The Crow (1994)

Sebagai sebuah film yang sering disebut salah satu film pembiasaan komik terbaik dan sukses mendapat penghasilan lebih dari $144 juta, The Crow nyatanya lebih dikenal sebagai film terakhir seorang Brandon Lee. Sebelum perilisannya, The Crow disebut bakal menjadi film yang menghantarkan Brandon Lee menuju gerbang kesuksesan. Memang pada hasilnya film ini sukses besar secara finansial, diakui kualitasnya bahkan menjadi sebuah cult movie. Performa Brandon Lee pun banyak mendapat kebanggaan disini. Ya, andaikata tidak ada kecelakaan yang menewasknnya, film ini memang bakal menjadi pembuka kesuksesan bagi putera Bruce Lee tersebut. The Crow sendiri merupakan pembiasaan dari komik berjudul sama karya James O'Barr yang terbit tahun 1989. Kesuksesan film pertamanya ini sayangnya tidak berhasil diikuti oleh tiga sekuel yang kesemuanya gagal total baik secara Box Office maupun kualitas (dua diantara dirilis eksklusif ke DVD). Sesungguhnya bila ditinjau dari segi dongeng tidak ada yang Istimewa dari film ini, bahkan ada banyak kekurangan khususnya pada segi penggalian karakter, tapi atmosfer kelamnya lah yang sanggup menimbulkan The Crow terasa spesial.

Sehari sebelum malam Halloween atau yang dikenal sebagai Devil's Night sepasang kekasih yang akan segera menikah diserang oleh sekelompok geng. Eric Draven (Brandon Lee), seorang gitaris grup band rock tewas sehabis dijatuhkan dari lantai atas apartemen, sedangkan tunangannya, Shelly Webster (Sofia Shinas) yang juga diperkosa masih hidup dikala polisi tiba sebelum hasilnya meninggal di rumah sakit. Pelaku penyerangan tersebut yakni sebuah geng berisikan empat orang preman yang dipimpin oleh T-Bird (David Patrick Kelly). Walaupun begitu sebetulnya otak dibalik segala penyerangan dan pembakaran yang terjadi yakni Top Dollar (Michael Wincott), bos dunia hitam yang dahulu pertama memulai Devil's Night. Pihak kepolisian termasuk Sersan Albrecht (Ernie Hudson) yang sempat mengusut kasus tersebut kesulitan untuk menangkap para pelaku. Sampai hasilnya sebuah insiden misterius terjadi di dikala seekor burung gagak memperlihatkan kekuatan supranatural yang membangkitkan Eric Draven dari kuburnya. Tidak hanya bangkit, ia juga tidak sanggup dilukai. Kekuatan itulah yang ia pakai untuk menuntut balas terhadap para pembunuh dirinya dan Shelly. 
Seperti yang sudah saya singgung diatas, The Crow tidaklah terlalu Istimewa bila ditinjau dari jalan dongeng maupun eksplorasi karakternya. Kisah yang hadir merupakan kisah balas dendam biasa yang berjalan lurus tanpa ada kelokan berupa kejutan maupun selipan unsur lain yang menciptakan plotnya lebih dinamis dan variatif. Karakterisasinya pun termasuk dangkal, bahkan bila Eric Draven tidak bermetamorfosis The Crow yang keren akan sulit bagi penonton untuk bersimpati pada kisah tragisnya. Kenapa? Karena tidak ada penggalian lebih dalam wacana kehidupan Eric sebelumnya. Kita tidak diajak untuk menengok lebih jauh wacana kebahagiaan yang dirasakan Eric dan Shelly sebelum simpulan hayat merenggut keduanya. Saat filmnya dimulai kita sudah dibawa ke TKP dimana Shelly sudah sekarat dan Eric diceritakan sudah tewas. Saya sebut diceritakan sebab bahkan mayatnya pun tidak tampak dan pertemuan pertama kita dengan Eric gres dimulai dikala ia berdiri dari kubur. Beberapa flashback dimasukkan guna memperlihatkan sentuhan drama dan penggalian hubungan Eric dan Shelly, tapi itu terang tidak cukup. Belum lagi abjad pendukung lain macam Albrecht dan Sarah yang useless maupun Top Dollar yang sempat menarik diawal sebagai villain keji berdarah hambar sebelum hasilnya makin usang makin klise.
Untungnya Eric dikala sudah menjadi The Crow yakni sosok anti-hero yang luar biasa keren. Lupakan fakta bahwa ia lebih menentukan mengoleskan make-up daripada menggunakan topeng yang sudah ada tanpa alasan jelas. Melihat sosoknya yang tidak sanggup dilukai serta tidak ragu untuk bertindak kejam pada korbannya sudah memperlihatkan suatu hiburan yang luar biasa. Karakternya terasa keren sebab intensinya menggunakan kekerasan serta tingkahnya yang nampak begitu santai bahkan cenderung "bercanda" dikala mengeksekusi korbannya. Ditambah akting Brandon Lee, sosok Eric Draven/The Crow punya segala aspek yang menjelaskan mengapa anti-hero macam Batman jauh lebih gampang disukai daripada sosok superhero yang (nyaris) tepat menyerupai Superman. Melihat Lee sebagai The Crow yang sekilas menyerupai psikopat tentu saja mengingatkan pada Heath Ledger sebagai Joker. Keduanya sama-sama memperlihatkan performa terbaik mereka sebelum meninggal secara tragis dimana kedua abjad yang mereka mainkan sama-sama "gila", berambut panjang dan menggunakan make-up yang creepy. 

Kelebihan lain dari film ini yang sanggup menutupi kelemahan pada naskahnya yakni aspek visualnya. Dengan rasa gothic yang kelam ditambah sinematografi brilian dari Dariusz Wolski yang didominasi kegelapan, The Crow terlihat begitu stylish. Lihat juga bagaimana hamparan kota Detroit di malam hari yang terlihat begitu megah sekaligus mengerikan. Tapi semua itu bukan hanya gaya-gayaan saja, sebab pengemasan visualnya yang kelam turut mendukung suasana dalam ceritanya dimana digambarkan kota Detroit yakni kota yang dipenuhi kriminalitas. Pada Devil's Night para penjahat membabi buta melaksanakan pembakaran, pelecehan seksual dan pembunuhan dimana para warga bahkan kepolisian tidak sanggup berbuat apapun. Melihat ini semua yang terjadi dalam film The Purge terasa begitu kondusif dan biasa saja. Sentuhan kekerasannya juga tidak main-main. Ada banyak darah dan adegan yang cukup sadis untuk ukuran film superhero tersaji disini. Lagi-lagi semua kekerasan tersebut bukanlah tanpa maksud dan berhasil dengan tepat menggambarkan betapa keras dan kejamnya kehidupan di kota tersebut. Puas atau tidaknya anda dengan film ini tergantung apakah bagi anda kelebihan pada visual dan akting Brandon Lee sanggup menutupi kekurangan pada naskahnya. Bagi saya bisa.

Belum ada Komentar untuk "The Crow (1994)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel