The Wolfpack (2015)

Anda pernah menonton "Dogtooth"? Film asal Yunani rilisan tahun 2009 itu bercerita perihal orang renta yang mengurung anak-anaknya di dalam rumah dengan alasan bahwa dunia luar terlalu berbahaya. Such a weird and disturbing movie. Wajar bila kita yakin abnormalitas tersebut mustahil bertempat di kenyataan. Sampai saya menonton "The Wolfpack" karya Crystal Moselle. Dokumenter ini menjadi bukti kekuatan sinema sebagai jendela dunia. Pertama alasannya yaitu menyadarkan saya betapa masih banyak kisah mengejutkan di luar sana. Kedua, berasal dari fakta bagaimana orang-orang selaku subjek film ini menimbulkan film sebagai sarana terbesar guna mengetahui ibarat apa rupa kehidupan di luar rumah.

"The Wolfpack" memperkenalkan penonton pada Keluarga Angulo yang terdiri dari sembilan orang (ayah, ibu, satu anak wanita dan enam anak laki-laki). Judul filmnya merujuk pada keenam anak pria keluarga ini. Pada adegan pembuka kita melihat mereka melaksanakan reka ulang adegan "Reservoir Dogsdi kamar dan lorong sempit dalam rumah lengkap degan setelan jas dan pistol mainan, kemudian menonton "Blue Velvet", mencatat obrolan lengkap beberapa film, hingga menciptakan daftar 30 film terbaik sepanjang masa. Mereka semua punya rambut panjang, sehingga lebih tampak sebagai anggota grup band metal daripada movie geek. Kaprikornus mengapa keenam anak berjulukan Mukunda, Narayana, Govinda, Bhagavan, Krisna dan Jagadesh ini melaksanakan semua hal tersebut?
Ternyata selama sekitar 14 tahun, sang ayah (Oscar) melarang anak-anaknya keluar rumah dengan alasan terlalu banyak imbas jelek bertebaran. Hanya Oscar yang memegang kunci rumah, dan anggota keluarga lain hanya diberi kesempatan keluar kalau dalam keadaan mendesak -keenam anak itu menjalani homeschooling di bawah bimbingan sang ibu. Bahkan pernah selama setahun penuh tidak ada yang meninggalkan rumah. Selama bertahun-tahun, film menjadi media hiburan utama sekaligus sumber pengetahuan terbesar. "The Wolfpack" menyoroti keseharian keluarga Angulo, serta perubahan dalam hidup mereka sesudah suatu hari Mukunda nekat keluar rumah tanpa seizin ayahnya. 

Terkadang untuk menciptakan dokumenter bagus, "hanya" butuh keberuntungan yang memperkenalkan sang filmmaker kepada subjek menarik. Crystal Moselle terang beruntung (entah bagaimana) mendapat kepercayaan keluarga Angulo merekam keseharian mereka. Moselle tidak banyak memberi penemuan dalam cara bertuturnya, melainkan sekedar mendapat susukan menuju lingkungan "aneh tapi nyata", menyalakan kamera, kemudian membiarkan subjek menuturkan semuanya. Moselle kentara mengambil tugas pasif dalam penyutradaraan tanpa melaksanakan intervensi berlebihan. Sisi positifnya, segala hal di layar hadir natural. Tapi negatifnya, tercipta keterbatasan eksplorasi. Sebagai kisah berisi "twisted family", ibarat ada cuilan konflik puncak yang hilang. 
Untung intinya para subjek sudah punya kekuatan lebih, sehingga ketika dibiarkan "bicara sendiri" tetap muncul hal-hal menarik untuk penonton saksikan. Segala tingkah laris para wolfpack selalu memunculkan senyum, entah disaat mereka ulang adegan suatu film, menari heboh berlatarkan lagu "Tarzan Boy", atau mendapat kebahagiaan hasil dari hal-hal sederhana ibarat bermain di pantai hingga menonton film di bioskop untuk kali pertama. Keunikan bawah umur ini sukses membangun atmosfer, bahkan suasana creepy tatkala merayakan Halloween dengan berdandan menjiplak ikon-ikon film horror (adegan ini layak masuk film horror sungguhan). Saya pun selalu dibentuk terpukau melihat properti serta kostum yang diciptakan wolfpack untuk menciptakan "sweded movie". 

Ada gosip menarik perihal ketakutan akan dunia modern, meski sayangnya hal ini tak pernah benar-benar tergali alasannya yaitu Moselle jarang memberi fokus pada Oscar. Hanya sekilas kita mempelajari bagaimana sudut pandang sang ayah terhadap dunia, kesudahannya gosip tersebut hanya terasa sebagai sampul. Namun di lain pihak "The Wolfpack" telah berhasil memberikan surat cinta pada sinema, memaparkan bagaimana film sanggup berarti lebih dari sekedar hiburan ringan. Film pun bisa memberi pengetahuan, banyak sekali sudut pandang, bahkan penopang hidup seseorang. Namun Crystal Moselle sudah terlanjur mengundang saya menuju dunia absurd ini, jadi akan lebih baik kalau ia bertutur secara lebih tajam daripada membiarkan penonton hanya mengamati tampak luar ibarat para wolfpack yang melihat hidup hanya dari dalam rumah. 

Belum ada Komentar untuk "The Wolfpack (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel