Snowpiercer (2013)

Pada tahun 2013 lalu, beberapa sutradara besar dari dunia perfilman Korea memulai debut mereka di Hollywood. Kim Ji-woon dengan The Last Stand yang menjadi penanda kembalinya Arnold Schwarzenegger, sedangkan Park Chan-wook menciptakan Stoker. Sayangnya, walaupun kedua film tersebut sama-sama punya kualitas yang baik, nyatanya secara komersial keduanya bisa dibilang gagal meraih laba yang signifikan. Maka dari itu, Bong Joon-ho bisa dibilang menjadi impian terakhir bagi sineas Korea untuk menandakan diri bahwa mereka bisa menembus pasar internasional. Peluang Bong cukup besar, mengingat ia punya satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh Kim Ji-woon maupun Park Chan-wook yang juga menjabat sebagai produser disini, yaitu kemampuan menciptakan film berkuaitas yang tetap bisa menarik penonton dalam jumlah besar. Hal tersebut sudah ia buktikan lewat The Host yang tidak hanya menjadi salah satu film monster terbaik tapi juga film terlaris di Korea sepanjang masa. Snowpiercer yang disesuaikan dari novel grafis berjudul Le Transperceneige ini juga didukung oleh bujet besar, pendistribusian luas oleh The Weinstein Company, serta formasi nama besar menyerupai Chris Evans, Song Kang-ho, Go Ah-sung, Jamie Bell, Tilda Swinton, Ed Harris, John Hurt, hingga Octavia Spencer.

Diceritakan, pada tahun 2014 dilakukan sebuah eksperimen untuk menghentikan pemanasan global. Tapi sayangnya eksperimen terebut malah berujung pada peristiwa global yang menjadikan seluruh dunia tertutup salju dan kembali ke zaman ice age. Umat insan pun berada diambang kepunahan, dimana yang berhasil bertahan hidup hanya mereka yang tinggal di dalam sebuah kereta super cepat berjulukan Snowpiercer. Kereta tersebut didesain sedemikian rupa hingga bisa memiliki sebuah mesin yang disebut sebagai "mesin keabadian" yang sanggup membawa kereta tersebut berjalan memutari Bumi selamanya. Tapi nyatanya kehidupan dalam Snowpiercer tidaklah lebih baik, alasannya yakni jurang pemisah yang begitu besar antara si kaya dan si miskin. Mereka yang kaya termasuk sang pembuat kereta, Wilford (Ed Harris) hidup glamor dan senang di gerbong depan, sedangkan gerbong belakang diisi oleh orang-orang miskin yang hidup menderita dibawah penindasan dan setiap hari hanya makan sebuah blok protein. Hingga alhasil pada tahun 2031, para penghuni gerbong belakang ini berencana melaksanakan revolusi yang dipimpin oleh Curtis (Chris Evans). Tentu saja ini bukan hal yang gampang mengingat ada begitu banyak penjaga serta beberapa gerbang yang selalu dijaga dan terkunci rapat. Untuk itulah mereka meminta pertolongan pada Namgoong Minsu (Song Kang-ho) yang tidak lain yakni orang yang menciptakan rangkaian pengaman antara tiap pintu gerbong. 

Jika bicara perihal ceritanya, Snowpiercer bisa dibilang bukanlah sajian yang revolusioner. Kisah masa depan pasca-kiamat dimana sisa umat insan tinggal terpisah menurut status sosial memang sudah berkali-kali diangkat sebagai film termasuk dalam Elysium  karya Neill Blomkamp yang rilis beberapa bulan lalu. Bedanya, Snowpiercer hanya ber-setting di dalam sebuah kereta api, alasannya yakni memang sisa populasi insan di Bumi hanya tinggal yang berada di dalam sana. Hal inilah yang pada alhasil justru jadi kelebihan Snowpiercer, karena dengan keterbatasan lokasi bahkan teknologi yang tidak digambarkan terlalu canggih (kecuali mesin kekal dalam kereta), Bong masih tetap bisa menghadirkan sebuah film yang menggambarkan sebuah revolusi dengan cukup epic. Keunikan dari film ini salah satunya ada pada penggambaran jarak antara pihak kaya dan miskin. Jika film-film lainnya menggambarkan jurang yang menganga antara kedua belah pihak baik dari segi kemakmuran hidup hingga jarak domisili (misa si miskin di Bumi, si kaya di luar angkasa), maka Snowpiercer justru menunjukkan bagaimana dekatnya jarak antara kedua pihak ini yang hanya dipisahkan beberapa gerbong, namun dengan jarak yang erat tersebut tercipta sebuah pembeda yang sangat ekstrim. Bukankah hal menyerupai ini yang lebih sering terjadi dalam kehidupan nyata? Yaitu dimana mereka yang kaya raya dan hidup glamor sebetulnya hidup berdampingan bahkan bersebelahan dengan rakyat miskin, namun dunia keduanya terasa begitu berbeda.
Pemilihan setting yang sempit pun nyatanya tidak membatasi Bong untuk menciptakan sebuah sajian yang terasa seru meski punya skala yang bisa dibilang tidaklah terlalu besar. Justru dengan menghadirkan kekacauan dan pertarungan brutal yang melibatkan banyak orang, aura claustrophobic dan ketidak nyamanan jadi makin terasa dalam tiap adegannya. Saya pun amat menyukai bagaimana Bong Joon-ho menunjukkan keunggulan yang dimiliki sutradara-sutradara Korea termasuk dirinya dalam mengemas sebuah adegan aksi. Tidak menyerupai adegan agresi Hollywood yang banyak terasa hambar, para sineas Korea hebat menciptakan rentetan adegan agresi yang stylish, brutal dan penuh ketegangan. Hal itu jugalah yang diperlihatkan Bong disini. Lebih banyak pertarungan dengan senjata tajam daripada senjata api juga jadi poin plus, dimana tiap ayunan pisau ataupun kapaknya tersaji dengan keren termasuk balutan slow motion yang tidak berlebihan. Sebagai misalnya yakni sebuah adegan pertarungan di dalam terowongan gelap yang diawali dan berlangsung dengan begitu epic. Momen epic tersebut bahkan sudah mulai terasa ketika Chris Evans berteriak memerintahkan api untuk dinyalakan. Pada adegan itulah semangat revolusi dan usaha yang didasari impian tinggi begitu berhasil tersampaikan. Momen tersebut juga turut terbantu oleh scoring bagus dari Marco Beltrami yang selalu berhasil membantu membangun mood dan suasana emosi yang sempurna dalam film ini.

Sayangnya tensi film ini menurun mendekati akhir, bahkan titik puncak yang ada tidak sanggup menandingi adegan-adegan pertempuran epic yang sudah digeber di awal hingga pertengahan film. Semakin jauh Curtis melangkah maju dalam kereta tersebut, semakin menurun juga tensi filmnya. Untungnya Snowpiercer tidak hingga jadi terasa membosankan di paruh alhasil tersebut. Satu hal lagi yang patut diapresiasi dari Bong Joon-ho dalam filmnya ini yakni usahanya untuk tetap mempertahankan banyak sekali ciri khas yang ia miliki meski tentu saja campur tangan dan rasa Hollywood tetaplah terasa disini. Masih ada beberapa sentuhan komedi hitam meski tidak terlalu banyak. Lalu unsur kekerasan yang cukup terasa miris dan menyakitkan menyerupai adegan potong tangan juga jadi salah satu pembeda film ini dengan blockbuster Hollywood pada umumnya. Sayangnya aspek emosional yang biasanya jadi kekuatan fim-film Bong kurang tergali maksimal disini. Tapi tetap saja saya suka bagaimana atmosfer kelam dan tragis masih berani ditonjolkan disini, termasuk latar belakang yang aksara Curtis yang disinggung sekilas lewat monolog Chris Evans yang meskipun singkat tapi cukup menjelaskan bagaimana keras dan kelamnya kehidupan mereka yang tinggal di gerbong belakang. Hal terakhir yang membedakan film ini dengan film-film Hollywood yang mengambil tema serupa yakni totalitas naskahnya dalam menyajikan kritik sosial yang ada. Selain kisah antara si kaya dan si miskin, Snowpiercer juga menghadirkan beberapa kritik sosial lainnya menyerupai sistem pendidikan yang bagaikan sebuah brainwash bagi belum dewasa dan bukannya menunjukkan pendidikan yang tepat, hingga bagaimana sebuah komunitas yang memuja pemimpin mereka bahkan hingga mengkultuskannya. Semua hal tersebut tidak menjadi tempelan belaka, dan berhasil menciptakan saya begitu jijik, muak dan membenci segala kebobrokan yang terjadi dalam kehidupan di dalam kereta tersebut. 

Jika bicara duduk perkara akting para pemainnya, Chris Evans bisa dibilang berhasil disini meski tidak spesial. Yang paling mencuri perhatian justru duo pemain drama dan aktris Korea langganan Bong yaitu Song Kang-ho dan Go Ah-sung yang lagi-lagi berperan sebagai ayah dan anak. Kemunculan mereka selalu mencuri perhatian dan menunjukkan sedikit momen komedi hitam penuh kegilaan terutama ketika ayah-anak ini menunjukkan hobi mereka yang sama-sama doyan teler. Sayang talenta utama Song Kang-ho yaitu penghantaran dialognya yang sering seenaknya sendiri agak direm disini alasannya yakni aksara Namgoong lebih banyak diam. Sama juga menyerupai Song Kang-ho, Tilda Swinton memainkan tugas yang berbeda dari zona amannya, dan ia berhasil menghadirkan seorang villain yang begitu menyebalkan, keji, namun mencuri perhatian. Sosok Grey yang diperankan oleh Luke Pasqualino juga sempat mencuri perhatian sebagai aksara yang keren namun sayangnya terlalu cepat "menghilang". Overall, Snowpiercer adalah debut yang anggun dari Bong di ranah Hollywood berkat sebuah sajian yang tidak hanya menghibur, namun juga punya kedalaman dongeng yang baik dan tidak hingga menciptakan Bong harus menyerah sepenuhnya pada kepentingan bisnis Hollywood. Dia juga begitu baik dalam hal pemanfaatan bujet, alasannya yakni sebetulnya angka $39 juta tidaklah terlalu besar untuk ukuran film blockbuster tapi film ini tidaklah terasa murahan, bahkan efek CGI-nya pun memuaskan. Bisa dibilang, Bong Joon-ho yakni sosok yang berada di baris paling depan dalam hal kesuksesan global dibanding rekan-rekannya sesama sutradara asal Korea Selatan. 

Belum ada Komentar untuk "Snowpiercer (2013)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel