Senior (2016)

Harus diakui kejayaan film horror Thailand sudah berlalu. Tidak hanya popularitasnya semakin pudar, kualitas yang dihasilkan pun tak sebaik dulu. Kini perfilman Thailand lebih identik dengan komedi-romantis berpangsa pasar dewasa atau drama-komedi heartwarming konsumsi semua umur. Maka disaat menebarkan kengerian tidak lagi membuat antrian penonton, masih adakah peluang bagi keberhasilan horror Negeri Gajah Putih? Sesungguhnya terdapat jalan tengah untuk diambil, yakni dengan menggabungkannya dengan formula penarik musim terbesar. Tapi romantic comedy dengan overload cuteness nampak tidak mungkin dicampur bersama teror para hantu. Lewat "Senior", sutradara Wisit Sasanatieng berusaha mendobrak kemustahilan tersebut yang sebenarnya tetaplah berpotensi mengecewakan para pencari straight horror.

"Senior" berfokus pada Adhiti atau lebih sering dipanggil Mon (Jannine Weigel), siswi kelas 12 suatu boarding school. Mon dijauhi teman-temannya alasannya yakni dianggap asing akhir sering bicara sendiri. Namun kenyataannya, Mon tengah bicara dengan sesosok hantu. Gadis ini memang punya kemampuan berinteraksi dengan hantu. Meski tidak sanggup melihatnya, Mon bisa mencium aroma/hawa yang terpancar untuk mendeteksi keberadaan mereka, disamping bisa bicara secara langsung. Hantu yang belakangan mengikuti Mon punya panggilan Senior (Pongsakorn Tosuwan). Senior dulunya yakni murid di sekolah tersebut sebelum dipugar menjadi boarding school khusus wanita. Selama 30 tahun sejak kematiannya, Senior berusaha menyelidiki misteri final hidup seorang puteri yang sekarang rumahnya digunakan untuk bangunan sekolah itu. Mengetahui kemampuan Mon, Senior meminta tunjangan sang gadis untuk memecahkan kasus tersebut. 

Alur film memakai pattern kisah investigasi, dimana Mon dan Senior mengunjungi beberapa daerah serta saksi guna mencari fakta akan kasus yang diusut. Naskahnya sendiri tidak cukup besar lengan berkuasa menghantarkan pemeriksaan tersebut menjadi paparan menarik. Sebuah misteri akan menyedot atensi kalau penonton dibentuk ingin tau akan balasan sesungguhnya. "Senior" pribadi menyodorkan misteri tanpa menarik minat saya untuk ikut mencari jawaban. Alhasil ketika kejutan yang kuantitasnya cukup banyak mulai diungkap, pengaruh kejut pun tak terasa. Film ini terlalu berusaha keras memberi twist sebanyak mungkin, yang pada kesannya berujung pada satu referensi monoton. Entah berbentuk ibarat apa, saya tahu akan muncul twist, yang mana mengurangi intensitas. Beberapa fakta mengenai identitas tokoh pun dipaksakan supaya berkaitan, sampai makin melemahkan narasi.
CUTENESS OVERLOAD!!!
Masih membicarakan naskah, "Senior" punya konsep unik berisi "aturan" mengenai apa yang tidak dan bisa dilakukan oleh para hantu, ibarat "bisakah mereka menyentuh orang hidup?" atau "bisakah mereka menembus tembok?". Pendekatan itu unik tapi bagai dua sisi mata pisau. Seharusnya "rule" tersebut berkhasiat menghindarkan film ini dari plot hole. Jika ada pertanyaan "kenapa Senior tidak mengikuti Mon masuk ke suatu tempat?", maka hukum tadi bisa memberi jawaban. Tercipta kebebasan bagi naskahnya melaksanakan apapun, alasannya yakni kalau ada ganjalan, cukup beralasan bahwa itu bab dari aturan. Tapi bahkan dengan kebebasan itu alurnya tetap meninggalkan banyak lubang disaat beberapa kali film ini melanggar hukum yang dibentuk sendiri. Ironis ketika penciptaan hukum pula yang kesannya membuat lubang, alasannya yakni bila muncul "ketidakwajaran", naskahnya tak bisa berkilah dengan statement "hantu bisa melaksanakan apapun".

Untungnya kelemahan naskah bisa ditutupi beberapa faktor. Paling fundamental -khususnya bagi penonton pria- berasal dari Jannine Weigel. Akting Jannine biasa saja, bahkan untuk beberapa scene terlalu datar cenderung menggelikan. But hey, isn't she the cutest thing? Wisit Sasanatieng paham betul pesona paras aktrisnya, maka ia sering menempatkan kamera secara close-up, sambil mengarahkan Jannine untuk bertingkah se-menggemaskan mungkin meski hanya lewat hal kecil ibarat menjulurkan pengecap atau sekedar diam. Saya dibentuk tidak peduli pada inkonsistensi huruf Mon yang digambarkan pemurung tapi beberapa kali bertingkah cheerful. Inilah cuteness factor yang dimiliki "Senior" biar lebih komersil. Berhasil? Untuk para penonton laki-laki sudah pasti. Untuk perempuan saya tidak bisa berkomentar perihal "seberapa ganteng Pongsakorn Tosuwan?". Bukan porsi saya.
Hubungan antara Mon dan Senior punya potensi memberi romansa hangat, sayangnya ambisi dalam narasinya menghambat itu. Tidak hanya misteri pembunuhan dan cinta dua dunia, "Senior" masih dibumbui konflik persahabatan serta bullying di sekolah. Ketiga poin plot itu saling mengisi secara bergantian tapi tidak ada satupun yang berakhir maksimal. Masing-masing hanya dipaparkan seadanya, tanpa pendalaman berarti guna menjalin ikatan emosional dengan penonton. Padahal kalau dimaksimalkan, baik persahabatan atau percintaannya bukan saja berpotensi memberi kehangatan termasuk berkat selipan komedi menggelitik, tapi juga emosional khususnya meihat konklusi masing-masing. Meski tidak mendalam, setidaknya saya masih dibentuk tersenyum menyaksikan interaksi antar-karakter.

Kelebihan terbesar "Senior" (selain kecantikan Jannine) terletak pada visi pengadeganan Wisit Sasanatieng dalam mengemas gambar-gambar memikat yang turut diperkuat sentuhan musik ala choir Gereja. Keindahan audio-visual tersebut menyebabkan pengalaman menonton film ini layaknya melihat suatu mimpi sureal penuh romantika yang mengalun dalam gerak lambat indah. Belum lagi ditambah beberapa voice over dari huruf Mon. Kalimat-kalimatnya puitis, tapi tidak berlebihan dan punya porsi secukupnya. Andai dihadirkan dalam bentuk novel, rasanya "Senior" akan menjadi bacaan indah. Beberapa sequence animasi yang diselipkan turut menambah daya tarik visualnya.

Lalu bagaimana dengan horror-nya? Diluar dugaan porsinya tidak banyak, tidak pula terlalu mengerikan. Hanya saja (lagi-lagi) insting visual Wisit Sasanatieng menyebabkan momen penampakannya tidak hambar. Desain para hantu tidak selalu mengerikan, tapi cenderung aneh. Keanehan itu justru jadi kelebihan, alasannya yakni sesudah terbiasa dengan hantu perempuan berambut panjang yang kerap menghiasi Thai-horror, "hantu popcorn" dan sosok ibarat Rokurokubi (hantu dari Jepang) terperinci memberi warna baru. Apalagi keduanya muncul dalam adegan yang menjadi highlight bagi sisi horror filmnya. Satu-satunya momen berisi kengerian menegangkan yang memikat berkat kreatifitas sutradara. Akhirnya, asal anda tidak mengharapkan menu murni horror, "Senior" yakni hiburan menyenangkan, meski akan terlupakan tak usang sesudah filmnya usai.....kecuali wajah Jannine Weigel.

Belum ada Komentar untuk "Senior (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel