Macbeth (2015)
Our fate is a mystery lies beneath the future. Ketidaktahuan terhadap apa yang telah menanti kita di masa mendatang seringkali berujung rasa cemas. Kita cemas apabila kelak menemukan kesuraman di masa depan. Tapi apakah dengan mengetahui garis nasib itu ketenangan akan menghampiri? Apakah bila tanggapan atas misteri masa depan sanggup kita ketahui "sebelum waktunya" -dan ternyata berisi keberhasilan- hidup serasa lebih ringan? Tanyakan itu pada Macbeth (Michael Fassbender), titular character dari film hasil penyesuaian peristiwa karya William Shakespeare -ditulis oleh sang penyair antara tahun 1599 sampai 1606- ini. Sejatinya, Macbeth tak pernah memendam ambisi besar untuk berkuasa, sama menyerupai ketiadaan hasrat menyibak tabir nasibnya. Dia "hanya" prajurit gagah berani yang memimpin pasukan Kerajaan Skotlandia dalam perang sipil.
Namun ketika perang berhasil dimenangkan, datanglah tiga penyihir memberikan ramalam bahwa Macbeth akan diangkat menjadi "Thane of Cawdor" bahkan kelak seorang raja. Meski awalnya kurang percaya, ramalan itu mulai terbukti kebenarannya tatkala Raja Duncan (David Thewlis) menunjuk Macbeth sebagai "Thane of Cawdor", alasannya ialah pemegang gelar sebelumnya dianggap telah berkhianat. Disaat Lady Macbeth (Marion Cotillard) mendengar ramalan tersebut, ia berusaha meyakinkan sang suami untuk "memenuhi" ramalan lewat rencana pembunuhan terhadap Raja Duncan. Sang raja pun tewas, dan ditunjuklah Macbeth sebagai Raja gres Skotlandia. Alih-alih menerima ketenangan, ia justru dikuasai rasa takut alasannya ialah teringat ramalan itu turut menyebutkan putera dari Banquo (Paddy Considine), kelak akan menggantikannya sebagai raja.
Sebagai tragedi, "Macbeth" juga merupakan studi terhadap kegilaan insan hasil dari ambisi berlebihan. Pengetahuan akan masa depan justru membawa Macbeth jatuh dari kstaria menjadi raja paranoid yang berkuasa dalam tirani. Dihantui rasa bersalah atas tiap nyawa yang telah ia renggut, Macbeth justru semakin banyak melaksanakan pembunuhan alasannya ialah takut posisinya dikudeta. Sisi peristiwa sebetulnya bukan tiba dari banyaknya janjkematian atau kejatuhan Macbeth sebagai raja, tapi bagaimana sosok perkasa itu menjadi gila. Selain sering melihat hantu dari mereka yang ia bunuh, Macbeth juga kerap bicara sendiri, bahkan dalam suatu perjamuan. Melihat "Macbeth", menarik rasanya mendapati dongeng berusia lebih dari empat era ini masih relevan mewakili sisi keserakahan insan zaman sekarang. Tidak hanya bentuk kuatnya observasi Shakespeare, tapi juga bukti bahwa nature manusia tak pernah berubah.
Naskah film ini setia terhadap sumbernya, yang berarti dialog-dialog berisi bahasa sastra usang nan puitis khas Shakespeare tetap dipertahankan. "Come, you spirits that tend on mortal thoughts, unsex me here, And fill me from the crown to the toe top-full of direst cruelty!", begitu ucap Lady Macbeth kala berdoa pada "roh jahat" agar diberi tuntunan guna memuluskan langkah sang suami menjadi raja. Kalimat di atas indah meski sulit untuk dicerna. Sesunguhnya bukan problem besar, alasannya ialah cara bertutur Justin Kurzel cukup berpengaruh menjelaskan suatu momen meski tidak dilakukan secara gamblang dan tetap membutuhkan konsentrasi lebih dari penonton. Andai kesulitan memahami dialog/monolognya, nikmati saja "Macbeth" lewat sisi estetisnya, alasannya ialah estetika karya seni tidak melulu harus dinikmati (hanya) menggunakan otak, tapi juga "rasa", yang mana tidak menuntut pemahaman fakta. Cukup rasakan.
Kurzel pun menyesuaikan caranya mengemas adegan dengan rangkaian kalimat puitis milik Shakespeare. Berbekal sinematografi dari Adam Arkapaw, Kurzel mengemas hampir semua adegan menjadi keindahan, bahkan dalam momen tatkala semerbak "aroma" janjkematian pula kengerian tercium sekalipun. Hal tersebut sanggup kita temui pada opening tatkala Macbeth dan Lady Macbeth menguburkan putera mereka, peperangan di awal banyak mengandung "poetic slow-motion" yang berbeda dari gerak lambat stylish ala-Zack Snyder, sampai pertempuran titik puncak berisi dominasi warna jingga. "Macbeth" mengingatkan saya pada "Valhalla Rising" karya Nicolas Winding Refn, dimana kebrutalan juga janjkematian terhampar kolam puisi. Tidak hanya indah, atmosfer -khususnya kesan haunting- bisa diperkuat oleh visualnya, selaras dengan kehadiran unsur mistis dalam narasi.
Bahasa yang terdengar "asing" memang memberi jarak antara penonton dengan kandungan emosi, tapi para cast mampu menyuguhkan performa kuat, sehingga "pembacaan puisi" mereka bukan sekedar eksploitasi keindahan kata, tapi terdengar alamiah. Michael Fassbender paling bersinar tatkala Macbeth terjerumus makin jauh kedalam jurang rasa bersalah dan ketakutan. Fassbender menggeram, menggetarkan tubuhnya, seolah memang tengah diselimuti rasa takut luar biasa. Paling penting, sang pemain drama bisa merepresentasikan transformasi Macbeth, alasannya ialah perubahan dari "terhormat" menuju "menyedihkan" ialah sisi esensial tokohnya. Sedangkan Cotillard meyakinkan, kolam iblis penghasut, begitu gampang menguasai pikiran suaminya. Cotillard juga halus menghantarkan perubahan dalam diri Lady Macbeth. Berbeda dari sang suami, kejatuhannya bukan berujung pada tindakan psychotic, melainkan rundungan murung mendalam.
"Macbeth" ialah dongeng wacana bagaimana iblis meracuni pikiran manusia. Namun iblis disini merupa aneka macam macam bentuk, bisa sebagai para penyihir misterius, arwah-arwah ingin tau atau seorang istri yang menghasut suaminya. Tapi film ini memperlihatkan bahwa iblis menjadi paling mengerikan tatkala ia berasal dari hasrat, yang sejatinya merupakan naluri alamiah milik kita, manusia. Kaprikornus apa sebetulnya iblis itu tak lain ialah diri kita sendiri? Selama hampir dua jam durasi, "Macbeth" tidak pernah sedikitpun melepaskan cengkeramannya, entah lewat keindahan visual, akting memukau, maupun teror mencekam dari kebrutalan serta peristiwa miliknya.
Belum ada Komentar untuk "Macbeth (2015)"
Posting Komentar