Force Majeure (2014)

Cukup sering saya menonton sebuah film tanpa tahu sedikitpun data termasuk bercerita perihal apa. Hanya bermodalkan fakta bahwa film itu menerima respon yang positif, saya menonton dalam kondisi benar-benar "buta". Force Majeure merupakan salah satunya, sebab yang saya tahu hanyalah akan ada adegan salju longsor dalam film ini. Sebuah adegan yang menerima banyak kebanggaan sebab mendefinisikan penggunaan CGI yang esensial terhadap cerita. Kaprikornus saya pun berasumsi bahwa karya Ruben Ostlund ini merupakan disaster movie, mungkin versi lebih realistis atau less-dramatic dari The Impossible. Film dibuka dengan adegan sebuah keluarga dari Swedia tengah berfoto bersama di sebuah sky resort yang terletak di pegunungan Alpen. Mereka tampak senang menikmati momen kebersamaan keluarga yang jarang didapat sebab sang ayah, Tomas (Johannes Bah Kuhnke) selalu sibuk bekerja. Kita pun sanggup mencicipi betapa berharganya lima hari yang akan mereka habiskan disana. Semua ini seolah memperlihatkan ketenangan sebelum angin kencang datang.

Lalu tibalah adegan itu. Saat sedang makan siang di sebuah restoran, Tomas dan keluarganya melihat sebuah longsoran salju. Meski dikontrol, longsoran itu ternyata cukup membahayakan pengunjung restoran. Orang-orang mulai berlarian, tidak terkecuali Tomas yang meninggalkan sang istri, Ebba (Lisa Loven Kongsli) dan dua anak mereka. Perkiraan saya keliru. Ini bukan film bencana, atau setidaknya bukan film yang berfokus pada peristiwa alam. Jika ada peristiwa maka itu ialah peristiwa yang menerjang internal keluarga tersebut. Ebba merasa kecewa melihat sang suami menentukan lari daripada melindungi keluarganya. Tomas sendiri menyangkal bahwa ia melarikan diri. Perdebatan dua sudut pandang tersebut terus berulang, membuat kesan kaku yang tidak mengenakkan diantara mereka berdua. Kita sebagai penonton sendiri menjadi saksi bahwa Tomas memang meninggalkan keluarganya. Karena itu fokus utama film ini bukanlah benar atau tidak beliau melarikan diri.
Force Majeure adalah drama atau bahkan komedi (super) gelap perihal bagaimana suatu insiden (baca: bencana) berujung pada terjadinya peristiwa lain yang terus menyebar, dimana dalam konteks film ini ialah perpecahan dalam keluarga. Berulang kali sebagai penonton kita ditempatkan dalam posisi yang tidak nyaman ibarat ketika Ebba mulai menyindir suaminya dalam dua kali makan malam bersama orang lain. Tidak hanya bagi lawan bicara mereka, bagi penonton pun situasi tersebut tidaklah nyaman. Melihat Tomas yang terus-terusan menyangkal meski kita sendiri tahu ia memang kabur, atau bagaimana Ebba yang tetap mengungkit permasalahan tersebut meski sebelumnya telah oke pada satu versi dongeng yang disepakati bersama. Dalam hal ini, Ruben Ostlund coba memperlihatkan sisi alamiah dari dua hal: insting bertahan hidup dan permasalahan yang tidak tuntas.
Tomas berusaha menyelamatkan diri tentu saja nalur alamiah, tapi apakah ia sanggup dibenarkan ketika meninggalkan keluarganya? Mungkin saja ia tidak sempat berpikir melaksanakan itu. Tapi bukankah ia sempat berpikir membawa pergi handphone serta sarung tangan? Hal kedua lebih menarik, disaat filmnya berfokus pada banyak sekali pertengkaran. Pertengkaran yang sekilas sudah menerima solusi namun pada risikonya kembali terulang bahkan semakin buruk. Disinilah secara benar-benar tersirat, Ostlund menyelipkan komedi hitam. Segala perdebatan terus berulang, dimana masing-masing dari mereka nampak tidak pernah berfokus pada penyelesaian duduk kasus tapi justru entah berkelit atau menyalahkan lawan bicara. Lucu, sebab satu kata yaitu "maaf" sanggup menuntaskan segalanya. Semakin menggelitik lagi disaat pasangan Mats (Kristofer Hivju) dan Fanni (Fanni Metelius) ikut "tertular" pertengkaran Tomas dan Ebba. 

Seolah belum cukup, Ruben Ostlund memperlihatkan pertukaran terhadap "peran gender" (selain fakta bahwa justru Ebba yang melindungi bawah umur mereka, bukan Tomas) disaat konflik mencapai puncak. Tomas semakin tertekan, dan berakhir menangis secara histeris, meringkuk di dalam kamar sedangkan Ebba hanya sanggup memandang iba bercampur gundah harus berbuat apa pada sang suami. Adegan itu ialah momen paling hilarious dalam film ini. Kesan menggelitik yang dihadirkan oleh gelapnya komedi film ini terjadi pada ending. Sebuah suasana luar biasa awkward dihadirkan sebagai epilog sesudah beberapa ketika sebelumnya kita dipertunjukkan suatu adegan luar biasa menegangkan yang terjadi dalam bus. Terlihatlah kehebatan Ruben Ostlund dalam merangkai adegan lewat dua momen berurutan tersebut. Sungguh cara yang luar biasa untuk menutup sebuah film. 

Verdict: Force Majeure secara keseluruhan memperlihatkan sajian drama yang mengikat, observasi tidak nyaman perihal insan beserta korelasi yang dijalani, serta menggelikannya beberapa aspek kehidupan yang tidak akan terasa lucu ketika kita sendiri mengalami hal-hal tersebut.

Belum ada Komentar untuk "Force Majeure (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel