3 Srikandi (2016)

Sering saya mempermasalahkan kegemaran film negeri ini mengeksploitasi guratan drama penceritaan. Saya tahu beberapa pihak gerah akan cap "dramatisasi berlebihan" tapi kenyataannya itu memang jadi penyakit memuakkan yang membodohi penonton lewat tipu muslihat air mata ketimbang fokus sepenuhnya membangun penuturan solid. Kemudian hadir "3 Srikandi" selaku debut penyutradaraan Iman Brotoseno melalui naskah hasil karyanya bersama Swastika Nohara ("Cahaya dari Timur: Beta Maluku", "Hari ini Pasti Menang") yang berdiri sejajar dengan "Surat dari Praha" dan "Ada Apa dengan Cinta 2" dalam hal elegansi bernarasi, enggan mengkerdilkan otak penonton.

Tiga sosok Srikandi sebagaimana tercantum pada judul yaitu Nurfitriyana (Bunga Citra Lestari), Lilies Handayani (Chelsea Islan) dan Kusuma Wardhani (Tara Basro), atlet panahan yang sukses mempersembahkan medali pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade. Film ini menuturkan persiapan ketiganya berlatih di bawah gemblengan Donald Pandiangan (Reza Rahadian) sang "Robin Hood Indonesia" guna menghadapi Olimpiade tahun 1988 di Seoul, Korea Selatan. Bukan hanya latihan keras, ketiga Srikandi  plus Donald  mesti pula menghadapi bermacam problema personal masing-masing.

Di samping proses latihan Olimpiade, "3 Srikandi" memang dijejali eksposisi kisah tiap individu. Nurfitriyana menghadapi tekanan sang ayah untuk menuntaskan skripsi dan meninggalkan panahan, serupa Kusuma Wardhani yang oleh ayahnya dibutuhkan bekerja sebagai PNS. Lilies kerap berselisih dengan sang ibu akhir penolakannya untuk dijodohkan sementara ia sendiri tengah menjalin korelasi dengan Denny (Mario Irwinsyah), seorang atlet pencak silat. Sedangkan Donald sesudah bertahun-tahun menghilang masih menyimpan amarah hasil politisasi olahraga yang menjadikan ia gagal berangkat mewakili Indonesia di cabang panahan Olimpiade Moskow, 1980.
Durasi 122 menit terperinci cukup panjang, pun demikian masih kurang cukup merangkum setumpuk penceritaan di atas. Bagai tak ingin membuang waktu, film eksklusif memacu cepat konflik sedari awal. Terlalu cepat bahkan, membuat permasalahan pacing. Seperti tiga Srikandi yang harus berlatih sekejap usai bangkit di pagi hari, penonton eksklusif dihadapkan pada poin utama kisah tanpa diberi waktu membiasakan diri. Iman Brotoseno nampak kewalahan membangun dinamika. Tidak saja di pembuka, thrid act berakhir sunyi, datar, nihil semangat usaha membara, nasionalisme, atau ketegangan yang senantiasa mengiringi tatkala menyaksikan atlet bangsa berjuang di suatu turnamen  momen teriakan "Indonesia!" gagal memancing emosi. Keengganan mendramatisir berlebih mungkin yaitu pangkal permasalahan, tapi turut merupakan kelebihan babak pertengahannya.

Di paruh itu kercermatan bernarasi serta visi pengadeganan Iman Brotoseno berpadu tepat dengan naskah solid yang bisa membagi rata eksplorasi setiap sisi plot. Mungkin banyak sekali konflik keluarga, cinta, hingga idealisme tak menghadirkan impact signifikan dalam tataran rasa, namun cukup memberi pemahaman akan masing-masing karakter. Naskahnya memudahkan saya memahami motivasi mereka, pula mencirikan satu sama lain. Ditambah lagi, saya betah berlama-lama menghabiskan waktu bersama tokoh-tokohnya berkat struktur narasi rapih juga keseimbangan konflik dramatis dan nuansa cheerful  selipan musikal berlatar lagu "Ratu Sejagad" sukses memancing senyum alih-alih cringe-worthy. Kalau mau, Iman Brotoseno punya banyak kesempatan menguras air mata penonton, tapi itu tak ia lakukan. Kembali, dramatic parts dimanfaatkan untuk menguatkan karakter, bukan memanipulasi emosi penonton.
Divisi akting "3 Srikandi" tak diragukan lagi punya kualitas juara. Para cast kuat secara individu, sekaligus saling melengkapi ketika bersama, memunculkan interaksi dinamis menyenangkan. Bunga Citra Lestari tetap solid, Tara Basro  serupa di "A Copy of My Mind"  kuat sebagai gadis kampung polos yang bisa nampak lembut tapi bertekad baja. Sebagai Donald Pandiangan, Reza Rahadian hadirkan ketegasan seorang instruktur tanpa harus berusaha terlalu keras menjadi galak. Selalu memuaskan mengamati akting Reza yang konsisten menyertakan detail kecil ekspresi atau gerak badan selaku pendukung konteks sebuah situasi. Tujuan pun tersampaikan tanpa harus melalui penghantaran  verbal dan non-verbal  besar.

Tapi kejutan yaitu ketika penampil terbaik layak disematkan pada Chelsea Islan. There's no doubt that she's such a talented actress, sayang antusiasme (baca: overacting) di penampilan-penampilan sebelumnya kerap mengganggu. Di sini Chelsea masih mempertahankan gaya serupa, hanya saja tepat guna, sesuai dengan tokoh Lies yang sering diposisikan sebagai comic relief. She was enthusiastic, energetic, lovable and funny in almost every scene. Jelas merupakan akting terbaik sepanjang karirnya. 

"3 Srikandi" yaitu well-made movie. Production value mumpuni menghasilkan gugusan gambar menawan hasil sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful  landscape pemandangan, slow motion di bawah guyuran hujan  sekaligus tata artistik nuansa 80-an pemikat mata. Secara khusus saya menyukai tata kostum dari Retno Damayanti bagi ketiga Srikandi. Sederhana namun efektif membangun setting waktu. Secara tampilan, "3 Srikandi" mengesankan, tapi lebih penting yakni perhatian teruntuk penceritaan solid daripada eksploitasi kisah inspiratif nan dramatis. Berkat cast-nya, dinamika dimiliki oleh narasi, bukan semata-mata reka ulang sejarah. It should be more thrilling, but "3 Srikandi" is an amazing entertainment.

Belum ada Komentar untuk "3 Srikandi (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel