The Hateful Eight (2015)

"Just a bunch of nefarious guys in a room, all telling backstories that may or may not be true. Trap those guys together in a room with a blizzard outside, give them guns, and see what happens." Begitu Quentin Tarantino mendeskripsikan premis film kedelapan buatannya. Artinya, film ini akan bertempat dalam satu setting, dengan kisah berpusat pada pembicaraan diantara mereka. It sounds like a perfect "Tarantino movie" right? Beberapa karya terakhirnya ibarat "Inglourious Basterds" hingga "Django Unchained" memang punya karakteristik khas sang sutradara, tapi "The Hateful Eight" terdengar bagai kompilasi "the greatest hits" Tarantino dengan mengumpulkan segala aspek yang penonton harapkan terdapat dalam filmnya. Tidak hanya itu, beberapa pemain drama selaku frequent collaborator-nya sebut saja Samuel L. Jackson, Tim Roth, hingga Michael Madsen turut ambil bagian. 

Kisahnya mempunyai enam chapter diamana tiap-tiap chapter bertugas merangkum satu poin penting pada keseluruhan cerita. Satu per satu kita diperkenalkan pada kedelapan tokoh yang nantinya akan menyebarkan panggung pertunjukkan. Marquis Warren (Samuel L. Jackson), seorang bounty hunter sekaligus mantan anggota black Union soldier dimunculkan pertama sekaligus tokoh yang paling bersahabat dengan sebutan "pemeran utama". Tapi Warren bukanlah laki-laki baik-baik. Faktanya, tak ada satupun dari delapan abjad yang berperan selaku "sosok putih", bahkan segala penuturan mereka pun sulit dipegang kebenarannya. Badai salju ganas memaksa delapan orang itu berkumpul dalam sebuah haberdashery. Mulai terjadi perkenalan satu sama lain, lengkap dengan kisah mengenai jati diri masing-masing. Hingga perlahan muncul kecurigaan bahwa satu orang (atau lebih) telah menuturkan kebohongan mengenai dirinya. 

Kecurigaan tersebut menuntun kehadiran misteri ala-detective flick dimana beberapa abjad berkumpul, terjadi suatu kasus, dan berujung pada perjuangan mengungkap identitas sang pelaku. Why the western? Karena dengan membawa setting ke dunia tersebut, Tarantino sanggup membuat kondisi dimana satu atau bahkan semua orang merupakan outlaw. Ini yaitu dunia berbahaya dengan tokoh membawa pistol dan sanggup kapanpun memecahkan kepala seseorang dengan itu. Garis batas hitam dan putih lebih mungkin dikaburkan berkatnya. But this isn't just the western version of "Reservoir Dogs". Bukan hanya berisikan misteri pengundang tanya, "The Hateful Eight" menjadi eksplorasi situasi mengerikan penuh amarah yang dipicu dendam. Tarantino bermain-main dengan atmosfer. Setting-nya bukan cuma hiasan, melainkan faktor penting dalam pembangun suasana. Kita akan selalu mendengar tiupan badai di luar ruangan, menguatkan kesan terisolir yang akan semakin mencekam kala mendapati semua yang berada di dalam yaitu sosok berbahaya. Opening sequence dengan patung Yesus tertimbun salju diiringi scoring mencekam Ennio Morricone pun telah menjadi gerbang pembuka sempurna.  
Berdurasi 167 menit, alurnya berjalan lambat tapi tidak dragging. Pastinya obrolan goresan pena Tarantino menjadi pemicu utama keberhasilan tersebut. "The Hateful Eight" yaitu tipikal film berisi konsistensi ketegangan mengikat yang bersumber dari pertukaran kalimat tokohnya. Meski baris kalimatnya less-memorable dibanding tulisan-tulisan terbaik Tarantino, namun sudah cukup sebagai penggaet atensi. Tentu Tarantino tahu cara mengemas suatu obrolan menarik, ketika ia mengungkap fakta bertahap dengan tiap kalimat berisikan punchline supaya penonton bersedia menanti hal apalagi yang berikutnya muncul. Intensitasnya tinggi meski dituturkan secara lambat, bukan tik-tok cepat layaknya "Pulp Fiction". Memang dalam tiga chapter pamungkas terdapat bloodshed berisikan banyak kepala pecah hingga "pameran" muntah darah, menimbulkan "The Hateful Eight" sebagai film Tarantino paling gory. Tapi kegilaan itu tak lebih sebagai "upah" kesabaran penonton sehabis hampir tiga jam "hanya" mendengar obrolan. Senjata utama tetap berasal dari dialog, bahkan ketegangan titik puncak juga berasal dari situ.

Sebagai film berisi ensemble cast, sudah menjadi kewajaran ketika para pemain tampil memuaskan. Tidak ada penampil buruk, bahkan Zoe Bell dengan screentime hanya beberapa menit pun mencuri perhatian dikala menanggalkan image "gaharnya" untuk berperan sebagai Six-Horse Judy yang girly dan ceria. Tim Roth, Michael Madsen, pula Kurt Russell punya momen masing-masing untuk bersinar. Tapi saya menentukan trio Samuel L. Jakson, Jennifer Jason Leigh dan Bruce Dern sebagai favorit. Porsi Bruce Dern paling sedikit diantara ketiganya, namun alangkah memikat tatapan mata penuh horor dan amarah menjelang final kemunculan karakternya. Sedangkan Jennifer Jason Leigh sebagai Daisy "The Prisoner" Domergue berpengaruh memberi pernyataan bahwa she doesn't give a fuck dalam tiap perbuatannya. Sosoknya memberi tanda tanya. Terkadang ia tampak lemah, tidak jarang lucu, tapi mengapa dalam perjalanan menuju daerah sanksi ia justru teramat santai? Ketika "wajah aslinya" terbuka, Jason Leigh mengatakan definisi tepat dari "evil bitch".
Samuel L. Jackson punya porsi terbanyak dibanding pemain drama lain. Kemunculannya penuh monolog yang kesemuanya berhasil dimanfaatkan tanpa cela oleh sang aktor. There's a gravita in every word that he said, and of course he's still our favorite bad-ass motherfucker. Penuh kharisma, ia menimbulkan Warren di awal layaknya sosok antihero dalam suatu film western pada umumnya. Tenang, tapi tanpa menyiratkan keraguan menghabisi siapapun yang mengalangi jalannya. Hingga alhasil kita semakin jauh mempelajari sosok Warren, semakin ambigu pula abjad ini. He's not an ordinary antihero, he's an asshole like everybody else. Berkat ambiguitas itulah interaksi diantara mereka selalu menarik disimak. 

Meski begitu film ini bukannya tidak mempunyai cela, terlebih dikala Tarantino "mengkhianati" keputusannya membuat film hanya berisikan delapan abjad saling berinteraksi. It's much bigger than that. Semakin jauh alur berjalan, semakin bertambah abjad bermunculan, sehingga saya beberapa kali merasa judul "The Hateful Eight" tidak lagi relevan dengan perkembangan alurnya. Sebuah twist pada chapter keempat mengatakan kekurangan tersebut. Memang memberi imbas kejut, tapi juga bagai menunjukkan kebingungan Tarantino untuk memberi jalan keluar demi konklusi konflik yang susah payah dibangun. Ketika kisah "keluar" dari lingkup delapan abjad sentral, jalinan intensitas pun terputus. Masih berisi adegan-adegan menarik, tapi memberi jarak pada flow yang harusnya terus berjalan tanpa putus hingga akhir.

Terdapat kontroversi menimpa Quentin Tarantino sebelum filmnya rilis terkait keterlibatannya dalam demonstrasi terhadap kebrutalan polisi. Entah kebetulan atau tidak, filmnya cukup sering mengkritisi hal yang bersinggungan. Untuk pertama kalinya Tarantino mengkritisi sebuah warta secara lantang. Dia banyak bicara wacana warta rasial, keadilan sosial masyarakat, hingga kiprah pihak berwajib dalam perjuangan menegakkan aturan yang berlaku. Praktis menghakimi film-film Tarantino sebagai sajian kekerasan pointless yang hanya fokus pada gaya tanpa menuturkan hal esensial. Lewat "The Hateful Eight" Tarantino alhasil meneriakkan kritik secara gamblang dengan relevansi kasatmata kepada citra masyarakat dunia sampaumur ini. Meski bukan sajian terbaik dari Quentin Tarantino, "The Hateful Eight" masih berpengaruh berdiri di jajaran atas film terbaik tahun ini. Bukti kehebatan sang sutradara. Berkaca pada film ini, dengan sisa dua film (Tarantino berencana membuat total 10 film) mari berharap salah satunya adalah courtroom thriller. 

Belum ada Komentar untuk "The Hateful Eight (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel