Room (2015)
Kita semua mendambakan kebebasan dalam hidup. Jika anda lontarkan pertanyaan "maukah kau dipenjara?" saya yakin semua menjawab "tidak" dengan lantang. Tapi benarkah yang didambakan yaitu kebebasan? Atau jangan-jangan kita masih buram akan definisi kata "bebas" itu sendiri? Andai diberi pilihan "kebebasan atau kenyamanan" masihkah seseorang bisa dengan lantang menentukan opsi pertama? Lagipula bentuk penjara itu bermacam-macam, bukan hanya ruang kecil untuk menahan narapidana. Penjara juga tidak selalu mengatakan siksaan. Penjara bisa memperlihatkan kebahagiaan serta rasa nyaman berkat kemampuannya memenuhi harapan sang tahanan. Bisa jadi secara tidak sadar kita pun tengah mengurung diri sendiri atau orang lain dalam suatu bentuk penjara. Bisa jadi kita menikmati proses mengurung dan dikurung itu pula.
"Room" garapan Lenny Abrahamson sebagai hasil pembiasaan novel berjudul sama karangan Emma Donoghue (juga selaku penulis naskah) ini memperlihatkan perenungan akan makna "kebebasan" dan "penjara" tadi. Saya tidak bisa menuliskan sinopsis panjang lebar, lantaran hampir tiap progresi alur berpotensi menjadi spoiler bila dituliskan. Satu-satunya hal yang bisa dituturkan adalah, film ini berkisah wacana Joy (Brie Larson) dan puteranya yang berusia lima tahun, Jack (Jacob Tremblay). Keduanya tinggal di sebuah ruangan kecil, namun lengkap berisikan semua benda untuk kebutuhan sehari-hari. Cukup itu saja yang perlu anda tahu. Saya akan berusaha mengulas "Room" dengan spoiler seminim mungkin, tapi tetap lebih baik kalau anda menonton filmnya dulu sebelum membaca lebih lanjut.
Emma Donoghue's script is one of the most innovative screenplay ever. Bukan dalam tataran progresi alur macam "Pulp Fiction" atau "Memento", melainkan oleh caranya menuangkan anutan dan filosofi. Ditinjau dari permukaan memang terkesan biasa, sekedar narasi berjalan maju dihiasi letupan emosi disana-sini. Tapi kalau ditelaah lebih jauh, dalam tiap aspek dongeng -konsep besar wacana tinggal di ruangan sempit, tahap perkembangan psikis karakter, korelasi diantara mereka, momen-momen penyusun keseluruhan alur- semua bermuara pada satu pemikiran: mempertanyakan makna "imprisonment". Kenapa inovatif? Karena Donoghue sanggup membawa filosofi kompleksnya ke ranah realis yang gampang merasuk ke otak dan hati penonton. Tiap cuilan punya makna, memancing kontemplasi berkenaan dengan definisi yang dipertanyakan.
Kamar yang ditinggali Joy dan Jack tak hanya kurungan secara harafiah, tapi juga mewakili hal apapun yang mengekang hingga membatasi perspektif akan dunia. Dibagi dalam dua tahap, paruh pertama yaitu observasi akan kehidupan dalam kekangan. Semua niscaya bersimpati pada oy dan Jack. Tapi memasuki paruh kedua, timbul pertanyaan lebih jauh. Kebebasan telah didapat, tapi apakah sebetulnya mereka senang dengan itu? Disaat ruang kecil yang hakikatnya mengekang justru memenuhi kebutuhan tanpa harus berusaha. Disaat ruang kecil tadi tidak memaksa penghuninya terjun dalam keriuhan keberagaman dunia luar. Atau bahkan pertanyaan lebih mendasar: "benarkah mereka telah bebas?" Karena lagi-lagi Joy dan Jack mesti berhadapan dengan bentuk kurungan lain. Jawaban atas banyak sekali pertanyaan itu tergantung bagaimana keduanya menghadapi efek dari kehidupan bertahun-tahun dalam kondisi kebebasan yang direnggut.
Jack si bocah lima tahun jadi mediator untuk menuturkan hal tersebut. Sejak lahir, Jack tak pernah meninggalkan ruangan itu, sehingga caranya memandang dunia pun berbeda, atau boleh dibilang keliru. Kecoa itu kasatmata lantaran sering terlihat di kamar mandi, tapi tidak dengan hiu dan buaya lantaran tak ada dalam kamar. Jack pun tak percaya adanya lautan. "Bagaimana hal seluas itu bisa muat?" begitu tanyanya pada sang ibu. Bagi Jack, dunia tak lebih dari sebatas kamar tempatnya tinggal, yang mana ia anggap sangat luas pula tak berujung. Jack punya anggapan sempit akan dunia, lantaran ia sendiri belum pernah menyaksikannya secara menyeluruh. Kehidupannya sebatas dalam kamar sempit. Jika terdengar familiar, lantaran ibarat itu wajah sosial masyarakat cukup umur ini.
Sedangkan Joy mempunyai problema lain lagi. Dia yaitu tahanan, korban dari hasrat insan untuk berkuasa. Berkuasa atas apa? Apapun. Kita cenderung ingin menjadi pribadi tidak mau menyebarkan untuk hal yang dirasa hanya milik kita. Joy korban atas hasrat tersebut. Tapi begitu "Room" memasuki paruh kedua, mencuat pertanyaan baru: Apakah ia juga seorang pelaku pengekangan atas dasar keegoisan untuk menguasai suatu hal? Sadar atau tidak, Joy turut melaksanakan itu. Emma Donoghue bisa merangkum dengan baik sisi kompleksitas kedua protagonisnya, sembari menuliskan baris demi baris kalimat memikat, khususnya dalam voice over yang sering diucapkan Jack. Bukan sekedar indah, voice over itu juga merepresentasikan secara tepat isi hati Jack, bocah cilik dengan sejuta anutan dalam kepalanya.
Naskahnya luar biasa, namun bukan berarti "Room" hanya mempunyai itu. Kemampuan Lenny Abrahamson dalam crafting moment membuat perjalanan film ini penuh dinamika. Banyak berisi kelokan alur, Abrahamson sanggup memberi tamparan bagi ekspektasi saya. Kejutan demi kejutan tak terduga silih berganti muncul, meninggalkan saya dalam kondisi tertegun. Aspek emosi pun terasa dinamis berkat kepiawaian Lenny melaksanakan build-up untuk tiap momen dramatis. Terdapat sensitifitas pada caranya memperlakukan adegan dan karakter. Lenny tidak asal menaruh karakternya dalam sebuah situasi, tapi paham mengapa sang aksara merasa muak, sedih, bahagia, murka dan lain-lain. Penghantaran adegannya tak buru-buru, sehingga alasan tersebut sanggup tersampaikan pada penonton. Akhirnya emosi karakternya bisa tersalurkan.
Brie Larson dan Jacob Tremblay memberi tak hanya penampilan individu memikat, tapi juga kekuatan chemistry. Tidak ada kekakuan ibarat yang jamak terjadi kala pemain film cukup umur dipasangkan dengan pemain film cilik. Brie dan Jacob sungguh nampak sebagai ibu dan anak di layar. Brie sebagai damaged mother (and woman) memunculkan secara kasatmata rasa frustrasi. Joy yang begitu kacau bisa ia hantarkan, termasuk ledakan-ledakan emosi menggetarkan yang menciptakan saya tersentak. Kemudian Jacob, ia menjauhkan diri dari anggapan bahwa pemain film cilik hanya akan tampak menyebalkan kalau karakternya banyak berteriak. Jacob mengimbangi sisi eksplosif Jack lewat kepolosan seorang bocah. Di paruh pertama, ia meyakinkan sebagai anak yang clueless akan dunia. Namun paruh kedua yaitu festival akting dalam tingkatan lebih rumit. Jacob lebih banyak diam, tapi bukan bentuk kekosongan, melainkan percampuran kaget, bingung, dan takut. Jacob benar-benar ibarat anak yang bertahun-tahun tak pernah melihat apapun kecuali ruang kecil dan sang ibu.
Tidak peduli berapa ratus ribu atau bahkan juta film telah anda tonton, "Room" tetap akan memberi statement lantang bahwa sinema tak pernah kehabisan cara menyuguhkan hal gres nan unik. Berulang kali saya meneteskan air mata, tapi bukan hanya disebabkan pergolakan emosi adegan dramatis, melainkan juga bersumber dari kekaguman luar biasa atas hasil kerja sama Lenny Abrahamson dan Emma Donoghue menyuguhkan penelusuran terhadap "imprisonment" ini. "Room" is a masterpiece!
Belum ada Komentar untuk "Room (2015)"
Posting Komentar