Cafe Society (2016)
"Cafe Society" selaku karya ke-47 Woody Allen masih tersusun atas poin-poin formulaik ciri khasnya. Sebuah talky romance dengan protagonis laki-laki awkward dan seorang perempuan kuat, jazzy soundtrack, pembahasan mengenai industri Hollywood, dan lain sebagainya. It's all getting predictable especially because Allen keep releasing movie every year. Tapi bukan berarti "Cafe Society" berakhir buruk. Sebaliknya, film yang menandai peralihan Allen menuju format digital menggunakan kamera Sony CineAlta F65 ini termasuk karyanya yang paling memanjakan mata. Bukan penantang Oscar macam "Midnight in Paris" atau "Blue Jasmine" namun cukup mengingatkan mengapa ia merupakan salah satu sutradara/penulis naskah terbaik.
Dibuka oleh transisi serupa sajian Hollywood's golden age, "Cafe Society" pribadi menyuguhkan sisi glamor kala tersebut lewat sebuah pesta di mana orang-orang ramai memamerkan prestasi dan menyebut nama-nama besar industri yang mereka temui. Salah satu tamu yakni Phil Stern (Steve Carell), seorang biro papan atas. Keponakan Phil, Bobby Dorfman (Jesse Eisenberg) gres saja pindah dari New York untuk mengadu nasib di Hollywood, mengerjakan tugas-tugas remeh bagi sang paman. Di tengah usaha itu, Bobby jatuh hati pada sekretaris Phil, Vonnie (Kristen Stewart) walau sang perempuan telah mempunyai kekasih.
Suasana Hollywood kala 30-an dihidupkan begitu menawan oleh "Cafe Society" lewat segala dekorasi set serta tata kostum yang dirangkum tepat dalam sinematografi garapan Vittorio Storaro. Turut menguatkan atmosfer tak lain musik jazz lawas yang nyaris tak henti mengiringi pergerakan alur. Sayang, perjalanan lintas waktunya terasa dingin tatkala Allen sekedar menyelipkan nama-nama tersohor (Bette Davis, John Ford, Ginger Rogers, dll.) pada obrolan tanpa sekalipun memunculkan sosoknya. Saya bagai diajak mengunjungi cafe glamor kawasan para selebritis berkumpul tapi tidak pernah bertemu dengan mereka.
Kerangka utama dongeng (romantika Bobby dan Vonnie) sejatinya predictable dan takkan punya daya tarik memadahi bila sendirian menyokong durasi 96 menit, alasannya yakni itulah Allen turut menyertakan konflik seputar keluarga Bobby mirip abang perempuannya, Evelyn (Sari Lennick) dan suaminya, Leonard (Stephen Kunken) yang (terlalu) penyabar dan abang laki-lakinya, Ben (Corey Stoll), seorang pemilik nightclub sekaligus gangster. Alurnya melompat-lompat cepat antara poin penceritaan. Cukup liar tapi tidak berantakan, dinamis serupa lantunan uptempo jazz penghias filmnya. Keberhasilan ini jadi bukti faktual kematangan bertutur Woody Allen sebagai seorang sutradara.
Penulisan obrolan selalu jadi daya tarik terbesar dalam naskah Allen. Walau kali ini ia nampak terlalu lembut mengkritisi sehingga kurang berpengaruh memprovokasi atau selaku materi observasi mendalam tentang hingar bingar industri juga gaya hidup pelakunya baris kalimatnya tetap menyenangkan dicerna serta quotable, dengan ucapan Bobby berikut jadi yang terbaik: "Life is a comedy, but it's one written by a sadistic comedy writer". Cara Allen menyajikan komedi pun masih tidak mengecewakan menggelitik. Kesan jenaka bukan berasal dari kekonyolan gamblang melainkan satir, di mana dominan berupa sindiran Allen terhadap kehidupan glamor namun hampa dan tak berkarakter dari para pembesar industri.
Parade akting jajaran pemainnya memikat. Jesse Eisenberg bersenjatakan kecanggungan (seperti biasa) seolah memang ditakdirkan untuk berperan dalam film milik Woody Allen. Eisenberg juga piawai menangani transformasi (kecil) Bobby dari perjaka polos di tengah kejamnya Hollywood menjadi pengurus nightclub penuh pesona. Sedangkan Nasrani Stewart tampil amat menggoda, menyerupai magnet, menciptakan kita memahami bagaimana ia mampu memikat hati dua laki-laki secara bersamaan. Patut disayangkan, Blake Lively sebagai istri Bobby, Veronica Hayes tidak menerima banyak kesempatan unjuk gigi. She looks gorgeous, but that's it. Fortunately, the overall movie itself isn't just gorgeuous, but also has character. A pretty strong one.
Belum ada Komentar untuk "Cafe Society (2016)"
Posting Komentar