Norm Of The North (2016)

Hingga dikala ini, saya masih bisa menikmati tontonan berpangsa pasar anak-anak. Sebagai pola saya terhibur menonton "Curious George" berbekal segala kesederhanaan berbalut selipan pembelajarannya. Bahkan kalau benar-benar senggang, saya beberapa kali menyaksikan "Teletubbies" di YouTube. Dua program tersebut yaitu pola tontonan anak yang bagus, bisa menyeimbangkan hiburan dan pendidikan, tapi paling penting tidak menciptakan orang remaja "tersiksa". Disaat program televisi masih bisa disaksikan sendiri oleh anak di rumah, lain kisah dengan film bioskop. Mustahil mereka tiba sendirian. Pasti orang tua, abang atau kerabat lain berusia remaja ikut menemani. Karena itu hanya ada rating "semua umur", bukan "anak kecil".

"Norm of the North" terang dibentuk dengan impian bisa memperlihatkan hiburan bagi penonton muda. Ceritanya sederhana, berisikan petualangan dan tarian dari para binatang yang bisa bicara. Norm yaitu beruang kutub sekaligus calon raja di Antartika. Masalahnya, sebagai binatang buas, Norm justru tidak mempunyai kemampuan berburu. Hatinya terlalu lembut untuk tega menerkam singa bahari sebagai materi makanan. Tapi ia punya dua kelebihan yang tidak dimiliki binatang lain: bisa bicara bahasa insan dan twerking. Dua hal itu menjadi senjata Norm tatkala seorang insan berjulukan Mr. Greene berniat membangun perumahan glamor di Antartika. Demi menyelamatkan rumahnya, Norm berangkat ke New York guna menggagalkan rencana tersebut.
Bahkan dari tampak luarnya saja film ini sudah buruk. Pada masa dimana Pixar berbagi photo realistic imagery lewat "The Good Dinosaur", kualitas visual "Norm of the North" memang terasa murahan. Tentu membandingkan dua film dengan perbandingan bujet hampir 1:10 tidaklah bijak, tapi bahkan bila dirilis satu dekade kemudian pun visualnya masih buruk. Gambar kaku berisikan objek "kotak-kotak" turut diperparah oleh kemalasan animatornya mendesain karakter. Pada sebuah adegan kala sekumpulan lemming menari, terlihat gambarnya merupakan hasil multiplying satu desain. Sewaktu setting berpindah ke New York, kalau jeli anda akan mendapati beberapa figuran insan muncul berulang-ulang. Walau sekedar background character, itu cukup menunjukan kemalasan pembuatnya.

Ceritanya pun bernasib serupa. Saya tidak menuntut naskah cerdas dari film menyerupai ini, tapi setidaknya janganlah terlampau bodoh. Kekurangan bukan dikarenakan kisahnya terlalu sederhana, sebaliknya, bumbu intrik politis dan korupsi dunia real estate memperlihatkan ambisi berlebihan dari naskah biar nampak pintar. Ambisi itu tak sejalan dengan kemampuan, sehingga banyak menimbulkan pertanyaan akhir kebodohan naskahnya. Bayangkan anda menemani anak/adik, kemudian mereka bertanya "maksudnya korupsi gimana?" atau kekerabatan alat cara kerja alat pengukur proteksi masyarakat. Penulisnya tidak malas, hanya mengalokasikan energi mereka pada aspek yang salah.
Semestinya petualangan sederhana saja sudah cukup, dimana fokus terbesar terletak pada perjuangan menjadikan Norm aksara likable. Modal dasar bersama-sama telah dimiliki melihat menyerupai apa sosok Norm: binatang bertubuh besar, berbulu lebat, bertingkah laris clumsy. Karakteristik serupa pernah berhasil diterapkan dalam "Kung Fu Panda". Bahkan tiga lemming berbekal keganjilan mereka terang dibutuhkan memberi efek sama sebagaimana penonton jatuh cinta akan Minions. Sayang, baik aksara utama maupun sidekick tidak diberi momen cukup guna menggaet ketertarikan penonton. Mereka lebih banyak dipakai sebagai penghantar komedi slapstick monoton tak lucu. Kegagalan menciptakan penonton terikat pada aksara juga berarti kegagalan menyuntikkan "hati". Jangankan gejolak rasa, sepercik kehangatan pun tak ada. Film ini sedingin setting-nya.

Sekalinya menghibur yaitu dikala nomor musikal mulai mengisi, tapi itupun disebabkan formasi lagu catchy. Sutradara Trevor Wall tampak miskin kreativitas dalam pengemasan nomor musikal. Apa dilakukan oleh Trevor Wall selalu sama, entah melemparkan karakternya terbang ke atas, bergabung dalam tarian massal, atau twerking dari Norm. Maaf saja, tapi goyangan pantat beruang berlapis animasi jelek sama sekali tidak menghibur. But maybe it's just me. Maybe I'm too old for this shit. Maybe I'm too serious. Masih terdapat kemungkinan anak atau adik anda yang masih kecil merasa terhibur lantaran film ini. Namun kalau anda ingin mereka menerima hiburan berbobot berselipkan sedikit pesan berharga, sebaiknya jauhi "Norm of the North" dan bersabar menantikan "Kung Fu Panda 3" bulan depan.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Norm Of The North (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel