London Love Story (2016)

Sejak dulu sinema beserta pemain drama di dalamnya (baca: selebritas) selalu jadi daerah penonton "jelata" menggantungkan angan. Setelah menjalani penatnya keseharian dunia nyata, orang ingin dibawa melayang di tengah kegemerlapan para selebriti, entah di dalam maupun balik layar. Gemerlap itu berwujud paras rupawan, penampilan trendi, barang mewah, jalan-jalan ke luar negeri dan tentunya cinta sejati. Teruntuk Indonesia di mana budaya menonton di bioskop masih sering dianggap bentuk kemewahan, segala gemerlap tadi cenderung mendominasi layar televisi, baik melalui sinetron maupun FTV. Pecinta televisi khususnya dari usia cukup umur awal lebih menggemari romantisme berkilau macam itu daripada cerminan realita atau high concept di layar lebar.

Maka jangan heran tatkala "Magic Hour" berhasil mendatangkan lebih dari 850.000 penonton dan bertengger di posisi kelima daftar film Indonesia terlaris tahun 2015. Masih diarahkan oleh Aspe Kusdinar dan menampilkan dua main cast sama (Michelle Ziudith & Dimas Anggara), "London Love Story" coba mengulang kesuksesan pendahulunya bermodalkan formula serupa ditambah setting luar negeri yang tengah menjadi trend. Segala konflik dimulai ketika Dave (Dimas Anggara) menolong Adelle (Adila Fitri) yang hendak bunuh diri melompat dari jembatan. Tapi ibarat "remaja galau" pada umumnya, Adelle justru merasa takut dan meminta tolong pada Dave. Adelle pun untuk sementara waktu tinggal di apartemen Dave. Hanya butuh semalam bagi Adelle mulai flirting meski gres saja coba bunuh diri lantaran batal menikah. 
Pertama, begitu cepatnya Adelle jatuh cinta terang bukan disebabkan pesona Dave (intensi filmnya), but because she's such a bitch. Kedua, pilihan Dave tidak berbuat apapun (you know what I mean) pada wanita bagus yang selalu menggodanya (plus tinggal seatap) tidak memberi kesan bahwa Dave laki-laki sejati yang menjaga cintanya pada sang mantan kekasih meski sudah setahun menghilang entah kemana (intensi filmnya juga), but because he's such an idiot. Kemudian kita diperkenalkan pada Caramel (Michelle Ziudith) yang memang semanis popcorn rasa karamel. Sama ibarat Dave, Caramel kesulitan membuka hati pada laki-laki berjulukan Bima (Dion Wiyoko). Tapi ini wajar, mengingat banyak sekali tindakan norak dari Bima ibarat menerobos antrian di restoran pizza daerah Caramel bekerja hanya untuk memaksa gadis pujannya berkencan. Itu bukan romantis, tapi memalukan.

Mungkin anda bertanya-tanya kenapa sehabis baris kalimat serius di paragraf pertama goresan pena saya berkembang menjadi "sindiran sayang" pada paragraf berikutnya. Sindiran di atas kerap saya gunakan untuk mengulas film berisi kebodohan akut, dan harus diakui "London Love Story" khususnya untuk naskah memang menghadirkan rangkaian kebodohan. Tapi semua itu disengaja. Target pasar film ini memang bakal menganggap cara tokohnya menyikapi percintaan sebagai suatu hal romantis. Mereka akan "meleleh" menyaksikan perjalanan cinta Dave dan Caramel, tidak peduli meski "rasa sinetron" ibarat momen penuh kebetulan atau adegan kecelakaan terasa dominan. Tidak peduli, lantaran itulah yang mereka sukai, ketika dramatisasi cinta berlebihan (dianggap) berbanding lurus dengan romantisme.
"London Love Story" yaitu bentuk escapism sempurna berkat kehadiran aspek-aspek gemerlap di atas. Melihat si tampan Dave dan si bagus Caramel mengejar cinta walau harus melalui banyak ujian, tak lain merupakan citra cinta sejati idaman para remaja. Keduanya menetap di London, mengenakan pakaian mahal, tinggal di apartemen dan mempunyai kendaraan beroda empat mewah. Kombinasi semua itu membentuk formula ampuh supaya penonton melayang di harapan akan kesempurnaan hidup, sejenak melupakan betapa realita tak seindah harapan. Belum lagi naskah karya Sukhdev Singh dan Tisa TS membombardir pendengaran kita dengan rentetan quote percintaan, yang lagi-lagi menciptakan penonton cukup umur berteriak histeris (serius, itu bencana nyata), meski penggunaan kalimat puitis itu tidak sinkron dengan gaya bicara tokohnya sehari-hari. 

Saya tahu film ini bodoh, tapi semoga bagaimanapun saya insan biasa, hingga tak mungkin sepenuhnya menolak "pesona duniawi" tadi. Terlebih sutradara Asep Kusdinar bisa menarasikan dongeng dengan cukup baik. Walaupun kental unsur FTV, Asep sadar ia tengah menciptakan film bioskop, sehingga penghantaran dramatisasi tidak hingga taraf annoying. Penggunaan flashback juga tidak hingga menciptakan jalannya alur acak-acakan. Di jajaran cast, Michelle Ziudith paling menonjol berkat kapasitasnya menghantarkan adegan emosional meski belum mencapai taraf luar biasa. Menghibur atau tidaknya film ini tergantung seberapa jauh anda bisa mendapatkan "unsur anak muda" nya. Bagi saya sendiri "London Love Story" yaitu guilty pleasure berisikan segala pernak-pernik FTV yang disaat bersamaan terasa memuakkan sekaligus memabukkan.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "London Love Story (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel