What We Do In The Shadows (2014)
Bagaimana jikalau vampir benar-benar ada dan hidup di sekitar kita? Pertanyaan itu mungkin sedikit banyak sudah dijawab oleh Jim Jarmusch lewat drama gothic-nya, Only Lovers Left Alive. Kali ini giliran duo sutradara asal Selandia Baru, Taika Waititi dan Jermaine Clement yang menghadirkan tanggapan atas pertanyaan tersebut. Bedanya, mereka menjawabnya dengan penuh lelucon. What We Do in the Shadows tidak akan terasa "senyata" film Jim Jarmusch itu, dan bahwasanya sajian menyerupai ini sangat berpotensi menjadi komedi kolot yang memuakkan. Parodi perihal mitologi dan kehidupan vampir di "dunia nyata" memang ilham yang berisiko. Kebodohan yaitu apa yang akan terjadi jikalau parodi menyerupai ini hanya berfokus pada melucu seenaknya, tapi Waititi dan Clement jauh lebih berakal dalam mengobrak-abrik mitologi vampir. Kisahnya perihal empat vampir beda zaman yang tinggal dalam satu apartemen di Wellington, Selandia Baru. Viago (Taika Waititi) yaitu sang huruf utama yang paling rapih diantara vampir lain. Karena itulah ia nampak sebagai pengontrol keliaran teman-temannya.
Vladislav (Jermaine Clement) yang berusia 862 tahun yaitu yang paling sadis, sekaligus playboy kelas berat yang gemar melaksanakan orgy sebelum memangsa korbannya. Deacon (Jonathan Brugh) yaitu yang termuda (183 tahun) sekaligus yang paling liar dan sulit diatur, khususnya dalam hal membagi pekerjaan bersih-bersih apartemen. Terakhir ada Petyr (Ben Fransham), vampir tertua berusia 8.000 tahun yang penampilannya menyerupai Count Orlok dari Nosferatu dan paling ganas sehingga harus tinggal sendirian di bawah tanah. Meski merahasiakan status mereka sebagai vampir, keempatnya baiklah untuk didatangi oleh para pembuat film dokumenter yang akan merekam acara mereka sehari-hari. Dari dokumenter itu kita akan diajak melihat bagaimana keempat vampir berusia ratusan tahun ini harus menjalani hidup sebagai vampir dengan aneka macam keunikannya, menyerupai dihentikan masuk rumah tanpa diundang, hanya bisa keluar di malam hari, hanya bisa mengonsumsi darah manusia, tidak punya bayangan di cermin, dan masih banyak lagi. Pastinya kehidupan sebagai vampir tidak semudah dan sekeren yang ada di pikiran banyak orang.
Siapa yang menganggap vampir tidak keren khususnya di masa ini? Vampir tidak bisa mati, bisa terbang, bisa hipnotis, bahkan bisa berubah wujud. Siapa peduli jikalau vampir hanya bisa keluar di malam hari? Bukankah kehidupan malam yaitu yang paling menyenangkan? Taika Waititi dan Jermaine Clement seolah benar-benar paham kehidupan vampir (atau jangan-jangan mereka vampir?), alasannya yaitu jikalau vampir memang benar adanya aku rasa hal-hal inilah yang akan mereka sampaikan pada manusia. "Coba lihat dari sudut pandang kami" yaitu kalimat yang tampaknya ingin diucapkan para vampir dalam film ini. Menyebut film ini "memanusiakan vampir" rasanya kurang tepat, tapi menyerupai itulah yang aku rasakan. Bukan alasannya yaitu pendekatan yang amat realis, tapi lebih alasannya yaitu What We Do in the Shadows menunjukkan bahwa diluar kesaktian mereka, vampir juga punya duduk perkara sepele dari kehidupan sehari-hari yang ironisnya kebanyakan hadir alasannya yaitu keunikan mereka. Dari situ juga sumber komedi utama film ini berasal.
Mungkin komedinya tidak akan menciptakan anda sakit perut alasannya yaitu tertawa, tapi sudut pandang yang digunakan untuk mengskploitas keseharian vampir itu amat menyenangkan untuk ditonton. Unik alasannya yaitu aneka macam komedi sejatinya muncul dari kejadian-kejadian yang bagi para vampir hanya bab dari keseharian mereka, tapi bagi kita dengan segala pengetahuan perihal mitos akan mereka, semua itu jadi kejutan demi kejutan menyenangkan. Semua mitos umum perihal legenda vampir tidak ada yang terlewatkan untuk dibahas oleh film ini, membuatnya menjadi eksplorasi lengkap. Apa yang menciptakan komedinya tidak kolot bahkan cerdas yaitu bagaimana kelihaian Waititi dan Clement untuk tetap menciptakan semuanya masuk logika. Coba bayangkan jikalau vampir memang ada, maka hampir semua hal yang terjadi disini akan terjadi. Kecerdasan kedua sutradara sekaligus penulis naskah ini makin terasa dikala parodinya hingga ke hal terkecil. Tentunya vampir memang akan kebingungan untuk berpakaian tanpa harus melihat cermin bukan? Apalagi dengan style baju masa kemudian yang ribet itu.
Semakin banyak mockumentary yang hadir, tapi semakin banyak pula yang lupa esensi utamanya untuk terlihat senyata mungkin. What We Do in the Shadows mungkin punya pergerakan kamera yang terlalu halus untuk sebuah mocku, tapi kesan konkret terang berhasil diperlihatkan. Saat sebuah film bergaya menyerupai ini bisa menciptakan kesan realistis berpengaruh padahal temanya jauh lebih fantasi daripada mockumentary kebanyakan, terang film itu spesial. Inilah yang terjadi jikalau istilah "what if...?" didefinisikan dengan sempurna. Tidak hanya itu, pada beberapa bab film ini juga dengan tepat menghadirkan atmosfer horror yang kuat. Entah dengan kebrutalan berdarah, atmosfer creepy, atau sosok Petyr. Banyak parodi yang hanya berfokus pada memperlihatkan lawakan plesetan sebanyak mungkin tanpa berpikir akan kualitas dongeng maupun karakter, tapi tidak dengan film ini. Baik sebagai parodi, horror, maupun mockumentary, What We Do in the Shadows sudah sangat berhasil tampil memuaskan.
Belum ada Komentar untuk "What We Do In The Shadows (2014)"
Posting Komentar