Ralph Breaks The Internet (2018)

Ralph Breaks the Internet yakni Inside Out versi gim dan internet dalam hal kepintaran serta kreativitasnya membangun dunia. Seperti normalnya sekuel, cakupan diperluas. Kalau Wreck-It Ralph “hanya” menunjukkan apa yang aksara permainan arkade lakukan dikala tak sedang dimainkan manusia, sekuel ini berpindah ke dunia yang lebih besar, yakni internet, daerah yang mempunyai segalanya, dan Ralph Breaks the Internet memanfaatkan itu untuk membuat dunia kreatif nan kaya, disertai cara kerjanya.

Enam tahun berlalu semenjak insiden film pertama, dan sekarang Ralph (John C. Reilly) hidup bahagia, tak lagi dipandang sebagai perusak jahat, dan dekat dengan Vanellope (Sarah Silverman), di mana mereka setiap hari menghabiskan waktu bersama di daerah dan waktu yang sama. Bagi Ralph, rutinitas tersebut merupakan kedamaian, namun Vanellope ingin lebih. Dunia anggun sarat warna di Sugar Rush tak lagi seberwarna itu baginya, dengan balapan yang terlampau praktis alasannya yakni Vanellope sudah hafal semua trik dan track.

Pasca sebuah kecelakaan yang berpotensi membuat Sugar Rush ditutup selamanya, dan demi menyelamatkannya, dua protagonis kita memulai perjalanan menuju internet. Pertama kali menginjakkan kaki di sana, mereka terpukau melihat dunia tanpa ujung yang internet tawarkan. Begitu pun saya kala mendapati bagaimana di Ralph Breaks the Internet, banyak sekali aspek dalam internet bertransformasi menghasilkan lingkungan imajinatif yang hidup lengkap dengan rutinitasnya sendiri.

Pop-up ads menjadi penjaja produk yang agresif, eBay merupakan daerah lelang, mesin pencarian yakni laki-laki berjulukan KnowsMore (Alan Tudyk) yang mengetahui semuanya, dan lain-lain. Fakta bahwa hal-hal di atas cocok dengan cara kerja internet di realita, jadi bukti kecerdikan duo penulis naskahnya, Pamela Ribon (Smurfs: The Lost Village) dan Phil Johnston (juga selaku sutradara). Pun terdapat setumpuk detail kecil, yang dijamin bakal memberi inovasi gres untuk pengalaman menonton berulang.

Bila film pertamanya menyimpan setumpuk cameo aksara gim, Ralph Breaks the Internet punya bermacam-macam produk internet serta rujukan kultur terkenal dalam beraneka bentuk (yang lagi-lagi) kreatif. Dan selaku produsen, masuk akal dikala rujukan untuk Disney paling kaya.  Anda akan mendengar The Imperial March kala menyambangi area Star Wars; meet & greet dengan seorang tokoh MCU; dan sebagaimana trailer-nya tampilkan, Disney Princess. Beberapa karakteristik mereka dijadikan lawakan menggelitik termasuk sebuah elemen yang gres saya sadari di sini. Elemen yang melibatkan musikal.

Ya, film ini turut menghadirkan satu adegan musikal, yang oleh duo sutradara, Rich Moore (Wreck-It Ralph, Zootopia) dan Phil Johnston, dikemas dalam visual meriah ditambah musik megah gubahan Henry Jackman (Captain America: Civil War, Jumanji: Welcome to the Jungle). Hasilnya yakni gegap gempita indah yang pandai balig cukup akal ini, mungkin hanya sanggup ditandingi La La Land, yang oleh Ralph Breaks the Internet turut dijadikan teladan subtil.

Kembali ke wacana Disney Princess, saya terkecoh kala menduga pertemuan tersebut hanya bakal jadi sempilan ringan pengisi durasi. Rupanya momen itu mempunyai kegunaan memberikan salah satu pesan filmnya. Rapunzel bertanya pada Vanellope, “Do people assume all your problems got solved because a big strong man showed up?”. Vanellope mengiyakan. Ralph sendiri belakangan semakin posesif, ingin Vanellope selalu dan hanya bersamanya. Tatkala Ralph bersusah payah meyakinkan Vanellope kalau Slaughter Race terlalu berbahaya baginya, si gadis cilik menampik pernyataan itu. Poin tersebut selaras dengan upaya rebranding Disney terhadap aksara wanitanya yang makin independen di tiap sendi kehidupan, bukan saja soal percintaan.

Oh, saya lupa menjelaskan mengenai Slaughter Race, sebuh permainan balapan brutal, sarat kekerasa, berbanding terbalik dengan kesan warna-warni anggun bagi semua umur milik Sugar Rush. Vanellope menemukan hasratnya kembali begitu menyadari ketiadaan batasan di Slaughter Race. Tidak ada lintasan monoton, dan dia bebas bermanuver sesuka hati. Jangankan Vanellope, bukankah itu alasan permainan open world macam Grand Theft Auto maupun Red Dead Redemption amat digandrungi?

Slaughter Race dikuasai pembalap perempuan berjulukan Shank yang diisi suaranya oleh Gal Gadot dalam salah satu performa terbaiknya, berkat kemampuan menyuntikkan dinamika untuk menyebabkan Shank sosok keren berkharisma. Wajar Vanellope mengaguminya. Ralph? Tentu Ralph membenci Shank. Baginya, perempuan itu tidak bisa dipercaya, walau kita tahu, itu sebatas ungkapan kecemburuan. Konflik itu berujung pada konklusi menyentuh sehabis kita disuguhi gelaran aksi raksasa ala King Kong. Dari dunia yang teramat kaya, lawakan pintar, sampai drama emosional, Ralph Breaks the Internet mungkin rilisan “paling Pixar” dari Walt Disney Animation Studios.

Belum ada Komentar untuk "Ralph Breaks The Internet (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel