Kapan Kawin? (2015)

"Kapan kawin?" yaitu pertanyaan yang akan diajukan keluarga khususnya orang bau tanah kita sesudah fase "kapan lulus?" dan sebelum "kapan punya anak?". Sebuah pertanyaan klise yang tidak pernah gagal menghadirkan teror bagi mereka yang menjadi "korban". Bermodalkan pertanyaan itu, hadirlah film hasil naskah Monty Tiwa dan disutradarai Ody C. Harahap ini. Premisnya wacana Dinda (Adinia Wirasti), perempuan berusia 33 tahun yang telah sukses berkarir di Jakarta tapi belum bisa memenuhi harapan orang tuanya untuk segera menikah. Berkeinginan membahagiakan kedua orang tua, Dinda menyewa seorang pemain drama idealis berjulukan Satrio (Reza Rahadian) untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Mereka berdua pun berangkat ke Jogja untuk menemui orang bau tanah Dinda yang kebetulan juga akan merayakan ulang tahun pernikahan. Tentu saja dengan sinopsis semacam itu dan formula standar film komedi romantis tidak sulit bagi setiap penonton untuk menebak akan menyerupai apa konklusinya. 

Tapi apa yang diberikan Kapan Kawin? bukanlah tontonan dengan orientasi hasil akhir. Proses menuju kesana yang berisikan lika liku emosi yaitu sajian utamanya. Jika diperhatikan, walau mengusung formula rom-com klise, film ini membangun dinamika lewat cara yang berbeda. Alih-alih mencampur dan menghadirkan komedi serta konflik dramatis secara bergantian, film ini bagaikan dibagi menjadi dua. Bagian pertama penuh dengan komedi. Tetap ada konflik tapi fokus utamanya yaitu menciptakan penonton tertawa oleh situasi yang terjadi ketika Satrio/Rio mulai memasuki kehidupa Dinda dengan segala keanehannya. Sesungguhnya film ini dimulai dengan agak tertatih ketika beberapa komedi pembuka terasa kurang menggigit. Tidak murahan, tapi menyerupai asal dilemparkan tanpa memperhatikan timing. Lalu semuanya berubah ketika Satrio mulai masuk. Adinia Wirasti yang tadinya terasa "sendirian" menanggung momen komedik jadi punya tandem sepadan untuk bisa melempar guyonan berbentuk pertengkaran.
Reza Rahadian dan Adinia Wirasti memang punya chemistry super berpengaruh untuk menciptakan setiap kehadiran mereka bersama jadi begitu berkesan. Secara individu mereka bagus, tapi disaat dipasangkan dalam satu scene terciptalah dinamika berpengaruh yang bila membahas bab pertama, dinamika itu berujung pada keberhasilan mengocok perut penonton. Reza Rahadian berperan sebagai pelempar lelucon, sumber utama masalah. Entah lewat gestur dan verbal aneh, bunyi dibuat-buat yang konyol atau bahasa Inggris yang ngawur, ia menyajikan banyak sekali macam joke yang tidak pernah hilang kesegarannya. Menyegarkan yaitu kata yang tepat, apalagi melihat Reza tidak menjadi abjad laki-laki ganteng dan cool yang akan dengan gampang ia perankan. Jika Reza yaitu penyulut dan pelempar, maka Adinia Wirasti bertugas sebagai perespon dan penangkap lelucon. Berbekal verbal clueless dan geram serta celetukan Bahasa Jawa menyerupai "asu" atau "ndhasmu" ia menyempurnakan humor film ini. Terjadi sinkronisasi tepat diantara kedua pemeran utama ini, yang berujung pada keberhasilan menghidupkan tiap momen komedi.
Pada bab kedua, komedi sedikit dikurangi dan berganti dengan drama penuh konflik. Tapi bukan berarti komedinya hilang secara total, hanya saja lebih berperan sebagai embel-embel semoga situasi tidak terasa kaku. Setelah banyak sekali tawa diawal, konflik cukup tinggi yang mendominasi paruh kedua terbukti berhasil menciptakan dramanya lebih kuat. Setelah canda tawa, saya berhasil dibentuk ikut tertohok oleh banyak sekali konflik yang muncul. Pada bab ini, abjad Gatot (Adi Kurdi) berperan besar ketika ia berubah dari ayah yang menggelitik menjadi penuh amarah dan bentakan dimana-mana. Sebuah transformasi yang terasa mulus berkat hadirnya motivasi yang beralasan. Rasa "shock" yang hadir alasannya yaitu pergesaran tone itu terbukti ampuh mengaduk-aduk emosi saya. Untuk abjad Dinda dan Satrio sendiri, sesudah banyak sekali kesenangan yang merek hadirkan lewat canda, sulit bagi saya untuk tidak bersimpati dan hasilnya mendukung mereka ketika satu per satu konfik mulai hadir. Akhirnya drama wacana kebahagiaan yang diwakili oleh sosok Dinda pun tersalurkan dengan sempurna.

Saya merasa bahwa kelebihan besar lain dari film ini yaitu tetap berpijak pada realita meski kental dengan sentuhan komedi serta dramatisasi. Ambil teladan abjad Satrio yang bila dilihat sekilas tidak akan terasa realistis, tapi kesan itu muncul demi kepentingan komedi. Tapi coba lucuti komedinya, maka abjad ini akan jadi sosok yang begitu nyata. Begitu pula dengan konflik-konflik yang mendapat treatment serupa. SPOILER ALERT: Pada bab konklusi, kita tahu bahwa Dinda akan jatuh cinta pada Satrio. Tapi satu hal yang tak terduga yaitu ketika ia tidak pribadi mengiyakan pernyataan cinta Satrio, yang secara tersirat bisa disimpulkan ada rasa takut bahwa sang laki-laki tidak bisa memberi nafkah dengan kondisi pekerjaannya sekarang. Sentuhan konfik ini menguatkan kesan realita, dan tidak semata-mata berpijak pada fantasi romansa indah yang seringkali hadir pada film komedi romantis. Monty Tiwa sekali lagi menandakan bahwa naskahnya seringkali berhasil mengangkat info sederhana menjadi rangkaian dongeng cerdas, menyegarkan sekaligus menghibur. Sedangkan penggarapan Ody C. Harahap bisa memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki mulai dari naskah dan akting berpengaruh berkat timing sempurna baik itu komedi maupun drama. Beginilah seharusnya komedi romantis dibuat. Punya komedi lucu, dan dongeng cinta romantis yang bisa mengaduk-aduk perasaan.

Belum ada Komentar untuk "Kapan Kawin? (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel