Air Terjun Bukit Perawan (2016)

Memang benar niatan untuk membuat film bagus layak diapresiasi, termasuk ketika para pembuatnya bisa menggagas suatu konsep menarik. Tapi akan menjadi percuma apabila pada tataran sanksi hasilnya buruk. Sekali lagi layak diapresiasi, tapi tidak lantas mengangkat derajat filmnya. Karena realisasi konsep sangat bergantung pada kemampuan penulis naskah dan sutradara. Penulis naskah harus bisa menyebarkan pandangan gres dasar, sedangkan sutradara bertugas menarasikan lembar-lembar naskah ke dalam bentuk visual. Tanpa kualitas memadahi dari kedua belah pihak, premis sepintar apapun boleh jadi hancur lebur. Hal demikian terjadi pada "Air Terjun Bukit Perawan" yang merupakan pembiasaan novel berjudul sama karya Rudiyant.

Judulnya memang "catchy" dan berpotensi menjadikan pemikiran bahwa film ini tak lebih dari sekedar horror pengumbar sensualitas tanpa kengerian. Memang benar banyak perempuan berbapakaian seksi di tengah hutan. Ada adegan mereka mandi di bawah guyuran penderasan pula. Bahkan seorang gadis kampung ternyata punya baju menerawang dan bikini berwarna orange cerah di sini. Tapi itu sekedar embel-embel dengan taraf wajar. Tidak haram pula hukumnya mengeksploitasi keseksian badan dalam film. Kisahnya sendiri mengikuti formula standar perihal muda-mudi berparas elok nan rupawan yang berniat camping di sebuah hutan. Hutan itu terletak di suatu bukit berjulukan "bukit perawan". Disebut demikian alasannya ialah tidak ada orang berani menginjakkan kaki di daerah yang konon menakutkan tersebut. 
Si gadis kampung berbaju menerawang dan bikini orange
"Air Terjun Bukit Perawan" sejatinya bukanlah horror, jadi tidak akan ada kemunculan hantu (well, sort of). Surprisingly, alur berjalan lambat dengan fokus awal mencoba lebih banyak bermain di ranah drama perihal relasi aksara Tina -si gadis desa berbikini orange- dengan orang tuanya. Sebelum kesudahannya misteri perihal sosok Tina muncul dan hadirlah twist mengejutkan. Sungguh, saya tertipu (in a good way) oleh twist-nya. Dari segi plot-line pada paruh awal, film ini sukses mempermainkan ekspektasi. Cara yang digunakan untuk membelokkan alur pun tidak begitu dipaksakan berkat permainan timeline juga beberapa red herring. 

Tapi sisi positifnya berakhir pada tataran niat dan konsep. Niatnya bagus, berusaha mengemas thriller berisi drama dan teka-teki. Konsep yang saya cukup yakin bermula dari gagasan "ayo kembangkan dongeng dari twist ini" meski tidak original namun cukup menarik. Sayang sutradara dan penulis naskah tidak bisa menarasikan dongeng penuh misteri dan lompatan alur. Naskahnya didominasi obrolan menggelikan, sehingga tatkala plot masih "merangkak", tidak tercipta daya tarik. Padahal bab itu berfungsi membangun kepedulian penonton pada tokohnya. Malah menjelang final penulisannya makin parah ketika (entah sengaja atau tidak) banyak muncul kalimat menggelikan, misalnya yang melibatkan "angkot". Bila disengaja, memang lucu, tapi tidak selaras dengan tone. Bila tidak disengaja, bagaimana mungkin adegan serius cenderung kelam bisa menghadirkan tawa? Jajaran pemain drama juga sama sekali tidak membantu akhir penghantaran datar mereka.
Si gadis kampung kali ini tanpa bikini
Masih berkutat pada dialog, Theresia Hwang sang penulis naskah ibarat kebingungan dalam menggali sebuah topik pembicaraan. Hasilnya, tidak hanya sekali dua kali penonton diperdengarkan pada pengulangan dialog. Daripada menegaskan suatu ide, pengulangan itu berujung repetisi dangkal. Masalah pengulangan ini juga terjadi pada penyutradaraan Luri G. Wara. Film ini banyak menggunakan flashback dengan footage sama persis berulang kali. Bahkan editing-nya pun buruk. Sebuah flashback dalam fungsinya selaku "jawaban" hanya perlu memunculkan kembali momen penting secara sekilas. Tapi disini, kita diberikan satu scene penuh, seolah sebagai upaya menambah durasi biar memenuhi batas minimal feature film untuk pemutaran di bioskop. 

Saya kira pada awalnya Luri G. Wara memang sengaja memulai dengan lambat, biar penonton bisa memahami aksara beserta obrolan yang mereka ucapkan, meski kesudahannya kekurangan di naskah jadi penghalang. Tapi seiring berjalannya waktu, pace lambat ini juga ibarat perjuangan mengakali durasi akhir minimnya isi cerita. Karena sungguh, bila dituturkan dalam cepat, "Air Terjun Bukit Perawan" bisa berakhir sebagai short film -which is much better. Pergerakan alur terlalu dragging, sehingga intensitas ketegangan serta daya kejut dari twist serta merta luntur. Saat pertama kejutan hadir, saya tersenyum, bahagia merasa ditipu. Tapi kemudian filmnya berputar-putar, menolak secara gamblang membongkar belakang layar yang bersama-sama sudah diketahui penonton beberapa menit lalu. Ketika semua terbongkar sudah terlambat. Antusiasme saya sudah menurun drastis.

Terdapat harapan untuk membuat "Air Terjun Bukit Perawan" sebagai thriller murni, bukan kedok di balik eksploitasi keseksian badan aktrisnya. Sungguh saya menghargai itu. Tapi alangkah lebih baik untuk tidak memaksakan diri berusaha terlalu besar lengan berkuasa menjadikan filmnya cerdas jikalau kesudahannya berakhir bodoh. Kebodohan yang disengaja dan disadari itu tidak masalah, justru berpotensi menghadirkan hiburan menyenangkan. Kesenangan itu sama sekali tidak saya sanggup ketika menyaksikan "Air Terjun Bukit Perawan". Padahal dengan aksara gadis desa berbaju menerawang, berbikini orange dan tak pernah lupa menggunakan maskara atau obrolan "hantu naik angkot", film ini bisa menjadi guilty pleasure. Oh, dan hati-hati, ternyata trailer-nya spoiler luar biasa, membongkar semua kejutan alurnya.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Air Terjun Bukit Perawan (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel