Ruqyah: The Exorcism (2017)

Pengabdi Setan telah mengeset standar gres bagi horor tanah air sebagaimana The Raid dan sekuelnya pada genre agresi beberapa tahun lalu. Namun Ruqyah: The Exorcism akan tetap jelek bahkan apabila eksis dalam dunia di mana Pengabdi Setan tidak pernah dibentuk sekalipun. Benar bahwa tingkat efektivitas horor untuk tiap penonton berlainan, tapi sewaktu seisi bioskop kompak tertawa sepanjang durasi, bisa dipastikan ada yang salah pada filmnya. Setidaknya itu pengalaman saya, ketika bersama puluhan penonton lain, selalu geli mendapati ekspresi Evan Sanders atau kemasan clumsy ketika Celine Evangelista kesurupan kemudian memanjat tembok layaknya penerima lomba panjang pinang. 

Merupakan film kedua dari total tiga horor karya Jose Purnomo tahun ini (Jailangkung dan Gasing Tengkorak), Ruqyah: The Exorcism konon diangkat dari bencana kasatmata tahun 2012. Namun alangkah sulit mempercayai kebenaran pernyataan tersebut. Bukan terkait unsur gaib, melainkan karakter. Perkenalkan Mahisa (Evan Sanders), wartawan entah dari media mana, yang mendadak merangsek ke tengah hutan melacak suara-suara misterius. Pastinya pekerjaan itu menguntungkan melihat rumah glamor bertingkat dan kendaraan beroda empat miliknya. Sampai suatu malam Mahisa bertemu Asha (Celine Evangelista), aktris ternama yang mengeluhkan gangguan makhluk halus, kemudian bersedia bercerita ke Mahisa yang gres dikenal hanya lantaran si wartawan bersedia mengembalikan dompet dan handphone-nya.
Penelusuran Mahisa menerima kesimpulan bahwa Asha ditanami jin agar karir juga kekayaannya melesat. Saya sendiri curiga ada ilmu lain yang Asha kuasai, ialah make-up permanen. Bagaimana tidak? Seiring berjalannya waktu, daya tahan riasan wajahnya meningkat. Diawali bulu mata lentik dan bedak tebal yang setia terpasang sewaktu tidur, sampai puncaknya, basuhan air wudu pun tak bisa menghapus semua itu. Sulit mencari perbedaan tata rias Ruqyah: The Exorcism selaku film layar lebar dengan sinetron penghias layar televisi.

Saya yang dulu bakal menyebut naskah buatan Jose Purnomo dan Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sawadikap, Ghost Diary) sebagai bentuk kebodohan. Namun tampaknya "bodoh" terlampau kejam, jadi mari menggunakan istilah "ajaib". Rentetan kalimat dari verbal tokoh-tokohnya ajaib, tindakan mereka pun ajaib, menyerupai keputusan Mahisa membawa Asha yang kesurupan ke rumah kosong kolam seorang penculik ketimbang pribadi ke pondok milik kiai. Patut disyukuri, sebabnya, kita berkesempatan melihat Evan Sanders meruqyah, membaca surat Al Qur'an menyerupai sampaumur tengah merengek. Tidak kalah asing ekspresi ketakutan Evan yang sukses memecah gelak tawa penonton.
Keajaiban lain terletak di cara menangani unsur religi. Ruqyah: The Exorcism memang tak menggurui, tapi lebih dipicu sisi agama yang sebatas tempelan, terlampau disederhanakan. Fungsinya sederhana. Sebagai jalan resolusi gampang di mana ruqyah berujung menuntaskan masalah, sekaligus memberi Evan Sanders pemberian ketika mati gaya. Alhasil beliau tidak perlu repot-repot, cukup memasang ekspresi takut seadanya sembari membaca istighfar. Bicara soal keajaiban, toh tidak ada yang menandingi penyertaan tanggal tanpa maksud yang sama sekali tak membantu orientasi waktu, pula baris kalimat penyejuk kalbu nan penuh makna selaku penutup. 

Urusan menakut-nakuti, Jose Purnomo terang bukan sutradara kemarin sore. Mayoritas teror memang terjebak dalam keklisean jump scare berbumbu dentuman imbas bunyi berlebihan, pun diperparah oleh adegan kesurupan yang cenderung canggung daripada creepy, tapi tersimpan secercah potensi. Ada sedikit kengerian ketika Jose bermain-main dengan flashy moment bernuansa sureal di klimaks. Sayang, potensi tersebut karam dalam sederet keajaiban yang mampu menyulap Ruqyah: The Exorcism dari horor menjadi salah satu tontonan terlucu tahun ini.

Belum ada Komentar untuk "Ruqyah: The Exorcism (2017)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel