Wiro Sableng: Pahlawan Kapak Ajal Naga Geni 212 (2018)

Saya bukan pembaca novel Wiro Sableng karya Bastian Tito yang konon berjumlah 183 judul, pun memori akan serialnya sedikit buram lantaran usia yang masih terlalu muda untuk memproses secara lengkap, walau serupa bocah-bocah yang tumbuh di kala 90an, lagu temanya amat menancap di kepala. Tapi saya gemar membaca komik termasuk manga. Ketika sederet huruf berpenampilan kerena dengan kemampuan tak kalah keren berkumpul, bertarung bersama dalam satu pertempuran dahsyat, walau beberapa dari mereka muncul di ketika yang terlalu sempurna pula tanpa motivasi terang kecuali memeriahkan suasana, saya sudah dibentuk kegirangan. Itulah inti film Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.

Kita bertemu si A, B, C, berkesempatan menyaksikan mereka sabung ilmu meski kepribadian mereka tak pernah benar-benar kita tahu. Setidaknya kita tahu perihal Wiro (Vino G. Bastian) dengan masa kemudian tragis yang tergambar di adegan pembuka tatkala melihat eksklusif Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) membantai kedua orang tuanya. Selama 17 tahun berikutnya, Wiro ditempa oleh Sinto Gendeng (Ruth Marini) yang mewariskan ilmu silat 212 beserta kapak ajal naga geni miliknya. Demikian pula Vino, meneruskan warisan sang ayah memerankan si pendekar sableng dengan baik. Bersikap kolam bocah gila, Vino bertukar canda bersama Ruth Marini, yang meski ditutupi riasan tebal, bisa menyelipkan emosi, di luar tentunya kegendengan menggelitik. Interaksi Wiro-Sinto selalu berhasil memancing tawa.

Sinto Gendeng menugaskan muridnya memburu Mahesa Birawa tanpa memberi tahu bahwa dialah pembunuh orang tuanya, lantaran fakta itu bakal menyulut nafsu balas dendam yang menggiring pendekar menuju kegelapan. Sebuah poin, yang oleh trio penulis naskahnya: Sheila Timothy (juga selaku produser), Tumpal Tampubolon (Tabula Rasa, Rocket Rain), dan Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas), dijadikan pesan filosofis yang memang wajib tersimpan dalam film martial arts.

Sepanjang perjalanan, Wiro bertemu sekumpulan tokoh-tokoh unik menyerupai Dewa Tuak (Andy /rif) serta muridnya, Anggini (Sherina Munaf), Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), dan Marsha Timothy sebagai Bidadari Angin Timur yang demikian mewah layaknya penghuni kahyangan dalam balutan gaun rancangan Tex Saverio. Akhirnya tidak ada satu pun dari nama-nama tadi yang bisa kita tinjau lebih dalam karakterisasinya, namun mereka sanggup menghadirkan interaksi hidup dengan jagoan kita, sehingga di sela-sela agresi pun hiburannya tetap berjalan lancar.

Senang mendapati di dalam ambisi membuat blockbuster raksasa yang digarap luar biasa serius, film ini tidak bersikap “sok serius” ketika bertutur. Karena di antara memori-memori buram di kepala, satu hal yang saya ingat niscaya terkait serial Wiro Sableng yaitu elemen kerasnya dunia persilatan dan kejenakaan yang saling mengisi dan berpadu mulus. Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 terbukti menghormati warisan pendahulunya, dengan rujukan terbaik pada satu adegan ketika satu sosok familiar muncul sementara musik yang tak kalah familiar turut mengalun di belakang.

Yayan Ruhian yaitu Mahesa Birawa, pemimpin sekelompok durjana yang berencana merebut tampuk kekuasaan dari Raja Kamandaka yang diperankan Dwi Sasono, yang melafalkan kalimat memakai bunyi tenggorokan layaknya Christian Bale sebagai Batman, sebagai perjuangan menjauhkan cap “komedian”. Bukan saja berakting, Yayan turut memegang posisi pengarah laga, memastikan setiap baku hantam terjalin dinamis. Beruntung, biarpun ini merupakan satu langkah mengejar pencapaian Hollywood, Angga Dwimas Sasongko (Filosofi Kopi, Surat dari Praha, Bukaan 8) urung terserang penyakit banyak film agresi produksi mereka yang menerapkan quick cut plus shaky cam overdosis. Kamera Ipung Rachmat Syaiful (Kala, Janji Joni, Surga yang tak Dirindukan 2) bergerak seperlunya, menangkap cukup terang tiap jurus para pendekar. Sayang, satu kelemahan justru bertempat pada satu pukulan pamungkas yang menjadikan puncak pertarungan berakhir antiklimaks.

Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 telah memancing obrolan ketika 20th Century Fox melalui bendera Fox International Productions turut serta memproduksi filmnya. Alhasil biaya sebesar US$ 3 juta atau sekitar Rp 44 miliar pun didapat. Angka yang besar bagi kita, namun tergolong mikro pada lingkup Hollywood (that’s even smaller than “The Raid 2: Berandal”), sehingga kurang bijak apabila berharap parade CGI sekelas blockbuster seharga ratusan juta dollar. CGI diterapkan sempurna guna, mengatakan hasil mumpuni terlebih kala membungkus bermacam-macam jurus, dengan salah satu momen paling menarik ketika Kala Hijau (Gita Arifin) terjun ke medan pertempuran. Tapi elemen visual Wiro Sableng bukan sebatas CGI. Departemen artistiknya, dari dekorasi istana selaku panggung titik puncak yang berkilauan sampai tata busana yang berjasa mengkreasi tokoh-tokoh berpenampilan ikonik, amat memuaskan mata. Terima kasih pada Adrianto Sinaga (Ada Apa dengan Cinta?, Tusuk Jelangkung) dan tim.

Gangguan justru diciptakan tata suaranya. Musik garapan Aria Prayogi (dwilogi The Raid, Killers, Headshot) berusaha terdengar bombastis, dan ya, gempuran perkusinya sanggup menghadirkan intensitas di banyak sekali momen laga, tapi sewaktu bertemu celetukan-celetukan karakternya, terjadi perlombaan berat sebelah melawan kalimat yang aktornya ucapkan. Kalimat-kalimat yang kerap tenggelam, sulit dicerna, memaksa saya mengandalkan subtitle Bahasa Inggris guna memahami obrolan Bahasa Indonesia.

Jadi begitulah. This isn’t a great movie, but definitely a highly entertaining one. Hiburan yang memahami cara memancing tawa, hiburan yang tahu bagaimana membuat suguhan, yang walau tak mendalam, tersaji nikmat, apalagi tatkala klimaksnya menempatkan nyaris seluruh huruf dalam pertarungan meski tak seluruhnya dipersatukan dalam satu frame dan beberapa di antaranya bertindak selaku deus-ex-machina. Pastinya, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 telah membuka jalan blockbuster Indonesia melangkah ke tingkat lebih tinggi. Jangan segera beranjak dari daerah duduk begitu film usai, lantaran terdapat mid-credits scene yang menyiratkan musuh besar berikutnya, yang diperankan salah satu pemain film terbesar Indonesia sekarang.

Belum ada Komentar untuk "Wiro Sableng: Pahlawan Kapak Ajal Naga Geni 212 (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel