The Danish Girl (2015)
"The Danish Girl" menjadi rujukan hambarnya suatu kisah lantaran sang pencerita gagal meng-capture esensi gotong royong dari kisah tersebut. Film pembiasaan dari novel berjudul sama karya David Ebershoff ini mengisahkan kehidupan Einar Wegener (Eddie Redmayne), seorang pelukis asal Denmark yang lebih banyak dikenal sebagai salah satu orang pertama yang menjalani operasi pergantian kelamin. Pada tahun 1930, Einar menjalani operasi tersebut dan merubah namanya menjadi Lili Elbe. Sampai sekarang, nama Lili kerap dijadikan simbol bagi usaha kaum transgender, dimana fakta tersebut cukup memberi bukti teramat pentingnya seorang Lili. Maka sudah jadi keharusan bagi film ini untuk menonjolkan bahwa beliau layak menjadi ikon, menarik simpati penonton, namun tetap membuat sosoknya manusiawi -tidak memuja secara berlebih.
Naskah garapan Lucinda Coxon membagi film ini kedalam dua "babak". Pertama berpusat pada korelasi Einar dengan istrinya, Gerda (Alicia Vikander) yang juga seorang pelukis. Sedangkan babak kedua menyoroti konflik tatkala Einar tidak lagi bisa menahan kehadiran Lili dalam jiwanya. Keputusan tepat, artinya penonton punya kesempatan lebih mengenal tidak hanya Einar/Lili tapi juga Gerda. Menjadi tidak sempurna disaat pengemasan Tom Hooper selaku sutradara justru menjauhkan "The Danish Girl" sebagai film wacana "perjuangan Lili Elbe". Hooper lebih menentukan -dan lebih piawai- memfokuskan filmnya sebagai kisah cinta antara Einar dengan Gerda. Karenanya, paruh pertama "The Danish Girl" pun begitu mengesankan.
Di tangan Hooper, pasangan Einar-Gerda begitu gampang dicintai. Saya terpikat pada mereka, tersenyum lebar mengamati interaksi penuh kebahagiaan lantaran romansa Einar dan Gerda tidaklah kaku. Gerda dengan kharismanya nampak superior di hadapan para pria, kemudian bergerak penuh energi memaksa Einar yang lebih feminin untuk menggunakan pakaian perempuan untuk menjadi model lukisannya. Keduanya saling mengisi, membuat pertalian manis sehingga saya pun takkan rela melihat romantika ini berakhir. Disinilah kekeliruan arah pada ceritanya dimulai. Alih-alih membangun simpati pada Einar/Lili lantaran jati dirinya tak bisa dipahami, penonton akan lebih mementingkan kisah cintanya, atau dalam kata lain "memihak" pada Gerda.
Penonton digiring menuju perspektif bahwa Gerda yaitu korban dari keegoisan Einar. Ketika film memasuki paruh kedua, sebagai puncak usaha Einar/Lili, saya justru lebih mengharapkan yang terbaik untuk Gerda. Satu-satunya jalan keinginan itu terpenuhi yaitu Einar kembali menjadi Einar, membuang sosok Lili. Disaat dongeng wacana sosok penting usaha para transgender justru membuat penontonnya berharap beliau tidak melakoni perubahan tersebut, artinya narasi gagal memberikan esensi. Hooper sendiri bagai tidak mempunyai ikatan rasa dengan tokoh Lili, oleh alasannya itu terjadi kekacauan di babak kedua.
Demi menguatkan problem karakter, dibuatlah kondisi dimana mereka sering berubah sikap. Gerda terjebak dalam pilihan apakah beliau mesti mendukung perubahan sang suami atau tidak, dan bolehkah beliau berpaling pada laki-laki lain. Sedankan Einar mempertanyakan kemantapan hatinya berubah identitas bila itu berujung pada melukai sang istri. Hooper tidak menyuntikkan emosi pada konflik dilematis tersebut, sehingga banyak sekali perubahan perilaku bagaikan hanya suatu formula textbook yang harus diikuti daripada proses emosi natural karakter. Karenanya, tiap pergantian terjadi begitu cepat hingga pada taraf mendadak tanpa ada gradasi. Alhasil, menjadi tidak mungkin untuk saya bisa mencicipi jalinan emosi serupa dengan karakternya.
Alicia Vikander bersama Eddie Redmayne sukses menjalin kekokohan chemistry sekaligus mempersembahkan pertunjukkan akting kelas wahid secara individu. Alicia menghidupkan dua sisi: Gerda yang lively dan punya kekuatan, juga Gerda yang lemah di tengah kebimbangan. Dua sisi berlawanan itu beliau perankan penuh totalitas, membuat saya jatuh cinta hingga balasannya menaruh belas kasih pada tokohnya. Sedangkan Redmayne sendiri cukup terbantu dengan tampilan fisik yang intinya feminin. Memaksimalkan potensi tersebut, Redmayne meresapi tiap sisi, melebur menjadi satu dengan abjad peranannya. Seperti pada "Theory of Everything" gestur alamiah tetap jadi kekuatan utama Redmayne. Disini gerakannya feminin tanpa harus dibuat-buat.
Berbagai ekurangan di atas patut disayangkan, lantaran sejatinya "The Danish Girl" bisa menguatkan kesan bahwa perempuan yaitu makhluk indah. Pada beberapa kesempatan, kita melihat kekaguman besar Einar terhadap tiap sisi wanita, mulai dari pakaian yang dikenakan, olesan make-up di wajah, hingga gerakan-gerakan anggun nan gemulai milik mereka. Perpaduan antara sinematografi, production design dan tata kostum berhasil mengesankan hal tersebut. Keindahan visual film ini pun balasannya menjadi tidak tanpa alasan. Kita "disadarkan" betapa indah seorang wanita, yang semestinya cukup menjadi modal awal biar penonton lebih memahami pula bersimpati pada Einar. "The Danish Girl" yaitu film indah dengan paruh pertama mengikat, namun semakin dalam konfliknya dieksplorasi, semakin terperinci bahwa ini hanya film berisi abjad transgender, bukan film mengenai transgender. Saya ikut mencicipi gejolak emosi dan kesedihan, tapi bukan lantaran alasan yang tepat.
Belum ada Komentar untuk "The Danish Girl (2015)"
Posting Komentar