Finding Dory (2016)

Tepat apabila menyebut "drama emosional" sebagai keunggulan utama Pixar sekaligus salah satu alasan terbesar penonton cukup umur menantikan karya-karya mereka. Tapi menjadi keliru tatkala unsur tersebut dianggap wajib ada dan merupakan kegagalan kalau gagal menguras air mata. Pixar is more than that. Cerita berselipkan kritik sosial, huruf ikonik nan likeable, hingga visual memikat ialah kekuatan lain yang semestinya tak dikesampingkan. Itu pula yang terjadi pada Finding Dory, sekuel dari Finding Nemo, which is one of Pixar's best and richest movie. Tidak sekalipun saya sesenggukan berlinang air mata karenanya, namun bukan berarti bencana, alasannya ialah selama kurang lebih 103 menit durasi, gelak tawa setia menghampiri seolah tanpa henti. 

Enam bulan pasca kisah film pertama, Dory (Ellen DeGeneres) mendadak ingat kepingan-kepingan ingatan masa kecil mengenai kedua orang tuanya serta suatu daerah berjulukan "the jewel of Morro Bay, California". Tanpa pikir panjang, Dory segera melaksanakan perjalanan mencari keluarganya ditemani oleh Marlin (Albert Brooks) dan Nemo (Hayden Rolence), sebelum balasannya terpisah dan terjebak di sebuah marine life institue. Di sanalah Dory bertemu dengan beberapa binatang maritim yang turut memberi pinjaman mencari keluarganya; Hank (Ed O'Neill) si gurita bertentakel tujuh, Destiny (Kaitlin Olson) hiu paus sekaligus sahabat masa kecil Dory, dan paus beluga berjulukan Bailey (Ty Burrell). Now it's time for Dory's adventure and (of course) she's gonna keeps swimming

Originalitas penuh imaji berupa keunikan interpretasi dunia bawah maritim milik Finding Nemo sudah tentu takkan terasa lagi, dan sayangnya sulit menanggulanginya mengingat nyaris tidak mungkin sekuel memunculkan sihir serupa pendahulunya. Andrew Stanton selaku sutradara sekaligus penulis naskah (bersama Victoria Strouse) sadar betul dan menentukan pendekatan lain yakni fokus menghadirkan petualangan semenyenangkan mungkin. Bagi saya Finding Nemo adalah reka ulang "realis" terhadap kehidupan binatang maritim mencakup kebiasaan, cara hidup, pola pikir, atau parodi wacana stereotip yang melekat. Sebaliknya, Finding Dory lebih cartoonish dan adventure-oriented, sebagaimana dicontohkan adegan Hank mengendarai truk di jalan raya yang mana adegan semacam itu tidak akan ditemukan dalam film pertama. 
Apakah itu buruk? Justru sebaliknya, pendekatan berbeda sukses menghindarkan kesan repetitif meski beberapa poin alur  pencarian keluarga, usaha kabur dari "kurungan"  mencerminkan kemiripan. Stanton total mencurahkan ilham kreasinya guna membangun petualangan penuh adegan imajinatif plus formasi humor-humor cerdas dengan keefektifan tinggi memancing tawa. Tidak peduli seberapa anehnya seekor gurita kebut-kebutan saya terpukau kala Stanton memakai slow motion serta iringan lagu What A Wonderful World sebagai epilog sequence. Begitu pula gelak tawa yang rutin muncul ketika Bailey beraksi layaknya cenayang  sambil bergumam "ooomm". Aneh, tapi kecacatan berbalut pengadeganan kreatif juga visual unik itulah daya pikatnya.

Naskah karya Andrew Stanton dan Victoria Strouse masih mempertahankan jalinan drama keluarga, pula paparan warta wacana kesalahan insan mengartikan "menyelamatkan" dengan "merusak" yang kembali menempatkan insan sebagai bahaya terbesar di tengah ketiadaan sosok villain layaknya film pertama, walau akhir fokus pada hiburan, eksplorasi berujung tak seberapa emosional meski well-executed dan bukan hanya sepintas lalu. Sentuhan paling berkesan justru ada dalam pesan penuh makna seputar sosok Dory. Dia boleh saja melupakan banyak hal, tapi justru lantaran itulah, mirip kalimat andalannya "just keep swimming", tiada keraguan menyelimuti Dory sewaktu hendak melaksanakan sesuatu, seberapa gilanya hal itu. Bahkan ketika Marlin dan Nemo tersudut, mereka berusaha memposisikan diri sebagai Dory, because "do something" is what she always does. Berangkat dari situ, saya makin terpikat oleh daya juang Dory, mendukungnya di tiap momen petualangan.
Berkaitan akan usaha karakternya, Stanton dan Strouse sukses menuliskan baris kalimat demi kalimat quotable yang saya cukup yakin nantinya bakal bertebaran di internet sebagai meme penebar pesan moral. Di samping itu, selaras dengan semangat mengusung suguhan menghibur, deretan pun (plesetan) menggelitik konsisten dituliskan Stanton dan Strouse. Serangkaian pun seperti "Don't be so Dory, Dory" merupakan bentuk kepiawaian duo penulis naskahnya merangkai kalimat-kalimat yang sejatinya "murahan" jadi terdengar cerdas, renyah dan sudah baran tentu amat lucu berkat kesempurnaan timing dan cara penghantarannya. 

Pada balasannya Finding Dory belum berada di level setara Finding Nemo, tapi bukan problem mengingat pendahulunya itu ialah masterpiece animasi. Berada setingkah di bawah bukanlah hal mengecewakan. Justru menganggap Finding Dory suatu kegagalan akhir ketiadaan banjir air mata menyerupai merendahkan kapasitas Pixar, lantaran bukan itu belaka kemampuan studio animasi terbaik di Hollywood ini. Finding Dory telah berhasil melaksanakan apa yang tak bisa dilakukan dua film Cars maupun Monsters University, yaitu menyuguhkan kesempurnaan hiburan menyenangkan tanpa pernah melupakan pentingnya kekuatan penceritaan. There won't be a bucket full of tears here, but there will be laughter and so much joy. One of Pixar's funniest


STARIUM EXPERIENCE: Selayaknya suguhan animasi Pixar lain, Finding Dory dibalut visual memikat dan saya mereferensikan agar menontonnya di layar raksasa macam IMAX, Starium maupun Sphere X. Untuk Starium sendiri, tekstur huruf hingga penggambaran lautan sanggup dinikmati secara cukup detail, hanya saja tidak hingga pada tingkatan memukau, terlebih seputar kedalaman gambar yang biasa saja. Is it worth the money? Pretty much, but Sphere X or IMAX are a better choice. (3.5/5)

Ticket Sponsored by: Indonesian Film Critics

Belum ada Komentar untuk "Finding Dory (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel