Delicatessen (1991)
Ini yakni debut penyutradaraan dari Jean-Pierre Jeunet yang paling dikenal lewat Amelie, sebuah film Prancis yang berhasil meraih lima nominasi Oscar termasuk Best Original Screenplay yang ditulis sendiri oleh Jean-Pierre. Tapi dalam Delicatessen Jean-Pierre tidak sendirian alasannya yakni ada Mar Caro yang juga menjadi sutradara. Naskah film inipun hail goresan pena keduanya. Dari judul filmnya yang berarti "toko makanan" Delicatessen tidak akan membawa kita melihat sajian-sajian yummy nan berkelas buatan chef di restoran glamor ibarat yang sering muncul di aneka macam film-film Prancis. Apa yang dihadirkan oleh Jean-Pierre Jeunet dalam debutnya ini yakni sebuah dunia post-apocalyptic yang kondisinya mengenaskan. Meski tidak diperlihatkan secara keseluruhan tapi dari dongeng karakternya hingga cuplikan informasi di koran kita akan tahu bahwa insan sedang kesulitan mendapat makanan. Jangankan daging yang lezat, untuk memakan masakan sungguhan saja mereka sudah tidak sanggup. Alhasil pereonomian pun makin memburuk dan tidak dijumpai lagi proses jual beli dengan memakai uang. Masyarakat berjual beli kembali dengan cara tukar barang dimana jagung merupakan salah satu benda yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
Namun di sebuah apartemen kumuh milik seorang tukang jagal berjulukan Clapet (Jean-Claude Dreyfus) orang-orang masih dapat menikmati daging yang dijual oleh Clapet meski tidak sering. Tapi walaupun toko daging tersebut berlambang babi, tapi daging yang dijual bukanlah daging babi melainkan manusia. Kebanyakan merupakan korban penipuan dari Clapet dimana ia memasang iklan lowongan kerja di koran, kemudian orang yang tiba untuk melamar akan dijagal untuk kemudian dijual dagingnya pada orang-orang sekitar. Suatu hari datanglah Louison (Dominique Pinon), mantan badut sirkus yang membaca lowongan pekerjaan dari Clapet. Tanpa tahu bahwa Clapet berniat membunuhnya, Louison tinggal dan bekerja disana dengan bahagia hati, apalagi sesudah ia berkenalan dengan Julie (Marie-Laure Dougnac) yang tidak lain yakni puteri tunggal Clapet. Hubungan keduanya pun semakin lama semakin dekat. Julie sekarang semakin mengkhawatirkan nasib Louison dan mulai mencari cara untuk menyelamatkan Louison dari ayahnya sendiri. Selain kisah yang menjadi fokus utama tersebut Delicatessen juga akan membawa kita melihat bagaimana kehidupan serta interaksi yang terjadi antara penghuni apartemen tersebut.
Sama ibarat Amelie, hal pertama yang pribadi terasa ketika melihat Delicatessen adalah keindahan sinematografi dan art direction-nya. Dengan penggunaan filter warna orange yang mendominasi sepanjang film bercampur dengan penyusunan set lokasinya, atmosfer dari film ini tersampaikan dengan baik. Atmosfer yang muncul pada sebuah masa post-apocalyptic dan penuh dengan kerusakan entah itu kerusakan dunia maupun diri manusianya. Saya sangat menyukai bagaimana tiap-tiap set disusun juga bagaimana penempatan propertinya yang tidak jarang terasa unik. Bahkan dari opening credit-nya, Delicatessen sudah menarik hati ketika satu per satu nama kru film ini terpampang di beberapa barang lama yang melambangkan posisi mereka. Misalnya sinematografer tertulis diatas kamera, atau penata musik tertulis diatas piringan yang sudah pecah. Dari pengemasan set dan propertinya aura weird dan sedikit disturbing bisa dengan gampang dirasakan semisal ketika ada ruangan milik seorang bau tanah yang penuh dengan siput dan kodok dengan lantai yang terenda air. Teknik pengambilan gambar serta pencahayannya juga berhasil membuat tidak hanya lokasinya saja yang terasa aneh dan disturbing tapi juga karakter-karakternya. Yang paling terasa yakni ketika adegan close-up yang sukses membuat ekspresi karakternya terasa creepy semisal yang nampak ada Clapet maupun Aurore.
Seperti kebanyakan film-film Prancis, Delicatessen punya iringan musik yang indah. Tapi bukan keindahan itu saja yang menyebabkan aspek musik dalam film ini Istimewa tapi berkat beberapa adegan montage unik yang berhasil dikemas oleh Jean-Pierre dan Marc Caro. Tercatat ada dua montage yang begitu unik dan mampu membuat saya begitu terpukau. Bagaimana aneka macam bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh benda-benda berlainan yang notabene bukan alat musik mampu menghasilkan harmonisasi suara yang enak didengar bahkan mampu membuat rangkaian montage yang lucu. Tapi dari dua adegan tersebut saya paling suka yang lebih sederhana yakni ketika Louison sedang memperbaiki per di kasur milik Mademoiselle Plusse (Karin Viard). Dengan diiringi musik ala Hawaii, adegan mengcek per diatas kasur perlahan berubah jadi sebuah "tarian" yang terkesan minimalis, lucu tapi begitu indah. Saya sungguh menyukai gerak dan ekspresi kedua pemainnya khususnya Dominique Pinon pada adegan ini. Lucu. Ya, meski sekilas terlihat sadis dan dsiturbing serta memiliki tema wacana zaman penuh depresi namun film ini punya menu komedi yang cukup kental khususnya komedi hitam. Dan diluar dugaan itu berhasil. Saya berhasil dibentuk tertawa beberapa kali oleh kelucuan dari film ini yang bersama-sama sedikit aneh...in a good way.
Delicatessen membawa kita pada sebuah depression era disaat nilai-nilai kemanusiaan seolah tidak lagi berlaku dan yang dipikirkan oleh tiap-tiap orang hanyalah berusaha semoga perut mereka tetap kenyang. Hal itu terlihat dari fakta bahwa hampir semua penghuni apartemen tersebut menegtahui bahwa daging yang dijual Clapet yakni daging manusia, tapi mereka toh tidak problem yang penting dapat makan daging. Bahkan tidak jarang mereka membantu Clapet mengumpulkan daging tersebut. Secara tersirat Delicatessen juga memaparkan wacana sebuah imbas domino. Ya, beberapa adegannya yang unik memang menawarkan imbas domino mulai dari montage yang sudah saya ceritakan sebelumnya hingga beberapa momen yang menawarkan perjuangan Aurore melaksanakan bunuh diri. Banyak adegan ibarat itu alasannya yakni bagi saya film ini memang coba menawarkan bagaimana imbas domino terjadi pada dunia ketika itu. Sebagai pola jatuhnya perekonomian berefek pada terjadinya kelaparan, kepalaran berefek pada depresi masyarakat yang ada akibatnya berefek pada kanibalisme yang terjadi. Selain itu masih ada aneka macam imbas domino lain yang tersirat dalam kisah film ini termasuk pada montage yang pertama muncul yang seolah menggambarkan bagaimana Clapet si penjagal mampu mengontrol mereka semua yang hidup di apartemen tersebut. Tapi meski begitu Delicatessen sesungguhnya yakni film yang berfokus pada interaksi aksara sebagai daya tarik ceritanya. Kita diajak melihat bagaimana interaksi antar penghuni apartemen serta korelasi yang terjalin satu sama lain yang lebih banyak didominasi dapat disebut aneh. Ya, ini memang film yang aneh bahkan distrubing namun begitu imajinatif dan gampang memukau penonton dengan segala keunikannya.
Belum ada Komentar untuk "Delicatessen (1991)"
Posting Komentar