Christopher Robin (2018)

Bahkan sebelum Christopher Robin memaparkan permasalahannya, ketika gres mencapai sekuen pembuka berupa hari perpisahan Christopher dengan teman-temannya para penghuni Hundred Acre Wood, mata saya sudah basah. Karena saya, dan kemungkinan banyak penonton remaja lain, mengamini ketika Christopher berkata, “I’ve cracked”. Ditekan oleh apa yang sering disebut “realita”, yang pelan tapi niscaya melucuti kebahagiaan kita. Momen pembuka itu menghadirkan haru lantaran mengembalikan ingatan saya akan hari-hari kemudian yang lebih sederhana namun bahagia, tatkala tawa jadi barang yang murah harganya.

Beberapa ulasan menuding film ini melaksanakan simplifikasi terhadap problematika dunia nyata, ada juga yang menyebutnya menunjukkan solusi tidak sehat lantaran mengajak penonton berlindung di bawah memori masa kecil ketimbang bangun tegak menghadapi segala masalah. Yes, I’ve cracked indeed. Tapi saya bersyukur tidak jatuh sedalam penulis ulasan-ulasan di atas yang terlanjur dikuasai pil pahit kehidupan. Dan Christopher Robin kolam pengingat biar tak terjerumus ke lubang serupa.

Walau benar bahwa film ini sederhana. Ditulis oleh Alex Ross Perry (Queen of Earth, Nostalgia), Tom McCarthy (Up, Spotlight), dan Allison Schroeder (Hidden Figures) yang terinspirasi dari buku Winnie-the-Pooh karya A. A. Milne dan E. H. Shepard, yang juga menginspirasi terciptanya seri animasi produksi Disney, naskahnya setia mengikuti formula film keluarga khususnya soal kekerabatan berjarak ayah dan anak. Tentu perlu diingat bahwa petualangan Pooh dan kawan-kawan memang selalu sederhana, alasannya ialah kisahnya menelusuri masa kanak-kanak, di mana budi kaku serta kompleksitas pikir belum mengalahkan kekayaan imajinasi.

Bagi Christopher Robin (Ewan McGregor), budi dan kerumitan sekarang merupakan masakan sehari-hari. Gemblengan sekolah asrama sampai terjun ke medan perang membentuk contoh pikir Christopher dewasa, yang telah menikahi Evelyn (Hayley Atwell), dan mempunyai seorang puteri berjulukan Madeline (Bronte Carmichael). Kesibukan Christopher menghadirkan jarang antara ia dan Madeline, yang sebentar lagi bakal mengikuti jejaknya bersekolah di asrama, meski si gadis sendiri tak menginginkannya. Ditambah tekanan di kantor, makin runyam gejolak di hati Christopher. Sampai Pooh (Jim Cummings) tiba berkunjung.

Christopher belum (atau menolak?) menyadari bahwa ia membutuhkan Pooh. Pikirannya berisi hal-hal yang (dia kira) diharapkan untuk menggapai kebahagiaan, daripada hal-hal yang sebenarnya ia inginkan, yang dapat mempersembahkan kebahagiaan ketika itu juga. Tapi film ini memastikan Christopher masih punya hati. Orientasinya pekerjaan, tapi ketika si atasan, Giles Winslow Jr. (Mark Gatiss), menyuruhnya memecat sejumlah karyawan demi penghematan, nuraninya menolak. Pun ketika Pooh meminta dukungan mencari teman-temannya yang hilang, meski dikejar deadline, Christopher alhasil bersedia. Kesediaan yang membawanya menuju rangkaian petualangan, termasuk pertarungan melawan Heffalumps, monster berwujud gajah yang memangsa rasa bahagia. Sejatinya Christopher lah Heffalumps itu. Dia memangsa kebahagiaannya sendiri, dan bukan mustahil, sang puteri.

Bila telah familiar dengan cerita Winnie the Pooh, atau setidaknya menonton animasi tahun 2011 yang menawan itu, anda tahu mesti berekspektasi apa. Sebuah petualangan make-believe sederhana tetapi sarat imajinasi yang menyenangkan diikuti berkat tingkah tokoh-tokohnya. Dihidupkan oleh CGI bernuansa realisme tanpa perlu kehilangan sentuhan cartoonish, mereka masih gemar (tanpa diniati) melontarkan lawakan ndeso yang mencapai puncak kelucuan tiap melibatkan permainan kata.

CGI mumpuni memudahkan kita percaya kalau Ewan McGregor, yang punya pesona memadahi selaku tokoh utama di dunia semi-fantasi, benar-benar menggendong Eeyore atau membelai bulu lembut Pooh yang menggemaskan. Melengkapi elemen visualnya ialah sinematografi, yang berkat sensibilitas Matthias Koenigswieser di belakang kamera dalam menangkap cahaya senja maupun ekosistem Hundred Acre Wood, tampil selaras dengan kelihaian sutradara Mark Forster (Finding Neverland, Quantum of Solace, World War Z) menyusun adegan lembut yang ampuh menyentil rasa.

Butuh waktu sampai kisahnya mulai konsisten menampilkan kehangatan serta momen magis, pun perubahan 180 derajat hati Christopher Robin terasa mendadak. Proses untuk mencapai sana sudah cukup panjang, hanya untuk keteteran kala harus menampilkan titik balik yang meyakinkan. Namun Christopher Robin sudah cukup indah sekaligus bermakna, sehingga saya bersedia melupakan kekurangan-kekurangan tersebut. Film ini tidak mengajak menutup mata akan realita, tetapi kalau kita bersedia berkorban guna mengejar keberhasilan dunia nyata, tidak ada salahnya sesekali berkorban meluangkan waktu sejenak, melupakan segalanya, kemudian berbahagia bersama orang-orang tercinta.

Belum ada Komentar untuk "Christopher Robin (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel