The Himalayas (2015)
Film produksi Korea Selatan harus diakui kemampuannya dalam menciptakan air mata penonton mengalir deras. Walaupun telah menyadari bahwa metode yang digunakan amatlah cheesy, dipaksakan, atau "mengkhianati" esensi filmnya kita tetap rela diajak mengharu biru. Sedari awal melihat trailer-nya, saya sudah tahu "The Himalayas" bertujuan memancing emosi serupa. Tapi siapa tidak terpengaruhi untuk menonton dikala lewat trailer saja tangisan sudah pecah? Suguhan semacam ini memang digemari banyak kalangan. Terbukti meski dirilis pada ahad yang sama dengan "Star Wars: The Force Awakens", film ini sanggup berakhir sebagai pemenang, mengumpulkan jumlah penonton lebih banyak. Karena lagi-lagi keberhasilan memuncakkan gejolak emosi menciptakan kita lupa akan kekurangan lain yang tolong-menolong bertebaran sepanjang film.
Alur "The Himalayas" diangkat dari dongeng hidup Um Hong-gil (Hwan Jung-min), pendaki gunung pertama yang bisa hingga di 16 puncak tertinggi dunia. Hong-gil sendiri tak hanya mendaki demi prestasi pribadi, namun kerap berjasa memimpin regu penyelamat demi menolong para pendaki yang mengalami kecelakaan di Himalaya. Park Moo-taek (Jung Woo) dan Park Jeong-bok (Kim In-kwon) termasuk dua dari mereka yang nyawanya diselamatkan oleh Hong-gil. Meski telah diperingatkan oleh Hong-gil untuk berhenti mendaki, keduanya justru bersikeras bergabung dalam misi pendakian yang ia pimpin. Setelah melalui banyak latihan keras, mereka pun diterima sebagai salah satu anggota. Bahkan Moo-taek menjalin kedekatan dengan Hong-gil dan banyak datang di puncak gunung bersama sang kapten. Sampai datang masa Moo-taek memimpin timnya sendiri, terjadi kecelakaan tragis yang memaksa Hong-gil kembali dari masa pensiunnya sebagai pendaki.
Dilihat dari banyak sekali materi promosinya, "The Himalayas" memposisikan diri sebagai "kisah menggugah" perihal orang-orang yang berani mempertaruhkan nyawa mereka. Um Hong-gil sebagai kapten memimpin sekelompok pendaki untuk menempuh medan berbahaya tanpa kekayaan atau kejayaan sebagai kompensasi. Ditambah lagi misi itu bukan bertujuan menyelamatkan nyawa melainkan membawa pulang jenazah. Sungguh mereka orang-orang berani yang menghargai sesama manusia. Itulah materi jualan utama film ini. Saya sudah siap dibentuk meneteskan air mata, terenyuh oleh usaha tersebut. Tapi diluar dugaan, dongeng keberanian itu disajikan secara luar biasa mellow. Alih-alih momen menggetarkan, Lee Seok-hoon sang sutradara lebih gemar memperlihatkan karakternya menangis, menangis dan menangis. Momen overly dramatic berbalut orkestrasi musik megah nyatanya mendominasi.
Tentu para laki-laki dan perempuan berani itu juga insan yang boleh menangis. Terlebih di tengah gempuran angin kencang mematikan Himalaya serta kejadian-kejadian tragis lain. Namun tangisan yang ditunjukkan Seok-hoon bukan cerminan realita nan manusiawi, tapi kepalsuan melodrama berlebih agar penonton mengharu biru. Seok-hoon pun gagal membedakan mana "heroik" dan mana "nekat". Tanpa bermaksud meremehkan keberanian para pendaki gunung manapun, tindakan aksara di film ini lebih mengarah ke nekat daripada heroisme. Hal itu nampak dari beberapa momen kala anggota tim membantah perintah kapten untuk turun atau tetap tinggal. Seolah ingin meneriakkan "kami tidak takut!" (tanpa hashtag) mereka kerap membantah perintah dan nekat melaju. Sekali atau dua kali tidak jadi soal, masih layak disebut solidaritas yang berani, tapi ketika berkali-kali -hampir setiap saat- itu namanya ketidakpatuhan bodoh.
Tapi sekali lagi, "The Himalayas" jadi bukti kepiawaian film Korea dalam memancing air mata dan berujung menciptakan saya (sedikit) memaafkan kekurangan-kekurangan tadi. Melodrama-nya memang overkill, tapi Seok-hoon tahu kapan ia harus melancarkan hook. Ditambah lagi para pemainnya bisa melakoni adegan penuh kesedihan dengan baik. Bukan problem natural atau tidak, tapi bagaimana tangisan mereka bisa mengiris perasaan penonton. Jika di industri Bollywood, para pemain film dituntut pandai menari, rasanya tidak berlebihan menyebut pemain film Korea -termasuk pria- harus punya skill akting menangis yang baik. Hwang Jung-min punya itu. Selama ini Jung-min telah dikenal dengan kharisma dan kapasitasnya menghidupkan dinamika karakter. Disini, tiap verbal kepedihan atau kata-kata di tengah tangisan berhasil menyentuh perasaan saya. Perhatikan saja ekspresinya pada poster di atas.
Ditinjau dari porsi, adegan pendakian memang tak sebanyak drama-nya, tapi Seok-hoon sanggup menjadikannya efektif. Visualnya memukau, dengan hamparan pegunungan bersalju yang tak hanya indah namun turut menyimpan ancaman mematikan. Ketegangan pun tidak luput disajikan berkat pemanfaatan setting-nya. Ketinggian dan cuaca ekstrim menjadi bekal utama dari setting-nya untuk menyuntikkan rasa takut. Seok-hoon bisa memaksimalkan dua aspek tersebut khususnya lewat penggunaan wide shot supaya kita sanggup melihat secara terang "seberapa tinggi" dan "seberapa ganas" pegunungan tersebut. Saya sendiri menonton film ini di studio dengan teknologi Starium, sehingga kekuatan visual itu semakin kuat. Keseluruhan "The Himalayas" sendiri tak lebih dari sebuah tearjerker efektif, yang mana jadi salah satu alasan kita menyukai film asal Korea Selatan.
Belum ada Komentar untuk "The Himalayas (2015)"
Posting Komentar