Ketika Mas Gagah Pergi (2016)

Pertama saya tegaskan dulu, bahwa saya bukan anti-film Islam. Lagipula dari nama pun sudah kelihatan saya pemeluk Islam, walau harus diakui tidak sanggup disebut "alim" pula. Tapi alangkah bencinya saya kepada film-film yang menggurui. Definisi menggurui tidak sebatas dalam lingkup agama, tapi juga moral, kebijaksanaan pekerti, sopan santun dan lain sebagainya. Secara personal, saya beropini bahwa menggurui jikalau hingga pada taraf memaksa ialah rujukan penyakit akut dalam penerapan agama di negeri ini. Bukan maksud bicara agama, (tahu apa saya?) melainkan sekedar menyuarakan keresahan. Karena jikalau anda ingin mengajak orang tidak taat agama menuju "jalan lurus", tuntun mereka, jangan malah ditarik paksa seolah perbuatan mereka itu sampah! Film berkonten ceramah berlebihan pun sama. Suatu geliat meresahkan yang tak hanya berbahaya bagi industri perfilman tapi juga sosial masyarakat.

Dua ahad kemudian saya menonton "Tausiyah Cinta". Filmnya menggurui, dan berujung pada pertolongan rating 0,5 (angka terburuk sepanjang sejarah blog ini). Tapi saya menganggap itu film "polos". Para pembuatnya ingin menyuguhkan sajian religi, dan menyadari formula paling mujarab untuk mengundang pangsa pasarnya. Ada cita-cita (semu) semoga penonton menerima hidayah begitu menonton filmnya. Tapi "Ketika Mas Gagah Pergi" berada pada tingkatan berbeda untuk urusan ceramah menggurui. Jika diibaratkan, "Tausiyah Cinta" kolam seorang ustadz yang tiap hari mendatangi saya, berceramah lewat tutur kata sopan walau menggurui. Sedangkan "Ketika Mas Gagah Pergi" ialah ustadz yang menggedor pintu rumah saya tiap pagi, memaksa masuk, kemudian berteriak "Cepetan tobat hei kunyuk! Dasar pendosa biadab!" 

"Ketika Mas Gagah Pergi" diangkat dari novel berjudul sama karya Helvy Tiana Rosa berusungkan suplemen "FROM THE BESTSELLING BOOK IN THE LAST 20 YEARS". Entah maksudnya novel itu menerima penjualan terbanyak sepanjang 20 tahun terakhir atau telah menerima status "Bestselling" selama 20 tahun saya tidak tahu. Mas Gagah (Hamas Syahid Izzuddin -this guy again???) ialah seorang abang yang tepat di mata adiknya, Gita (Aquino Umar). Karena namanya "Gagah", tentu ia punya wajah gagah pula, dan itu memberi modal baginya berprofesi sebagai model. Wajar jikalau Gagah digilai banyak wanita. Bahkan di kampus ia sering dikerubuti mahasiswi, meminta Twitter-nya di-follow (sungguh, ini terjadi). Tidak hanya rupawan, Gagah pun baik hati, orangnya easy going dan sangat mencintai sang adik. Semakin tepat ketika Gagah tidak melulu nongkrong dengan anak gaul di kampus, tapi juga rajin solat berjamaah bersama para rohis. 
Melihat karakteristik Gagah di atas, bukankah ia sempurna? Rupawan, baik hati, gampang bergaul, rajin solat pula. Dari titik inilah transformasi Gagah menjadi saya pertanyakan maksudnya. Suatu hari Gagah harus pergi ke Ternate selama dua bulan untuk proyek pengerjaan skripsi. Ketika pulang, ia pun berubah. Gagah selalu mengenakan baju muslim, menumbuhkan jenggot yang lebih mirip bulu "itu", selalu mendengarkan nasyid, tidak lagi bersahabat dengan sang adik, dan bergaul secara langsung bersama para rohis. Hanya para fanatik yang menyebut perubahan Gagah positif. Di samping itu ada dongeng wacana Yudi (Masaji Wijayanto) yang rutin berkhotbah sambil berteriak-teriak di angkutan umum. Dia melaksanakan itu didasari alasan bahwa penyebaran agama harus meluas, di kawasan umum. Akhirnya terpicu konflik dengan sang ayah (Mathias Muchus), alasannya ialah Yudi menentukan membuatkan agama di luar dulu sebelum di lingkup sekitarnya, dan menolak membantu krisis perusahaan keluarga.

Seperti ini kesudahannya jikalau pesan-pesan mulia dalam Islam ditranslasikan secara dangkal. Lagi-lagi saya bukan andal agama, tapi saya yakin bahwa ungkapan "dahulukan yang membutuhkan", "sebarkan Islam secara luas", atau "jangan terpengaruhi nafsu duniawi" bukan begini seharusnya. Memang kita harus membantu mereka yang butuh, tapi jikalau orang terdekat justru terlantar dan tersakiti apa gunanya? Film ini beralasan bahwa itu merupakan cobaan dari Allah. Hei! Tidak adakah undangan bertobat lain yang lebih merangkul? Pada satu adegan, Gagah bersedia memenuhi permintaan sang adik untuk kembali menghabiskan waktu bersama asal ia mau menggunakan rok dan berjilbab. Jika kau merasa itu hal benar, sadarkan mereka Bung, bukan beri ancaman! 

Seharusnya hidayah membuatnya lebih sabar, tapi sesudah kepulangannya, Gagah justru lebih gampang marah. Bahkan ketika dipalak preman dan berujung satu perkelahian, Gagah menantang ketiga preman untuk bangkit, lanjut sabung meski mereka sudah minta maaf. Sedangkan Yudi, kenapa ia langsung teriak-teriak duduk kasus Islam di bus umum? Apa semua penumpang beragama Islam? Ada apa dengan orang-orang "alim" dalam film ini? Kenapa sebegitu mudahnya mereka tersulut emosi dan tak peduli pada mereka yang berbeda pendapat? Mana bentuk saling menghargai demi harmoni yang harusnya jadi esensi? 
Mempunyai judul "Ketika Mas Gagah Pergi", kita justru tidak diberi tahu dongeng dikala ia pergi. Tiba-tiba ia sudah pulang dan berubah. Kenapa bukan "Ketika Mas Gagah Pulang" saja kalau begitu? Bagaimana penonton sanggup memahami transformasi Gagah jikalau tahu apa yang terjadi -kecuali ia jatuh dari tebing- pun tidak? Bayangkan ini: Seorang laki-laki dengan social skill baik, ramah dan terbuka, tiba-tiba menjelma introvert, ketus, dan bergaul hanya dengan "sesamanya". Saya rasa itu bukan hidayah dan Kiai itu bukanlah pemuka agama. Gagah sudah terjebak dalam cult dengan pemimpin berkedok Kiai. "Ketika Mas Gagah Pergi" kolam film buatan para cult yang menganggap aliran mereka itu kebenaran hakiki, dan mereka yang tidak bersedia mengikutinya ialah insan rendah.

Satu-satunya penghalang saya untuk memberi nilai nol ialah akting beberapa pemainnya. Mathias Muchus, Wulan Guritno dan Epy Kusunandar menghadirkan performa kuat. Ketiganya menyuntikkan rasa dalam tiap kemunculannya, meski tidak didukung oleh naskah mumpuni. Tapi disaat mereka bertiga menghilang dari layar, filmnya kembali gampang menyulut amarah. Hamas Syahid tampil lebih baik dibanding dalam "Tausiyah Cinta", tapi itu lebih dikarenakan tidak ada adegan berisi luapan emosi besar. Coba jikalau Hamas diminta menangis lagi disini, entah mirip apa jadinya. 

Ya, saya sempat berniat memberi angka nol untuk "Ketika Mas Gagah Pergi", lebih jelek dari "Tausiyah Cinta" bahkan "Hantu Cantik Kok Ngompol?" Selama ini saya berpatokan bahwa suatu film tidak layak menerima rating nol, alasannya ialah angka itu artinya nihil, tidak eksis. Dan suatu film yang telah ditayangkan artinya tak perlu dipertanyakan eksistensinya. Tapi "Ketika Mas Gagah Pergi" sudah mengangkat suatu gosip sosial penting, kemudian mengambil sudut pandang "berbahaya" terhadapnya. Kenapa ormas pemuja kekerasan berkedok agama atau para fanatik ignorance tak pernah berkurang jumlahnya? Jawabannya alasannya ialah perspektif minim toleransi mirip milik film ini. Tidak ada rasa cinta kasih, hanya kesombongan lantang berbunyi "Kepercayaanku paling benar!"


*Yang berharap review banjir satir/lawakan kayak "Tausiyah Cinta" maapin ya, film ini udah menyulut murka luar biasa*

Ticket Powered by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Ketika Mas Gagah Pergi (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel