Sundul Gan: The Story Of Kaskus (2016)
"The largest Indonesian community". Gelar itu saja telah cukup menjelaskan mengapa kisah dua sosok di balik kesuksesan Kaskus, Andrew Darwis dan Ken Dean Lawadinata layak dibuatkan biopic. Saya sendiri meski bukanlah Kaskuser cukup sering mengakses guna mencari informasi atau sekedar hiburan memiliki rasa ingin tahu perihal cikal bakal lembaga nomor satu tanah air ini. Namun terdapat kebosanan akan lebih banyak didominasi sajian biopic yang bagai hanya reka ulang ala kadarnya terhadap perjalanan hidup seorang tokoh tanpa gagasan berpengaruh atau poin utama dalam penceritaan. Diarahkan sutradara debutan Naya Anindita serta ditulis naskahnya oleh Ilya Sigma dan Priesnanda Dwisatria, Sundul Gan: The Story of Kaskus memunculkan pendekatan berbeda walau perjuangan tersebut tak sepenuhnya berhasil.
Usaha itu eksklusif nampak sedari awal tatkala alur bergerak maju mundur, melompat dari tahun ke tahun menyoroti persahabatan Andrew Darwis (Albert Halim) dan Ken Dean Lawadinata (Dion Wiyoko) yang kali pertama bertemu di Seattle. Lompatan alurnya dimaksudkan semoga kisah bergerak dinamis, tapi akhir pemaparan cepat plus sepenggal-sepenggal, sulit untuk eksklusif terikat dengan tokohnya. Beberapa menit awal karenanya kolam rangkaian segmen sambil kemudian tak berkesan, padahal semestinya cuilan tersebut menjadi pondasi bagi segala hal yang menanti di depan. Perjalanan kisah mulai nyaman dinikmati kala keliaran progresi alur mereda, tepatnya dikala Ken membujuk Andrew mengembangkan Kaskus di Indonesia.
Penggunaan treatment di atas kerap menciptakan naskahnya keteteran memaparkan konflik secara mendalam, apalagi kuantitas konfliknya begitu tinggi, rutin bergantian mengisi durasi bagai menolak memberi penonton kesempatan bernafas. Masalahnya, kepadatan konflik tidak dibarengi keberagaman di mana permasalahan selalu berputar mencakup Andrew yang merasa Ken lalai membagi fokus antara pekerjaan dengan kesepakatan nikah sehingga ia kerap bolos di kantor atau urusan mencari investor. Penekanan tentu cantik demi menjaga fokus cerita, tapi jikalau diulang terus menerus justru terkesan repetitif. Terlebih Ilya Sigma dan Priesnanda Dwisatria sering menekankan pada pertengkaran Andrew dan Ken daripada problema eksternal (ex: peristiwa server Kaskus di-hack).
Saya paham pertengkaran itu dibentuk guna menggambarkan ukiran dua sosok ambisius dengan ego tinggi, namun lemahnya momen kebersamaan mereka (they rarely support each other) menyulitkan aku mempercayai jalinan bromance keduanya, memburamkan pesan bahwa meski sering cekcok, mereka menyebarkan satu tujuan. Patut disayangkan, mengingat secara individu, pembangunan sosok Andrew maupun Ken sudah cukup kuat. Andrew ialah tech geek yang apatis soal percintaan dan canggung di hubungan sosial. Sedangkan Ken lebih hebat berbicara plus mengurusi bisnis tapi terlampau gemar bersenang-senang. Karakterisasinya jelas, saling mengisi, namun interaksi kurang dimaksimalkan. Bicara perihal akting, Dion Wiyoko punya charm untuk menciptakan Ken jadi tokoh likeable dan Albert Halim mempunyai magnet besar penarik atensi sebagai Albert yang sukar diajak kompromi, ambisius dan egosentrik.
Selaras dengan pembangunan dinamika naskah, penyutradaraan Naya Anindita turut menyulap Sundul Gan: The Story of Kaskus menjadi energetic biopic bertempo cepat berisikan kemantapan visi penuh kreatifitas tutur. Tengok cara Naya Anindita memindahkan satu scene menuju lainnya dengan cepat tanpa meninggalkan kekacauan sewaktu naskahnya kendor sekalipun. Keputusannya menggunakan beberapa visual ala game (level up, achievement unlocked, etc.) semakin menghidupkan suasana sekaligus memperkuat kesan playful dan unique, menyerupai Kaskus sendiri. Tapi entah mengapa filmnya berlebihan menggunakan CGI sebagai latar setting banyak adegan alih-alih membangun set nyata, padahal CGI-nya tampak begitu kasar.
Sedikit mengganggu kala dalam film mengenai pembuat Kaskus, aku menyerupai kurang diajak ikut mencicipi cinta pada lembaga itu sebagaimana yang mereka rasakan. Kisahnya dimulai pasca Kaskus telah berdiri cukup mapan dan momen-momen berikutnya lebih menekankan pengembangan Kaskus sebagai bisnis daripada karya cita-cita protagonisnya. Namun kekurangan itu sanggup dimaafkan, sebab poin utama Sundul Gan: The Story of Kaskus memang bukan Kaskus belaka melainkan dinamika kedua sosok pengusungnya. Sometimes this movie feels pretty disjointed because it was trying too hard to be energetic, but at least this one is a different and unique take on biopic genre. Could be a great one, though.
Ticket Powered by: Bookmyshow ID
Belum ada Komentar untuk "Sundul Gan: The Story Of Kaskus (2016)"
Posting Komentar