The Intern (2015)

Saat seseorang memasuki usia senja dan jadinya penisun dari pekerjaan yang telah digeluti selama puluhan tahun, maka terjadilah post power syndrome. Ketidak siapan mental seseorang menghadapi fakta bahwa "kekuasaan" dan kesibukan yang telah terbiasa ia miliki mendadak hilang tidak jarang membawa mereka kepada perasaan hampa bahkan depresi. Inilah pecahan dimana The Intern terasa realistis. Seusai pensiun dari pekerjaan yang telah ia jalani selama 40 tahun di sebuah perusahaan buku telepon, Ben Whittaker (Robert DeNiro) menghabiskan harinya dengan rutinitas penuh repetisi. Tapi semua acara itu tidak pernah menambal kekosongan hidupnya, apalagi sehabis sang istri meninggal dunia, Ben hidup dalam kesendirian. Sampai jadinya ia menemukan lowongan magang untuk lansia di perusahaan fashion e-commerce milik Jules Ostin (Anne Hathaway).

Lingkungan kerja bukanlah kawasan paling ramah. Pertemanan akan terjalin, tapi rasa saling iri pastinya jamak terjadi. Hampir mustahil seseorang bakal menerima cinta yang sama dari seluruh rekan kerjanya hanya sebab selalu bersikap ramah dan rajin dalam bekerja. Bukan mustahil hal itu justru menyulut rasa tidak suka sebab dianggap sedang "cari muka". Inilah pecahan dimana The Intern tidak terasa realistis. Ben menerima kiprah membantu pekerjaan Jules, tapi sang bos awalnya justru merasa terganggu dengan kehadirannya. Seringlah Ben menghabiskan hari di kantor tanpa melaksanakan apapun. Bagaimana caranya menyikapi itu? Dengan membantu pekerjaan teman-teman lain dan pantang mengalah untuk menerima atensi dari Jules. Ben selalu menebar senyum dan bersedia membantu siapapun, dan itu membuatnya disukai seluruh karyawan.
The Intern dimulai sebagai drama realis wacana kehidupan seorang lansia, kemudian perlahan berkembang menjadi heartwarming dramedy yang lebih mementingkan rasa manis dan hangat daripada kedekatan dengan keseharian. Tapi apakah itu menjadi masalah? Seringkali naskah yang ditulis oleh Nancy Meyers (juga sebagai sutradara) terlalu menyederahanakan suatu konflik. Dunia yang dibangun oleh film ini patut didefinisikan sebagai beautiful world, dimana problem begitu minim, dan sekalinya hadir sanggup diselesaikan hanya dengan suatu perbuatan baik. Kehidupan positif tidak sesederhana dan semenyenangkan itu. Memang ada kisah mengenai post-power syndrome, simpulan hayat dan perceraian, tapi masih dalam taraf ringan. Namun itu bukan masalah, toh intinya tujuan utama film ini yaitu menghadirkan kehangatan hasil dari bersenang-senang. Pemilihan komedi sebagai cara bertutur turut mendukung hal itu. Bahkan ketika salah satu momen terlucunya (usaha menghapus e-mail dari laptop ibu Jules) makin menjauhkan The Intern sebagai drama realis, aku tidak keberatan. 
Saya pun tidak keberatan kala sosok Ben Whitaker dihadirkan begitu sempurna. Dia tulus nrimo membantu semua orang khususnya Jules. Disaat ia menerima hal yang kurang baik pun, ia tetap tersenyum. Ben tidak pernah terjatuh dalam jurang kesedihan, sebab ia selalu berusaha terus maju dan lagi-lagi selalu tak segan menolong. Terlalu sempurna, tapi pesona Robert DeNiro sulit untuk ditolak. DeNiro yaitu pemain drama yang diberkahi ciri khas besar lengan berkuasa pada ekspresi. Mata dan senyumannya yaitu modal untuk membentuk kekuatan karakter. Ada dua jenis huruf yang mendukung cirinya itu: seorang penjahat masbodoh dan licik layaknya di Goodfellas, atau laki-laki bau tanah yang ramah nan menyenangkan. The Intern menampilkan DeNiro sebagai jenis yang kedua. Sang pemain drama bisa menciptakan aku gampang menyukai dan mendukung karakternya. Ben Whitaker yaitu sosok laki-laki yang menciptakan siapapun ingin dan betah untuk menghabiskan waktu bersama, meski hanya sekedar untuk duduk dan berkeluh kesah. Dia juga lucu. Contohnya ketika "mereka ulang" adegan ikonik "you talkin' to me?" dari Taxi Driver-nya Martin Scorsese.

Nancy Meyers ingin mengajak penontonnya tersenyum lewat film ini, baik melalui komedi maupun bazar kebaikan dari Ben. Tujuan itu berhasil. The Intern adalah feel-good movie yang bisa menciptakan aku tersenyum selama hampir dua jam durasinya. Memang di satu sisi, dunia yang dibangun Nancy Meyers kadang terlalu "cerah" lewat dunia kerja yang penuh harmoni, Ben yang super baik, atau Jules Ostin yang kembali menciptakan Anne Hathaway tampil begitu manis lewat penampilan fashionable layaknya The Devil Wears Prada dulu. Tapi disisi lain, konflik dasarnya bersahabat dengan dunia nyata. Karakter dengan post-power syndrome hingga rumah tangga yang bermasalah sebab ketimpangan status dunia kerja antara istri dan suami yaitu citra kenyataan."The Intern" is about not to "let it go", which isn't the wisest decision in life. But that's fine, as long as we're happy, and this movie made me happy and smile all the way through it. 

Belum ada Komentar untuk "The Intern (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel