Robin Hood (2018)

Para purist akan menyebut Robin Hood—sebagaimana King Arthur: Legend of the Sword (2017)—produk hina penuh dosa jawaban keengganannya setia pada gaya tradisional. Padahal filmnya sendiri sudah meminta, “Lupakan sejarah dan cerita pengantar tidur yang kalian kenal”. Makara apa perlunya kita meminta sesuatu yang jelas-jelas tidak coba filmnya raih? Robin Hood merupakan modernisasi yang meski tidak luar biasa maupun cerdas, namun menyenangkan pula efektif. Terima saja kenyataan itu.

Sang aristokrat muda, Robin of Loxley (Taron Egerton), mendapatkan perintah wajib militer dari Sheriff of Nottingham (Ben Mendelsohn), di mana ia mesti terjun ke Perang Salib, memaksanya meninggalkan kehidupan glamor serta cintanya, Marian (Eve Hewson). Otto Bathurst, dalam debut penyutradaraan layar lebarnya, mengemas Perang Salib layaknya Perang Irak dengan parade “boom bang”. Para prajurit mengangkat busur panah ibarat senapan, dan pihak lawan menghujani mereka dengan crossbow seolah benda itu yaitu senapan mesin. Dan saya mengaguminya.

Robin, yang sejatinya cowok berhati mulia, terganggu menyaksikan rekan-rekannya membantai tawanan perang secara keji. Dia pun memberontak hingga dikirim kembali ke Nottingham. Salah satu tawanan, Yahya alias John (Jamie Foxx), sesudah melihat sang putera dipenggal di depan matanya, merencanakan kudeta. John memutuskan belakang layar mengikuti Robin kembali ke Nottingham. Bagaimana John bisa bersembunyi selama tiga bulan di bawah geladak? Bagaimana ia makan dan minum?

Tidak perlu mempertanyakan itu, lantaran ketika otak anda sibuk memikirkan setumpuk lubang alurnya, film ini, yang bergerak dalam tempo cepat, telah mencapai destinasi: Nottingham, yang kini telah jauh berubah. Di bawah perintah Sheriff, semua penduduk dipindahkan ke tambang untuk bekerja paksa, termasuk Marian yang kini menjalin kasih dengan Will (Jamie Dornan), lantaran nama Robin tertera dalam daftar buatan Sheriff of Nottingham tentang prajurit yang gugur dua tahun kemudian (Robin pergi selama empat tahun).

Bukan saja urusan kerja, pemaksaan Sheriff of Nottingham juga terjadi tentang pembayaran pajak yang terlampau tinggi. Konon pajak itu digunakan mendanai Perang Salib.  Didorong hasrat balas dendam dan patah hati, Robin, dengan derma John yang mengajarinya teknik memanah tingkat lanjut, bermetamorfosis “The Hood” yang populer lewat aksinya mencuri dari para aristokrat guna dibagikan kepada rakyat miskin. Sedangkan sebagai aristokrat Robin of Loxley, ia coba memenangkan hati Sheriff, untuk mengungkap siapa dalang di balik kediktatoran kejam ini.

Tentu alur dalam naskah buatan Ben Chandler dan David James Kelly tipis sekaligus penuh lubang. Salah satunya lagi-lagi melibatkan perjalanan jalur air menuju Nottingham. Bagaimana bisa para Crusaders (termasuk “kawan lama” Robin di medan perang) datang sedemikian cepat guna menjadi kaki tangan Sheriff meski jarak tempuhnya memakan waktu tiga bulan? Tapi lagi-lagi, sungguh buang-buang waktu menyibukkan pikiran dengan pertanyaan tersebut ketika Bathurst sibuk mempersembahkan banyak agresi menghibur.

Gerak lambat, musik bombastis buatan Joseph Trapanese (dwilogi The Raid, The Greatest Showman), ledakan-ledakan, set piece raksasa, hingga agresi tembak-menembak panah super cepat dengan koreografi yang mengingatkan saya akan gun fu milik John Woo, semua merupakan perjuangan modernisasi untuk tuturan medieval yang bagi penonton kini rasanya sudah ketinggalan zaman. Aksi-aksinya takkan menciptakan jantung berdegup keras, namun setidaknnya, bisa menyunggingkan senyum puas.

Robin Hood merupakan film di mana protagonisnya bertarung demi merebut cintanya lagi sembari meruntuhkan pemerintahan korup. Bagaimana saya tidak mendukungnya? Apalagi ketika Taron Egerton enggan berusaha terlalu keras tampak keren (yang acap kali menyulut penampilan kaku seorang aktor), membiarkan gaya asyiknya terhampar lepas. Ketika Ben Mendelsohn melakoni pekerjaan langganannya (baca: memerankan pejabat biadab), Eve Hewson yang juga puteri Bono U2, akan mencuri hati penonton sebagaimana yang ia perbuat pada Robin.

Film ini bukan pelajaran sejarah, bukan pembiasaan legenda yang setia terhadap sumbernya, bukan blockbuster yang berkesempatan unjuk gigi di ajang penghargaan, bukan pula interpretasi bergaya gritty realism layaknya versi Ridley Scott 8 tahun lalu, yang sejatinya jauh lebih ngawur (Robin Hodd tanpa tudung dan panah???). Film ini yaitu hiburan sekali waktu. Cukup terima kenyataan tersebut.

Belum ada Komentar untuk "Robin Hood (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel