The Big Short (2015)
Krisis finansial global pada tahun 2007-2008 dianggap oleh banyak kalangan sebagai krisis finansial terburuk semenjak "Great Depression" yang berlangsung pada 1930-an. Hanya di Amerika Serikat saja, jutaan orang kehilangan rumah serta pekerjaan mereka. Terdengar bagai mimpi jelek global, tapi coba jawab denga jujur, kecuali anda seorang pemain saham atau analis ekonomi, apakah anda ikut mencicipi dampak signifikan dari krisis tersebut? Mungkin ada beberapa efek, tapi bagi kita di Indonesia, tidak begitu masif. Tidak hingga menciptakan banyak orang bunuh diri atau merubahnya dari jutawan jadi pengangguran. Itulah mengapa film-film yang mengangkat fenomena itu ibarat "Margin Call" garapan J. C. Chandor tidak begitu berkesan bagi saya. Merasa absurd dengan konflik apalagi istilah perekonomian yang banyak digunakan menjadi alasan terbesar. Sehingga merupakan kejutan besar ketika Adam McKay menciptakan film wacana krisis finansial. Adam McKay yang sebelumnya dikenal sebagai kreator dwilogi komedi abstrak "Anchorman" coba mengadaptasi buku non-fiksi "The Big Short" karya Michael Lewis.
Bukan hanya menyutradarai, McKay turut menulis naskahnya bersama Charles Randolph. Cerita berlatar pada 2005 dimana housing market masih berjaya, mengalirkan jutaan dollar ke kantong para investor dan tentu saja bank. Tapi seorang manajer eksentrik dari sebuah hedger fund bernama Michael Burry (Christian Bale) yakin bahwa pasar akan kolaps pada kwartal kedua 2007. Prediksi tersebut ia sanggup menurut perhitungan makin banyaknya subprime loans yang tidak membayar hipotek. Burry pun melaksanakan hal yang dianggap banyak pihak sebagai kebodohan ketika mengajukan credit default swap. Artinya beliau akan menerima uang dari hipotek yang "mati", which is unlikely. Setidaknya itu anggapan pihak bank. Tindakan Burry secara berantai menginspirasi beberapa orang yang turut melihat potensi perjudian besar tersebut. Mereka antara lain yaitu trader bernama Jared Vennett (Ryan Gosling), Mark Baum (Steve Carrell) seorang manajer hedge fund lain, serta dua investor muda, Charlie (John Magaro) dan Jamie (Finn Wittrock) yang menerima derma dari Ben Rickert (Brad Pitt), seorang mantan banker.
"The Big Short" berisikan ensemble cast menggiurkan yang bakal menarik minat penonton dari kalangan manapun, mulai dari pecinta film, penggemar hiburan menonton di bioskop, hingga wanita-wanita penggila ketampanan Bale, Gosling atau Pitt. Disitulah filmnya berpotensi besar "menipu" banyak calon penonton. Begitu banyak istilah ekonomi macam "credit default swap", "sub-prime mortgage", "collateralized debt obligations (CDO)" serta masih banyak lagi, yang tanpa pengetahuan dasar akan menciptakan anda pusing kepala. Belum lagi rasa absurd dengan konflik utama yang otomatis mengalangi terjalinnya ikatan emosi. Bahkan sesudah menghabiskan beberapa hari membaca artikel hingga menonton video untuk setidaknya punya pengetahuan dasar, saya masih beberapa kali tersesat. Karena walau mengerti beberapa definisi, pemahaman lebih jauh tetap diharapkan untuk mengetahui dampak beberapa hal yang terjadi dalam alur. Tapi disinilah penyutradaraan Adam McKay berperan besar mengakibatkan filmnya tetap enjoyable.
Tentu karakternya melontarkan bahasa perekonomian bagaikan berondongan peluru dari senapan mesin; cepat, kacau, berisik. Karena keriuhan itu memang esensial untuk menggambarkan kondisi cerita, McKay pun mengemas narasi dengan tempo tinggi, termasuk lewat cutting adegan cepat. "The Big Short" sukses merubah persepsi saya akan McKay, dari seorang "jenius komedi" menjadi "bajingan super jenius". Tengok visinya dalam bertutur. Layaknya seorang profesor gila tengah bereksperimen, McKay menyelipkan bermacam footage hingga video klip sebagai penguat narasi. Saya terperangah menyaksikan lompatan adegan pencipta moviegasm yang juga diedit begitu cermat oleh Hank Corwin. Both of them should win the Oscar! David Wyman yang bertanggung jawab dalam sound mixing juga berperan besar memperkuat dinamika pengadeganan lewat beberapa ketukan ritmis dengan sumber dari benda-benda di sekitar ibarat mouse atau keyboard.
Progresi alur jadi begitu menyenangkan berkat itu, meski berisiko menciptakan penonton awam hilang arah alasannya yaitu terlalu dinamis cenderung chaotic. Tapi jangan khawatir, alasannya yaitu comedy signature milik McKay yang abstrak tak hanya efektif memancing tawa, tapi juga mengakibatkan "The Big Short" jauh lebih ringan serta simpel dipahami. Salah satu bentuknya ketika dalam beberapa kesempatan alur "berhenti" sejenak guna menjelaskan suatu istilah pada penonton lewat jalan absurd, lucu, tapi simpel dimengerti. Karena, siapa tidak terenggut atensinya oleh Margot Robbie yang tengah berendam di dalam bathtub meski ia membicarakan pengertiam kompleks dari CDO? Sayangnya, "kebaikan hati" McKay untuk membimbing penonton itu tidak bertahan kala film memasuki third act. Disaat konflik memasuki tahapan paling kompleks dan kacau, McKay seolah kebingungan untuk mengemasnya supaya lebih simpel dimengerti. Alhasil, titik puncak justru jadi momen dimana filmnya makin mengalienasi penonton awam.
Seperti yang telah saya singgung, daya tarik terbesar film ini bagi penonton adaah ensemble cast-nya. Keempat pemain drama utamanya memikat dalam porsi mereka masing-masing. Gosling masih mengandalkan charm-nya sebagai trader jago persuasi. Sedangkan Brad Pitt yaitu weary old man menunjukkan kematangan bertutur, sehingga penonton akan tetap betah meski hanya mendengarkannya duduk dan bicara. Namun Steve Carrell dan Christian Bale yaitu yang paling bersinar. Carrell melanjutkan transformasinya sebagai pemain drama dramatik kelas satu pasca "Foxcatcher". Karakternya didominasi teriakan dan amarah, tapi bukan hanya itu. Kita bisa mencicipi betapa frustasinya seorang Baum akan kondisi dunia bisnis yang penuh tindakan kotor. Sedangkan Bale tepat sebagai socially awkward person yang gagap dalam bicara, memperlihatkan tatapan mata creepy dan komentar pedas yang sebetulnya unintentional, serta sisi antik lain ibarat tiba ke kantor hanya dengan kaos dan celana pendek atau memutar lagu Metallica dengan volume maksimal di dalam ruangan.
Saya tak akan berbohong dengan menyatakan paham akan segala aspek. Tapi tanpa pemahaman penuh pun film ini mempunyai hal lain untuk memuaskan setiap penonton. Sebutlah karakterisasi Baum dan Burry dalam eksplorasinya terhadap bagaimana dua sosok berkemampuan sosial kurang harus berinteraksi dengan orang lain. Atau bagaimana naskah McKay secara arif tidak mempunyai satu pun tokoh yang sepenuhnya "baik". Karena masing-masing menyimpan kepentingan sendiri, tidak ada yang sepenuhnya berjuang atas nama kejujuran, walau Baum sekalipun. Mungkin kita sebagai penonton di Indonesia tidak mencicipi keterikatan dengan kisahnya, tapi McKay tetap bisa membangun kengerian. Kesan "kiamat akan segera datang" sanggup saya rasakan. "The Big Short" yaitu olok-olok menggelitik terhadap kebodohan kapitalis. Tapi karenanya ini yaitu tragicomedy dengan konklusi kelam, menyadarkan bahwa yang bisa dilakukan memang hanya olok-olok, alasannya yaitu kita masih terjebak dalam bundar setan yang bukan mustahil kelak membawa dunia menuju kehancuran serupa, bahkan lebih besar.
Pertanyaannya, "apakah saya merekomendasikan film ini?" Jika anda bersedia terlebih dulu mempelajari subjek permasalahannya, silahkan tonton, dan berguru yaitu hal yang layak dilakukan alasannya yaitu kepuasan besar yang akan didapat sesudah menonton. "The Big Short" dibuat untuk dummy di bidang ekonomi, tapi dummy yang bersedia belajar. Meski patut disayangkan pada third act, McKay ibarat melupakan tujuan itu yang mana menciptakan filmnya ambigu (not in a good way), diperuntukkan bagi para ahli atau awam. But still, "The Big Short" is the best movie about global financial crisis (so far), mostly because of the smart direction from Adam McKay.
Belum ada Komentar untuk "The Big Short (2015)"
Posting Komentar