Shakespeare In Love (1998)
Kisah tragis Romeo and Juliet telah menjadi pakem dasar dalam membuat bencana percintaan. Tapi dengan umurnya yang telah mencapai lebih dari 450 tahun, butuh effort dan kreatifitas lebih untuk sanggup menyajikan kisah itu menjadi sebuah kisah yang tetap segar. Sudah ada perjuangan modernisasi menyerupai yang dilakukan Baz Luhrman dalam Romeo + Juliet hingga versi edan dalam Tromeo and Juliet dari studio sinting berjulukan Troma. Salah satu modifikasi paling dikenal tentunya karya John Madden yang berhasil membawa pulang tujuh piala Oscar termasuk kategori Best Picture. Yang dijadikan fokus dalam Shakespeare in Love ialah proses ketika William Skahespeare (Joseph Fiennes) menulis kisah Romeo and Juliet. Pada awalnya Shakespeare tengah mengalami writer's block dan kesulitan menulis naskah komedi terbarunya. Di tengah keputusasaannya itulah ia tidak sengaja bertemu dengan Viola de Lesseps (Gwyneth Paltrow), puteri seorang juragan kaya yang ternyata juga seorang pengagum berat karya-karya Shakespeare. Pada ketika itulah Shakespeare mencicipi cinta pandangan pertama pada Viola dan terinspirasi untuk menulis naskah romansa, bukannya komedi menyerupai yang ketika itu tengah digemari bahkan oleh ratu Elizabeth I (Judi Dench). Berdasarkan kisah dan pengalaman yang ia alami dalam menjalin percintaan dengan Viola itulah Shakespeare menulis Romeo and Juliet.
Tidak perlu diragukan bahwa ini ialah film yang menyenangkan. Beberapa poin di dalamnya mungkin sulit diterima, menyerupai bagaimana mungkin orang-orang tidak menyadari penyamaran Viola sebagai pria selama latihan? Tapi toh saya tidak mempermasalahkan itu alasannya John Madden memang sengaja membungkus film ini penuh rasa komedi. Sebagai sebuah bentuk proses kreatif saya juga tidak mempermasalahkan banyak sekali ketidak akuratan sejarah yang muncul. Yang paling kentara tentu saja pondasi ceritanya, alasannya intinya Shakespeare bukan orang pertama yang membuat kisah Romeo and Juliet, melainkan Arthur Broke pada 1562, beberapa tahun sebelum "kehadiran" Shakespeare. Bahkan kalau mau berdebat lebih jauh, banyak juga keraguan perihal apakah benar ia merupakan penulis dari beberapa karyanya. Tapi bagi saya memperdebatkan akurasi sejarah dalam film tidak lebih dari sekedar buang waktu. Sebuah sejarah sendiri tidak selalu sanggup dibuktikan 100% kebenarannya. Makara sangat sah bagi sebuah karya seni melaksanakan penyesuaian dan memodifikasi sebuah insiden atau seorang tokoh sejarah. Makara kesimpulannya, film ini amat menghibur, dan saya menikmatinya. Tapi lain ceritanya kalau melihat fakta bahwa ini ialah film yang memenangkan Best Picture, mengalahkan sajian jago macam Saving Private Ryan dan The Thin Red Line.
Komedinya memang menyenangkan, tapi diluar itu saya tidak mendapati aspek yang benar-benar powerful disini. Akting para pemainnya bagus. Gwyneth Paltrow menyajikan penampilan terbaik sepanjang karirnya sebagai Viola yang dari matanya terpancar terperinci mimpi-mimpi terhadap romansa penuh cinta sejati sekaligus keberanian untuk menentang apapun yang menghalangi cinta tersebut. Judi Dench meski tampil tidak hingga delapan menit selalu berhasil mencuri perhatian entah lewat tatapan matanya yang "intimidatif" atau tawanya yang well...sometimes creepy. Tapi kekuatan akting bukan berarti filmnya berpengaruh secara keseluruhan. Dramanya tidak pernah terlalu kuat, begitu pula romansanya yang tidak pernah sukses mewakili kekuatan cinta Romeo dan Juliet yang terinspirasi dari situ. Pengemasan yang ringan dari John Madden memang pada kesannya mengeliminasi segala kekuatan kisahnya, menyebabkan film ini tidak lebih dari sekedar tontonan ringan. Jika ada hal yang sanggup diapresiasi lebih dan menjadikannya sedikit Oscar-worthy ialah kreatifitas dalam memadukan kisah cinta "nyata" Shakespeare dan Viola dengan drama panggung Romeo dan Juliet serta eksplorasi kehidupan seorang penulis. Aspek yang disebut pertama dipakai oleh Madden untuk membuat sebuah adegan menarik ketika dunia konkret dan dunia panggung "bertubrukan".
Sedangkan aspek kehidupan penulisnya memang cukup kuat. Bagi saya yang sering menghabiskan waktu untuk menulis naskah, semua yang dialami Shakespeare juga pernah saya alami. Bagaimana sebuah writer's block tiba-tiba menyerang, membuat sang penulis merasa tiba-tiba semua kelebihannya runtuh seketika, hingga bagaimana kehidupan percintaan sanggup menjadi ilham terkuat dalam merangkai sebuah cerita. Entah itu percintaan yang senang dan berbunga-bunga, atau sebuah patah hati yang begitu menyesakkan, semuanya sama saja menyebabkan otak seorang penulis menjadi lancar untuk bertutur kata dalam secarik kertas. Bagaimana sebuah goresan pena jadi punya kekuatan yang begitu besar ketika sang penulis begitu jujur dalam merangkai setiap kata memang benar adanya. Tapi tetap saja keberhasilan itu tidak membuat keseluruhan filmnya menjadi presentasi yang kuat, apalagi sebagai sebuah film yang dikukuhkan sebagai karya terbaik. Setidaknya dari fakta itu kita sanggup makin yakin bahwa Oscar memang berpihak pada sebuah tontonan crowd pleaser yang menyenangkan. Setidaknya bukan Life is Beautiful-nya Roberto Benigni yang memenangkan penghargaan itu. That overly dramatic and unfunny movie is much more overrated than this one.
Kekurangan dalam romansanya mungkin juga hadir alasannya ketidak cocokan saya dengan obrolan puitis ala literatur lawas Inggris yang penuh dramatisasi dan metafora hiperbolis khususnya ketika tengah menyatakan cinta. Sekali lagi ini memang problem selera, dan hal itu juga yang sering membuat saya kurang sanggup menikmati period drama dengan segala tata krama dalam romansanya. Bukan salah filmnya tentu saja, hanya bukan sesuatu yang saya sukai. Tapi Shakespeare in Love memang menyenangkan sebagai hiburan, "setara" dengan film-film agresi brainless, cukup duduk dan nikmati segala kelucuan dan modifikasi sejarah plus literaturnya maka kesenangan dan senyum lebar akan anda dapatkan, apalagi kalau anda ialah seorang penulis yang pernah mengalami banyak sekali fase yang dialami Shakespeare disini.
Belum ada Komentar untuk "Shakespeare In Love (1998)"
Posting Komentar