Steve Jobs (2015)
Genre film biografi atau yang dikenal dengan sebutan "biopic" merupakan sarana bagi filmmaker untuk menceritakan kisah hidup seorang tokoh. Sedangkan bagi penonton, biopic tak ubahnya lahan ilmu untuk mempelajari sosok yang diangkat kehidupannya. Berpatokan dari kedua sisi di atas, tercipta rujukan monoton ihwal bagaimana genre tersebut dihantarkan. Pola penuturan "masa muda - iconic moment (masa puncak) - masa tua" yang kerap dipakai tak bisa dipungkiri sudah semakin usang. Beberapa film belakangan ini mulai berani mendobrak formula itu, sebut saja "Straight Outta Compton" atau "Love & Mercy". Tapi "Steve Jobs" garapan Danny Boyle dengan naskah karya Aaron Sorkin memberi dobrakan pada level berbeda. Jika terasa bukan biopic, mungkin alasannya yaitu kita belum pernah melihat bentuk menyerupai ini.
Tidak ada visualisasi masa kemudian Steve Jobs (Michael Fassbender), tidak ada puncak kejayaan, tidak ada pula selesai hayat. Alur berjalan selayaknya drama panggung tiga babak dengan tiap-tiap babak direpresentasikan oleh momen persiapan launching tiga produk: Machintosh, NeXT Computer dan iMac G3. Namun kita tidak pernah melihat program peluncurannya (tiap babak usai sesaat sebelum/begitu Steve naik panggung), alasannya yaitu apa yang terjadi dikala itu tidaklah penting. Kita tidak perlu melihat Steve Jobs bicara mempromosikan ciptaan barunya. Biopic lain mungkin bakal melaksanakan itu, atas nama penciptaan magical uplifting moment. Apa yang ingin dipaparkan "Steve Jobs" yaitu "sisi dalam" sang tokoh, oleh alasannya yaitu itu penonton dibawa ke backstage. Kenapa tiga fase itu yang dipilih? Karena ketiganya bisa merangkum karir Steve yang dipenuhi jatuh bangun.
Di balik panggung itulah terjadi obrolan antara Steve dengan beberapa sosok kunci dalam hidupnya: marketing direktur Joanna Hoffman (Kate Winslet), co-founder Apple, Steve Wozniak (Seth Rogen), CEO Apple masa 1983-1993, teknisi Mac, Andy Hertzfeld (Michael Stuhlbarg), dan Chrisann Brennan (Katherine Waterston), mantan kekasih Steve sekaligus ibu dari puterinya, Lisa Brennan-Jobs (Makenzie Moss, Ripley Sobo & Perla Haney-Jardine). Tiap abjad membawa satu pokok permasalahan dalam pembicaraan tiga babak mereka dengan Steve. Sorkin sengaja melaksanakan itu sebagai pemfokusan teruntuk tugas masing-masing tokoh dalam kehidupan Steve Jobs. Selama tiga babak yang meliputi rentang waktu 16 tahun, kita tidak hanya mempelajari perkembangan aneka macam bentuk korelasi itu, tapi juga memahami, bagaimana nama-nama di atas berperan membentuk kesatuan hidup Steve.
Saya terpana oleh pendekatan Sorkin tersebut. Tidak hanya memaksimalkan tugas semua karakter, dengan cara tersebut penggalian tiap sisi seorang Steve Jobs sanggup dilakukan secara efektif. Tanpa perlu flashback atau sempilan secuil adegan, Sorkin bisa mengeksplorasi masa kemudian Steve, bagaimana ia tumbuh menjadi Steve Jobs yang kita kenal, kehidupan pribadinya, cara ia bersosialisasi sampai pandangannya terhadap orang lain. Tentu lewat penulisan "rapid fire dialogue" khas Sorkin, butuh konsentrasi lebih guna menangkap itu semua. Sepanjang durasi hanya berisi abjad mondar-mandir sambil bertukar kalimat teramat cepat, tentu menciptakan filmnya segmented. Terlebih kalimat hasil goresan pena Sorkin pastilah terdengar pretensius bagi banyak orang. Tapi percayalah, berfokus lebih pada rangkaian kata-nya akan berujung kepuasan setimpal.
Kadang kala, barisan kalimat "berintelegensi tinggi"-nya memang menghalangi sisi emosional untuk merasuk, tapi disitulah tugas seorang pemain drama dibutuhkan. Aktor harus bisa memperlihatkan humanisme kedalam obrolan "tidak manusiawi" tersebut, menyuntikkan jiwa dan membuatnya believable. Keseluruhan cast-nya berhasil melaksanakan itu, tapi Fassbender dan Winslet terang paling menonjol. Keduanya selalu berdebat, jarang memunculkan kata sepakat, tapi terjalin korelasi saling membangun dan membutuhkan sembari mencuatkan kesan romantis yang aneh. Secara fisik, Fassbender memang tak seberapa menyerupai dengan Steve Jobs, tapi lewat cara bicara serta gerak tubuh, ia memberi interpretasi meyakinkan akan seorang jenius angkuh yang sulit mempercayai orang lain alasannya yaitu ia sendiri pun merasa tak dimengerti. Satu-satunya yang selalu bisa mengerti Steve yaitu Joanna, dan Winslet mengemas perhatian subtil Joanna menjadi begitu hangat.
Sekilas, kokohnya ciri Aaron Sorkin bagai "mengalahkan" pengarahan Danny Boyle, tapi gotong royong itu lebih alasannya yaitu kecocokan gaya Boyle dengan sang penulis naskah. Boyle tetap mempertahankan editing cepat juga beberapa selipan imbas visual untuk mempercantik adegan. Kekuatan Boyle pada penggunaan lagu pun tetap terasa disini, dan paling tampak terang pada adegan epilog yang uplifting. Setelah selama dua jam berada dalam atmosfer "dingin", ending-nya menjadi puncak segala curahan emosi. Saya pun dibentuk meneteskan air mata pada momen tersebut. Kolaborasi Boyle-Sorkin sukses menyebabkan "Steve Jobs" sebagai tontonan penuh energi yang padat dalam menuturkan tiap sendi kehidupan Steve Jobs. An erratic and genius attempt to captures the essence of the life of an erratic and genius person.
Belum ada Komentar untuk "Steve Jobs (2015)"
Posting Komentar