Pengkhianatan G 30 S/Pki (1984)

Sampai kini film Pengkhianatan G 30 S/PKI yaitu film paling kontroversial yang pernah ada di perfilman tanah air. Dibuat dengan sokongan dari pemerintahan Orde Baru, film ini dianggap sebagai sebuah propaganda dari pihak pemerintah kepada masyarakat berkaitan dengan pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada 30 September 1965 dimana film ini menceritakan insiden tersebut menurut versi dari pemerintahan Soeharto. Pada masa perilisannya film ini ditonton lebih dari 600.000 orang dan sempat menjadi film terlaris Indonesia sepanjang masa pada ketika itu. Tapi konon katanya banyak dari jumlah penonton tersebut yang tiba ke bioskop tidak secara suka rela namun diharuskan untuk menonton khususnya para siswa. Bahkan para siswa juga sempat diharuskan menonton film ini dan diberikan kiprah untuk menulis resensi. Tidak hanya itu, hingga sebeum jatuhnya pemerintahan Soeharto pada 1998, film juga ini wajib tayang di televisi setiap tanggal 30 September. Namun sehabis jatuhnya pemerintahan Orde Baru film ini seolah menghilang dari peredaran sehabis penayangannya juga dihentikan di televisi.  Tapi dengan mengesampingkan hal-hal berkaitan dengan propaganda tersebut gotong royong Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan sebuah pencapaian yang cukup istimewa dalam sejarah perfilman Indonesia.

Ceritanya dimulai dari selesai Septembe 1965 disaat kondisi Indonesia tengah kacau balau dimana perekonomian rakyat juga sedang berada dalam kondisi yang menyedihkan dan kelaparan terjadi dimana-mana. Presiden Soekarno (Umar Kayam) sendiri ketika itu tengah sakit parah dan diperkirakan hidupnya tidak usang lagi. Hal itulah yang coba dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Aidit (Syubah Asa) untuk menjalankan kudeta. Kondisi PKI sendiri ketika itu tengah diatas angin sehabis konsep politik Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) milik Presiden Soekarno mempermudah penyebaran dan perekrutan anggota PKI. Untuk itulah mereka berencana mengangkat gosip “Dewan Jenderal”, sebuah konspirasi palsu yang mencoba memfitnah para Jenderal Tentara Nasional Indonesia dimana mereka dituduh berencana melaksanakan perebutan kekuasaan pemerintahan jikalau Soekarno risikonya meninggal. Namun gotong royong itu yaitu gosip yang disebarkan oleh PKI guna memperlancar perebutan kekuasaan yang mereka rencanakan. Rencana mereka yaitu menculik para jenderal di tanggal 30 September malam guna membawa mereka ke lubang buaya untuk dipaksa mengakui bahwa Dewan Jenderal yaitu hal yang nyata. Dan ibarat yang kita tahu pada risikonya para jenderal tersebut ditemukan sudah meninggal di dalam lubang buaya dalam kondisi yang mengenaskan. Kita juga akan melihat bagaimana pihak angkatan darat yang dipimpin oleh Soeharto (Amoroso Katamsi) berusaha menggagalkan planning perebutan kekuasaan PKI.


Pengkhianatan G 30 S/PKI terperinci merupakan sebuah film drama-sejarah namun dalam pengemasannya, Arifin C. Noer seolah sengaja membungkus film ini bagaikan film horror. Memang intinya film ini mengangkat insiden horror tragis yang begitu mengerikan, namun saya tidak menyangka pada risikonya film ini dikemas selayaknya film horror dengan menggunakan begitu banyak aspek yang sering dimunculkan film horror untuk meneror penontonnya. Sebagai pola penggunaan musik dari Embie C. Noer yang terasa begitu menyayat dan bisa membuat atmosfer mencekam.  Belum lagi ditambah banyaknya adegan penuh darah yang cukup sadis serta penggunaan lighting gelap di banyak adegan. Berkaitan dengan suasana remang-remang yang digunakan ditambah dengan banyaknya asap rokok membuat film ini juga mempunyai aura noir yang cukup kuat. Penggunaan rokok sendiri memang sengaja diperbanyak khususnya dalam adegan rapat PKI untuk mengesankan karakternya sedang berpikir keras. Bahkan huruf Aidit yang aslinya bukan seorang perokok pun disini digambarkan sebagai perokok berat yang selalu “menyambung” rokoknya. 

Sedangkan adegan-adegan sadis penuh darah yang lebih banyak didominasi muncul semenjak penculikan para Jenderal di rumah masing-masing hingga penyiksaan di lubang buaya memang terasa cukup mencekam. Saya bisa membayangkan bagaimana siswa-siswa sekolah dasar yang diharuskan menonton film ini niscaya akan mencicipi terror yang luar biasa menyeramkan bahkan mungkin traumatis melihat banyak sekali adegan tersebut.  Salah satu yang paling mengerikan bahkan tragis yaitu disaat D.I. Pandjaitan ditembak tepat di depan keluarganya gara-gara terlalu usang berdoa. Yang terjadi sehabis itu yaitu puterinya menangis histeris di kubangan darah sang ayah. That’s disturbing! Atau ihat ketika para Jenderal disiksa dengan begitu sadis di lubang buaya sedangkan para anggota PKI tertawa-tawa bahkan menari dan menyanyi “Genjer-Genjer”. Begitu mengerikan melihat para Jenderal yang tubuhnya penuh luka itu diseret-seret sebelum risikonya dibunuh dan dikubur di dalam sumur.
Bahkan sebelum adegan penculikan, film ini sudah berhasil membangun atmosfernya dengan begitu menegangkan. Saya dibentuk harap-harap cemas menantikan adegan tersebut lewat pembangunan suasana yang begitu intens, music mencekam serta beberapa adegan slo-mo yang muncul ketika bala tentara PKI turun dari truk yang membawa mereka ke rumah masing-masing Jenderal. Namun diluar segala horror dan kesadisan tersebut film ini juga menggambarkan banyak hal, salah satunya yaitu keresahan yang terjadi di kalangan masyarakat bahkan hingga ke kalangan menengah dan kalangan bawah. Hal terebut begitu terasa ketika kita melihat setiap adegan yang memunculkan huruf rakyat jelata niscaya diisi dengan curahan mereka wacana kondisi yang terjadi, bahkan disaat santai ibarat pesta sekalipun hal itu juga yang mereka obrolkan satu sama lain. Hal tersebut seolah memperlihatkan bahwa setiap ketika semua elemen masyarakat selalu diresahkan dan dibentuk mengkhawatirkan kondisi Indonesia yang tengah carut marut mulai dari perekonomian hingga perebutan kekuasaan. Saya juga suka bagaimana obrolan dalam film ini ditulis. Bagi kalian yang sudah pernah membaca atau menonton karya Arifin C. Noer niscaya sudah tahu akan kelebihannya dalam menuliskan obrolan yang penuh kata-kata cerdas bahkan indah tanpa perlu berlebihan mencoba puitis. Bahkan beberapa obrolan menjadi ikonis hingga kini ibarat “Darah itu warnanya merah, Jenderal!", atau "Bukan main wanginya minyak wangi jenderal. Begitu harum hingga mengalahkan basi darah sendiri" dan masih banyak dialog-dialog andal lainnya. Sayangnya banyak sekali obrolan manis tersebut tidak ditunjang dengan akting mumpuni pemainnya. Beberapa bab terdengar begitu kaku dengan pemotongan kalimat yang terasa tidak lezat didengar.

Pada risikonya Pengkhianatan G 30 S/PKI memang terasa begitu kental nuansa propagandanya. Sosok yang hitam dan putih digambarkan dengan begitu jelas. Sosok putih terperinci yaitu Soeharto dan pasukannya yang berjuang demi kebenaran dan tanah air. Sedangkan sosok hitam yaitu PKI yang digambarkan sebagai kumpulan orang-orang murni jahat yang begitu keji. Mereka seperti merupakan setan yang tega membunuh siapa saja, menginjak-injak Al Qur’an, bahkan menikmati segala pembunuhan dan penyiksaan yang mereka lakukan sembari menari-nari disertai tawa riang. Padahal saya yakin ada begitu banyak kompleksitas dalam insiden sejarah ini jikalau kita membicarakan wacana hitam dan putih. Hal ini terperinci mengurangi kompleksitas kisah khususnya berkaitan dengan karakterisasi. Selain itu saya juga mencicipi adanya plot hole dalam kisahnya berkaitan dengan pemberontakan yang dilakukan PKI. Sepanjang film kita diperlihatkan bahwa mereka terus menerus rapat dan seolah semuanya sudah tertata dengan sempurna, tapi mengapa planning itu bisa digagalkan dalam waktu yang begitu singkat? Saya juga cukup terganggu dengan cara editing filmnya yang terasa kurang rapih dan terlalu sering memperlihatkan gambar yang terasa kurang esensia dan pada risikonya menambah panjang durasi. Yang saya maksud kurang esensial bukanlah shoot buku atau gambar gunungan di rumah Soeharto alasannya yaitu bagi saya justru hal-ha tersebut esensial. Yang saya maksud yaitu adegan-adegan singkat yang menampilkan ekspresi beberapa huruf sekunder ditambah peralihan yang tidak rapih.


Ini yaitu film propaganda yang ironisnya juga berkisah wacana propaganda. Propaganda yang dilakukan PKI terhadap rakyat, bahkan propaganda yang dilakukan petinggi PKI terhadap anggota-anggotanya yang sempat mempertanyakan kepastian gosip Dewan Jenderal dan pelaksanaan perebutan kekuasaan tersebut. Arifin C. Noer seolah berusaha memperlihatkan bahwa kita para penonton berada dalam posisi yang sama dengan orang-orang “bawahan” atau rakyat kecil tersebut yang tidak tahu apa-apa dan berusaha didoktrin oleh pihak-pihak petinggi. Tapi dari segi dongeng ini bukan hanya sekedar kepercayaan alasannya yaitu gotong royong film ini punya dongeng yang cukup cerdas dan menarik wacana konspirasi dan tindak criminal. Ada kisah wacana pemfitnahan, konspirasi politik tingkat tinggi, hingga perebutan kekuasaan yang cukup rumit. Ya, inipun yaitu thriller politik yang punya kisah berlapis dan tersaji dengan cerdas.  Pada risikonya mungkin memang benar bahwa Pengkhianatan G 30 S/PKI yaitu film yang dibentuk sebagai bentuk propaganda dari pemerintahan orde gres dan berusaha mengkultuskan Soeharto dan semakin mensahkan PKI sebagai pihak yang begitu jahat. Namun diluar itu gotong royong ini yaitu pencapaian teknis yang memuaskan serta mempunyai naskah yang begitu baik dari Arifin C. Noer. Filmnya meliputi banyak genre, mulai dari horror, thriller politik, drama, criminal, bahkan ada selipan action juga. Ya, tidak ada salahnya untuk mengesampingkan sejenak faktor propagandanya dan menengok kembali film yang sempat setia menemani rakyat Indonesia setiap malam hari tanggal 30 September ini.

Belum ada Komentar untuk "Pengkhianatan G 30 S/Pki (1984)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel