The Conjuring 2 (2016)

Sekitar setahun lalu, melalui akun twitter miliknya James Wan pernah berujar, "People say why remake Poltergeist when we should be making this generation's Poltergeist. Leigh Whannell and I already did." Penuturan itu merujuk pada Insidious yang dianggap sebagai salah satu haunted house horror terbaik generasi sekarang. 'Insidious' is indeed one of the better mainstream horror in recent years, but for me Wan's best is 'The Conjuring'. Dirilis tiga tahun lalu, bermodalkan serangkaian jump scare pintar nan efektif (ex: clap sceneThe Conjuring sukses meraup penghasilan $318 juta alias hampir 16 kali lipat bujetnya. Kali ini lewat sekuelnya, James Wan mementahkan anggapan sekuel film horor niscaya berkualitas jelek sekaligus membuat Poltergeist versinya sendiri. 

Alur The Conjuring 2 diangkat dari kisah aktual "Enfield Poltergeist" yang bertempat di London tahun 1977 dengan korban teror yaitu seorang ibu tunggal, Peggy Hodgson (Frances O'Connor) beserta empat anaknya. Kejadian asing berawal ketika sang puteri bungsu, Janet (Madison Wolfe) mengatakan gejala kerasukan  sleepwalking, perubahan suara. Ketika ketaknormalan semakin bertambah tatkala barang-barang dalam rumah mulai bergerak sendiri, pihak gereja menugaskan pasangan suami istri Ed Warren (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga) melaksanakan penyelidikan. Namun Lorraine sempat gamang akhir penglihatan mengenai janjkematian suaminya yang ia sanggup kala menyidik "The Amityville Horror" (their most famous and most documented case). 
Kelebihan terbesar James Wan meracik kengerian terletak pada pemahamannya akan isi pikiran penonton berujung terciptanya kesempurnaan timing untuk kehadiran momen seram. Ekspektasi penonton Wan permainkan. Sometimes he put it on a predictable moment, sometimes it was unpredictable, sometimes he delayed it for a sec, sometimes nothing happened. But most of the times it was scary and shocking. Dari situ ketegangan didasari antisipasi merambat sewaktu kita diajak menantikan jump scare sembari berharap-harap cemas mengawasi sudut gelap ruangan daerah Wan seolah meletakkan sesosok hantu mengerikan. Penggunaan tracking shot mengikuti pergerakan abjad serupa film pendahulunya turut menguatkan perasaan tersebut. 

Biarpun tidak ada yang sejenius adegan "tepuk tangan" ikonik pada film pertama, Wan masih mempertankan kreatifitasnya dalam memilih tak hanya "kapan", pula "bagaimana" teror hadir. Salah satu adegan penampakan "the nun demon" memanfaatkan bayangan plus lukisan boleh jadi bukti meski tak bisa dipungkiri sedikit terkesan silly. Nilai positif lain adalah ketika Wan bisa membuat poltergeist-esque scene miliknya terasa menyegarkan, tetap efektif walaupun sudah berulang kali diterapkan oleh setumpuk film horor lain. Dia menolak asal melempar barang ke dengan cepat diiringi imbas bunyi bombastis. Ibaratnya Wan ber-statement "you don't need to destroy a lot of things, just move it on the exact moment". Seperti ketika Janet terbangun mendapati bangku berpindah ke sebelahnya, rasa ngeri akhir membayangkan hal sama terjadi di kehidupan kita berhasil dipancing menyeruak muncul. For me, this one is scarier than 'Poltergeist' in term of crafting terror from moving things.
Iringan musik ikut menambah kekuatan The Conjuring 2. Seperti trilogi Insidious dan The Conjuring, James Wan masih berkolaborasi dengan komposer Joseph Bishara, dan selayaknya hasil serangkaian kerja sama tersebut, scoring-nya efektif merambatkan aura mencekam, membantu memaksimalkan dampak scary moment seklise apapun. But the most surprising aspect is the using of 'Can't Help Falling in Love' by Elvis Presley. Sekilas lagu itu bagaikan out of place di tengah cekaman horor, tapi nyatanya sesuai kala dipakai membangun korelasi romansa Ed dan Lorraine. Terdapat dua momen romantis  termasuk ending  berhiaskan lagu tersebut. Lagu ditambah akting berpengaruh Vera Farmiga yang melalui lisan menyiratkan betapa besar cintanya pada sang suami berhasil menumbuhkan kepedulian saya terhadap keduanya sampai cukup menyentuh perasaan. Jarang sajian horor bisa menggaet hati penonton lewat romansa  this movie even ends in a very romantic tone  dan The Conjuring 2 jadi salah satunya.

Sayang, filmnya mempunyai flaw besar terkait pace juga durasi yang mencapai 134 menit (22 menit lebih panjang dari predecessor-nya). Walau dasar kisah cukup kuat, Wan terlalu usang menggerakkan alur akhir sering dipotong demi memberi jalan bagi suguhan teror. Akhirnya tensi ikut terpengaruh, sehingga meskipun kreatifitas teror terjaga, kuantitasnya yang berlipat ganda berujung repetisi, sempat melelahkan di babak pertengahan. Mungkin itu pula penyebab titik puncak kurang menggigit, alasannya yaitu Wan telah kehabisan wangsit guna mengeksekusi puncak pertarungan Warrens melawan Valac. In the end, 'The Conjuring 2' is a little bit overlong and not as tight as its predecessor, but the smartly crafted jump scares and solid acting especially by Vera Farmiga made it one of the best (and sweetesthorror movie sequel in a long time. This generation's 'Poltergeist' that we deserve, more than the actual remake, proving that James Wan is also this generation's master of horror. 


SPHERE X FORMAT: The Conjuring 2 tak punya imbas visual megah yang biasanya jadi kenikmatan utama format SphereX, namun rentetan scary imageries milik James Wan terperinci membuat pengalaman menonton di layar raksasa ini patut dipertimbangkan. Atmosfer creepy serta penampakan-penampakannya cukup termaksimalkan. Cukup menyenangkan tapi bukan suatu kewajiban menontonnya di SphereX. (3/5)

Ticket Powered by: Indonesian Film Critics

Belum ada Komentar untuk "The Conjuring 2 (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel