The Meg (2018)

Bujet $150 juta, premis perihal serangan Megalodon yang diangkat dari novel Meg: A Novel of Deep Terror buatan Steve Alten, serta kehadiran Jason Statham si “Raja b-movie modern” selaku bintang utama. Modal-modal tersebut tentu memfasilitasi pembuat filmnya untuk berbuat apa saja, tampil segila dan sekonyol mungkin, dengan dasar maritim terdalam sebagai batas. Oh, dan juga kreativitas.  Sebab ketika para ilmuwan film ini bisa menembus apa yang selama ini dianggap lautan paling dalam, orang-orang di balik The Meg gagal memaksimalkan potensi filmnya akhir terjebak kreativitas terbatas.

The Meg terang tidak cukup bagus, tapi juga tidak cukup buruk dan kolot untuk tampil menghibur.  Seperti Deep Blue Sea (1999) yang juga mengemas serbuan hiu lewat sampul film kelas b, akomodasi riset kelautan pun memegang peranan penting pada cerita film ini. Dipimpin Dr. Minway Zhang (Winston Chao) dan puterinya, Suyin (Li Bingbing), serta didanai Jack Morris (Rainn Wilson), diadakanlah penelitian guna menyingkap kehidupan makhluk dasar maritim yang belum ditemukan. Menjadi tragedi tatkala salah satu makhluk itu ialah Megalodon, hiu prasejarah yang diyakini telah punah.

Sampai di sini, sinopsis di atas mungkin menggiring imajinasi liar anda. Saya pun demikian, apalagi ketika satu per satu bahan promosi diluncurkan, yang menjanjikan tontonan yang enggan menganggap dirinya terlampau serius. Tapi sutradara Jon Turteltaub (National Treasure, The Sorcerer’s Apprentice) kolam malu-malu untuk menghadirkan hiburan yang tidak tahu malu. Hingga 45 menit berlalu, sehabis melalui segelintir serangan, The Meg belum juga menampakkan wujud utuhnya. Kita sekedar diperlihatkan kapal yang bergoncang, terlempar, mengalami kerusakan. Turteltaub menyuntikkan terlalu banyak DNA Jaws (1975) ke filmnya.

Tapi The Meg bukan Jaws. Tidak seharusnya dikemas demikian. Tidak ada yang mengharapkan kengerian atau ketegangan berupa teror tak terlihat dalam film soal “Jason Statham vs Megalodon”. Statham sendiri mengerahkan segenap kemampuannya memerankan penyelam asing tanpa rasa takut yang berenang ke arah Megalodon sambil menyenandungkan “Just Keep Swimming”. Statham meyakinkan, dan tiap kali ia beradu satu lawan satu melawan Megalodon, termasuk pada klimaks, The Meg mencapai tingkat hiburan tertingginya.

Andai saja film ini hanya berisi pertarungan keduanya. Namun tidak. The Meg merupakan film 113 menit yang berisi setumpuk peristiwa dan abjad lain yang dibungkus teramat serius sewaktu konsep dasarnya meneriakkan kebodohan yang tak juga dilepaskan. Konon ukuran terbesar Megalodon ialah 18 meter. Menghidupkan lagi Megalodon di periode modern sudah melawan sains, kemudian apa perlunya menuruti fakta keilmuwan soal ukuran? Turteltaub dan tim urung memanfaatkan kebebasan yang didapat, ketika mereka bisa saja berkata, “Ternyata 18 meter hanya ukuran bayi Megalodon”, misal. Tapi saya takkan lebih jauh membahas apa yang tidak ada di filmnya.

Apa yang ada dalam The Meg dan ingin dicapai pembuatnya adalah, “teror serangan hiu raksasa yang kolot nan menyenangkan”. Pengadeganan Turteltaub tak bisa menciptakan Meg menonjol dibanding para kompatriotnya yang lebih dulu memangsa di layar lebar ketika sang sutradara gagal menangkap kesan “masif” setiap sang monster tampak. Belum lagi perihal formasi adegan maut medioker minim imajinasi yang turut tampil malu-malu. Saya tidak tertarik melihat seseorang tewas alasannya ialah kapalnya karam atau meledak. Seseorang ditelan bulat-bulat, bahkan tanpa harus dikunyah dikarenakan ukuran hiu satu ini begitu besar. Itulah yang mestinya dipamerkan. Setumpuk posternya yang kaya kreativitas jauh lebih menyenangkan ketimbang menonton filmnya sendiri. "The Meh" is a more suitable title for this.

Belum ada Komentar untuk "The Meg (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel