Creed (2015)

2015 menjadi tahun dimana Hollywood banyak menghidupkan kembali franchise lama, membawanya kearah gres sambil berusaha menyuntikkan penghormatan pada film pendahulunya. There's an amazing result ("Star Wars: The Force Awakens"), the good ("Jurassic World" & "Mad Max: Fury Road") and the terrible ("Terminator Genisys"). Mungkin alasan utama pihak studio membangkitkan lagi judul-judul lawas hanya demi meraup keuntungan, tapi untuk hasil memuaskan diperlukan cinta dari sutradara kepada materi dasar. Dari beberapa referensi judul di atas anda bisa tahu mana sutradara yang clueless, mana yang paham, dan mana yang mempunyai passion besar. Dengan cinta, tak peduli walau filmnya banyak memberi tribute hingga menyerupai carbon copy dan mengikuti pattern standar yang gampang ditebak. Curahan rasa tersebut akan terhubung pada emosi penonton, entah berkat momen nostalgia atau murni hasil kekuatan bertutur.

Sebagai spin-off sekaligus sekuel bagi film-film "Rocky", "Creed" karya Ryan Coogler tidak berusaha menjauhkan diri dari formula "David versus Goliath" yang diusung franchise-nya. Adonis Johnson (Michael B. Jordan) merupakan putera dari Apollo Creed yang gres lahir sesudah sang ayah meninggal. Meski tak pernah saling kenal, Adonis terlihat mengikuti jejak ayahnya. Sejak kecil ia sudah sering berkelahi, dan begitu tumbuh cukup umur di bawah asuhan Mary Anne (Phylicia Rashad) -istri Apollo- Adonis menentukan berhenti dari pekerjaan mapan di kantor untuk serius menjadi petinju. Demi mencapai cita-cita tersebut, Adonis pindah ke Philadelphia, berharap menerima training dari Rocky Balboa (Sylvester Stallone), rival sekaligus sahabat sang ayah. Meski awalnya menolak, alhasil Rocky sepakat melatih Adonis. Membimbingnya tak hanya untuk pertarungan di atas ring, tapi juga pergulatan personal guna lepas dari bayang-bayang jejak ayahnya.

Naskah Ryan Coogler dan Aaron Covington tidak berusaha keluar dari pakem. "Creed" masih dibumbui rangkaian kisah familiar perihal usaha underdog untuk alhasil berhadapan dengan sang juara. From zero to pahlawan atau David versus Goliath, terserah sebutan mana yang anda sematkan untuk film ini. Intinya, arah film gampang ditebak. Tentu akan ada bumbu romansa ketika Adonis bertemu Bianca (Tessa Thompson), seorang singer-songwriter sekaligus tetangganya. Bahkan kita disuguhi sub-plot tentang aksara penderita kanker mematikan. Tapi itu bukan berarti filmnya buruk. Mainstream filmmaking (if there's any) justru berpotensi menjadi crowd pleaser yang sulit ditolak, which Ryan Coogler successfully did in this movie. Untuk "Creed", formulaik bukan bentuk kemalasan bercerita, namun kesetiaan terhadap esensi dari "Rocky". Selipan "penyakit" pun tidak dieksploitasi demi menguras emosi penonton, melainkan aspek penting dalam pengembangan aksara yang sesuai dengan tema filmnya; "you have to fight in your life".
Seperti dalam "Fruitvale Station" selaku debutnya, Coogler tidak berusaha terlalu keras mendramatisir momen meski kisahnya mengakomodir untuk melaksanakan itu. Coogler lebih tertarik mengeksplorasi karakter, mengenalkan mereka pada penonton secara perlahan tapi niscaya agar nantinya kita rela mendukung usaha mereka. Menyaksikan perjalanan Adonis menciptakan saya teringat kepada sosok Rocky dulu; anak muda liar andal tabrak tapi tidak terlatih, diremehkan, namun berkat usaha keras serta sumbangan mentor alhasil bisa mengimbangi seorang juara. Praktis bersimpati pada Adonis, sebab ia bukan tipikal cowok broken home yang membenci sang ayah sehingga ingin lepas dari bayang-bayangnya. Bukan pula anak "bodoh" yang hanya bermodalkan fisik (dia mengenyam pendidikan cukup). Meski gampang naik darah, pula menyimpan hasrat besar untuk segera bertarung, Adonis tetaplah pekerja keras yang tak kenal mengalah dan menaruh hormat bagi orang lain.

Konflik batin milik Adonis terasa manusiawi namun kompleks, dimana Adonis tetap menghormati, bahkan bahwasanya mengagumi sang ayah. Dia hanya takut akan terbebani nama besar Apollo Creed, sehingga ketika bertinju tak pernah menggunakan "Creed" sebagai nama belakangnya. Konklusi yang diambil Coogler terhadap chapter pertama kisah Adonis pun bagai mirroring kepada nasib Rocky di awal karirnya. Bedanya, Adonis punya beban lebih berat untuk berhasil dalam bentuk legacy sang ayah. Sentuhan kecil itu cukup sebagai arah gres agar "Creed" tidak menjadi carbon copy semata. Template yang digunakan serupa, tapi detail di dalamnya tak sama. 

Kemudian ada Rocky dengan tugas sebagai mentor. Tapi sosoknya bukan sekedar laki-laki renta (dipaksakan) bijak menyerupai yang banyak kita jumpai dalam film kebanyakan. Rocky disini ialah laki-laki renta kesepian sesudah semua orang tercinta telah tiada. Dia juga tidak lagi mempunyai fisik prima untuk bertinju. Orang tercinta dan kekuatan fisik ialah dua hal yang semenjak dulu menjadi aspek penting kehidupan sang legenda. Dalam "Creed" kita menjumpai Rocky Balboa yang sudah kehilangan dua hal tersebut. Maka disaat Adonis hadir, saya bisa memahami alasan Rocky bersedia menjadi pelatih, dan bagaimana semangat juang kembali membara dalam dirinya. Poin ini ialah hal sederhana tapi penting guna membangun ikatan emosi penonton dengan sang tokoh. Tanpa kebugaran fisik, Rocky masih mempunyai otak berisikan segudang pengalaman. Lewat enam film, sudah banyak hal yang beliau tempuh. Jatuh bangun karir, kehadiran dan kehilangan orang tercinta, sakit parah, semua pernah dilalui. Maka gampang untuk mendapatkan kebijakan bertutur serta kalimat motivasional yang ia ungkapkan. "Creed" menjadi titik kulminasi pada transformasi Rocky Balboa, dari cowok liar dan sering overconfidence menjadi respectable wise old man.
Coogler bisa membawa penonton paham betul akan kedua protagonis. Jika alhasil emosi kita memuncak, itu bukan sebab paksaan adegan overly dramatic, tapi sebab kita telah diajak memahami karakternya. Kekuatan akting para pemain film turut menjadi kunci. Jordan tidak hanya mempunyai kemiripan fisik dengan Carl Weathers (pemeran Apollo) yang membuatnya cocok memerankan anaknya, tapi juga memunculkan dengan terang hasrat besar untuk menang, baik di dalam maupun di luar ring. But (surprisingly) the real heart of this movie is Sylvester Stallone. Untuk pertama kali cara bicara Stallone membuatnya terasa sebagai laki-laki yang wajib dan tidak sulit untuk saya hormati. Masih terpancar kekuatan, tapi dalam banyak sekali monolog, Stallone memberi kerapuhan nyata, baik dari mata, perubahan ekspresi, atau pengucapan kalimat. Tiap kemunculannya, (meski hanya berdiri diam) Stallone bisa mencengkeram atensi. Sampai pada tingkat menciptakan saya sedikit khawatir, "bisakah (bila ada) sekuel "Creed" tetap besar lengan berkuasa andai kelak tanpa kehadirannya?" 

"Creed" konsisten memberi daya tarik apapun konteks adegannya. Berbagai interaksi berbentuk dialog antar-karakter menjadi hidup berkat adanya bumbu komedi menggelitik yang tak segan dimasukkan Coogler kedalam naskahnya. Training montage sebagai salah satu ciri khas franchise ini tetap menyenangkan disimak, khsususnya berkat iringan scoring dari Ludwig Goransson. Scoring-nya bukan saja memanjakan telinga, tapi juga menghentak,membangkitkan adrenaline. Goransson bahkan cukup bakir dengan menyertakan beberapa dampak bunyi menyerupai bel yang membaurkan musiknya dengan film bertemakan tinju ini. 

Sebagai film tinju, tentu "Creed" mempunyai adegan pertandingan sebagai highlight. Penyutradaraan Coogler, aspek teknis, dan sisi emosional, semua mencapai puncak dalam momen di atas ring. Memang hanya terjadi dua kali, tapi keduanya luar biasa. Pertandingan pertama terdiri dari dua ronde yang dikemas menggunakan teknik continuous shot dengan pergeraan kamera dinamis, membuat saya serasa mengamati eksklusif dari atas ring. Sedangkan penggalan kedua sekaligus titik puncak 12 ronde dibentuk layaknya siaran eksklusif tinju dari televisi. Rasanya menyerupai tengah menyaksikan suatu big event nyata dunia olahraga. Euforia begitu besar lengan berkuasa disana. Ketika pukulan mendarat di wajah mereka, atau ketika salah satu harus jatuh terbaring, saya dibentuk terperanjat atau bersorak. Begitu pertandingan usai, saya tak bisa menahan diri untuk berteriak dan bertepuk tangan sembari tanpa sadar air mata telah mengalir. Apapun hasil pertandingan atau siapa pemenangnya menjadi tak penting. "Creed" beserta aksara di dalamnya sudah berhasil memenangkan hati saya. 

Belum ada Komentar untuk "Creed (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel