasan bisnis. 
Lukisan anak bermata besar tersebut memang sempat menjadi fenomena. Banyak orang berbondong-bondong membeli tidak hanya lukisan orisinil tapi juga kopi yang dicetak sebagai poster. Walter diundang ke banyak sekali program televisi dan muncul sebagi headline banyak media. Kaprikornus bayangkan betapa mengguncangnya penipuan ini. Rasanya akan sama ibarat jikalau suatu hari kita mendapati laki-laki yang bernyanyi di album Maroon 5 bukanlah bunyi orisinil Adam Levine. Tapi dengan modal dongeng ibarat itu, Burton menentukan mengemas Big Eyes sebagai menu ringan yang bertujuan menghibur. Tidak ada kesan ambigu dalam penyajian cerita, juga konflik internal huruf yang tidak terlalu kompleks. Film ini murni biopic yang ditujukan sebagai hiburan daripada eksplorasi lebih jauh akan suatu insiden beserta para pelakunya. Usaha mengemasnya seringan mungkin justru memunculkan inkonsistensi pada tone. 

Terkadang film ini menjurus kearah drama serius yang cukup kelam ketika bersinggungan dengan konflik rumah tangga yang berbahaya, ibarat ketika Walter yang mabuk coba memperabukan Margaret dan Jane. Tapi kadang Burton tidak ingin filmnya terlalu berat dan menyelipkan komedi. Contoh paling aktual yaitu pada adegan persidangan yang begitu komikal, menciptakan sosok Walter menjadi badut secara total. Hal itu menciptakan Burton mengorbankan sisi realistis cerita. Memang harus diakui Big Eyes jadi terasa ringan dan berhasil dalam usahanya menghibur penonton sebanyak mungkin, tapi eksplorasi terhadap kisah aktual yang sejatinya kompleks ini jadi dikesampingkan. Kesan serupa terjadi pada karakternya. Banyak aspek kurang tergali, semisal bagaimana Margaret bisa mendapat kekuatan dan memantapkan diri berkonfrontasi dengan Walter. Tapi untungnya saya bisa diajak bersimpati pada sosoknya, dan dengan bahagia hati membenci Walter Keane.
Amy Adams anggun sebagai Margaret dengan tatapan penuh kebimbangan itu. Sosoknya jadi terasa ada di posisi yang lemah, tapi menyiratkan hasrat melawan di dalam, menawarkan kekuatan yang menghindarkan Margaret berakhir sebagai huruf "bodoh" yang sering ditemui pada banyak melodrama. Menyebut Christoph Waltz mengecewakan terang sangat tidak adil. Dia bermain baik dalam porsi yang ditetapkan Tim Burton. Terasa eksentrik khususnya dengan seringai penuh kelicikan yang khas. Permasalahan memang ada pada karakterisasi pada naskah yang menyebabkan Walter Keane lebih sebagai tokoh komedik minim pendalaman. Sangat dua dimensi.

Memang berakhir kurang dalam, tapi menyenangkan kembali melihat Tim Burton menciptakan drama yang lebih "normal" dengan fokus lebih kearah penyajian dongeng daripada kecacatan visual. Tapi bagi para pecinta visual Burton jangan khawatir, film ini masih mengakomodir kecintaan sang sutradara pada tampilan aneh. Meski tidak banyak, beberapa momen dreamlike yang sureal bisa menghadirkan kesan tersebut, selain fakta bahwa lukisan-lukisan Margaret juga ibarat dengan gaya visual Burton. Big Eyes adalah kisah ringan nan menghibur perihal seorang artis yang menyayangi karyanya, hanya ingin berkarya tanpa peduli situasi serta pendapat orang lain (kehadiran kritikus), dan menganggap seni sebagai mulut diri daripada penyempurnaan teknik atau eksploitasi demi komersialitas. Bisa jauh lebih anggun andai huruf serta dramanya lebih diperdalam dan konsisten secara tone.

Belum ada Komentar untuk "Big Eyes (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel