Bumblebee (2018)

Tidak ibarat banyak so-called cinephile, saya cukup menikmati seri Transformers, tepatnya film pertama, ketiga, dan kelima. Walau begitu, pasca The Last Knight hanya memperoleh $605 juta (terendah di antara semua film), saya sepakat bahwa franchise ini butuh arah baru. Di bawah isyarat Travis Knight (Kubo and the Two Strings) sang CEO studio animasi Laika, Bumblebee, yang bertindak selaku prekuel, terbukti menghembuskan angin segar (dan hati). Siapa sangka film Transformers bisa tampil hangat bagai pertemuan The Iron Giant dengan Herbie?

Bumblebee dibuka oleh pertarungan di Cybertron, dikala Autobot dipukul mundur sesudah perlawanan mereka dipatahkan Decepticon. Masih menampilkan baku hantam antar robot yang berubah bentuk, tapi keriuhan penuh ledakan dan robot metalik berkarat (baca: Bayhem Signature) digantikan pertarungan rapi serta tampilan jernih yang lebih bersahabat ke gaya animasi. Warnanya lebih mencolok, aksinya lebih gampang dilihat, dengan kadar kehancuran dan kebrutalan yang ditekan. Tapi bukan itu saja modifikasi yang Knight bawa.

Atas perintah Optimus Prime (Peter Cullen), Bumblebee (Dylan O’Brien) terbang ke Bumi guna menyiapkan markas gres bagi Autobot sebelum melancarkan serangan balik. Di Bumi, Bee bertemu Charlie (Hailee Steinfeld), gadis cukup umur tomboi yang tak mempedulikan abuh di dahi dan gemar mendengarkan musisi-musisi ibarat A-ha, Rick Astley, hingga The Smiths (filmnya berlatar tahun 80-an). Sikap Charlie yang semaunya (dan keluwesan Steinfeld melakoninya) menciptakan saya terpikat semenjak pandangan pertama. Akhirnya ada aksara insan menyenangkan di film Transformers.

Charlie tampak ceria di luar, namun tidak demikian di dalam. Pasca kematian ayahnya, ia kesulitan beradaptasi. Rutinitas memperbaiki kendaraan beroda empat yang dahulu jadi hobinya bersama sang ayah tak lagi bisa diselesaikan, loncat indah berhenti ia lakukan, pun Charlie kesal melihat sang ibu (Pamela Adlon) telah senang bersama suami barunya, Ron (Stephen Schneider). Tanpa ayahnya, bukan saja kendaraan beroda empat yang tak bisa Charlie perbaiki, juga lubang dalam hatinya.

Permasalahan tersebut jadi pijakan naskah karya Christina Hodson (Shut In, Unforgettable) membangun dasar korelasi manusia-mesin. Volkswagen Beetle yang Charlie bawa dari sentra rongsokan ternyata yaitu Bee yang kehilangan memori serta suaranya akhir pertarungan terakhir. Charlie tentu terkejut, tapi menariknya (akibat kerusakan memori), Bee lah yang lebih merasa takut.

Knight menciptakan Bee tampak ibarat anjing kecil lucu yang ketakutan lewat gestur dan mata, bahkan dikala ia sedang berdiri jauh di belakang fokus kamera. Bee dalam film ini terasa lebih hidup, lebih bernyawa ketimbang robot lain (termasuk dirinya sendiri) di film-film Transformers sebelumnya. Itulah alasan persahabatan Charlie-Bee bermakna. Keduanya mempunyai hati, dan seiring berjalannya waktu, saling membantu menyembuhkan satu sama lain.

Charlie memperbaiki kerusakan Bee, termasuk memberinya bunyi gres lewat frekuensi radio, pula nantinya berani melawan sepasukan tentara demi menyelamatkan sahabat barunya itu. Sementara Bee membantu Charlie mengalahkan sakit hati untuk kembali menjadi diri lamanya. Bumblebee bukan sekadar dongeng seorang cukup umur yang berubah “keren” lantaran menemukan robot-mobil dan berhasil menggaet perhatian gadis terkenal (Go to hell, Sam!). Faktanya, love interest Charlie justru seorang kutu buku canggung berjulukan Memo (Jorge Lendeborg Jr.).

Keseluruhan alurnya dibagi dua: 1) Eksplorasi kisah pertemanan, dan 2) Plot khas Transformers mengenai menyelamatkan dunia. Jenis alur kedua merupakan aspek terlemah film ini. Hodson bagai terjebak kewajiban, kurang tertarik mengolahnya, sehingga menghasilkan paparan medioker, gampang ditebak, dan datar, khususnya dikala para militer udik kembali terlibat. Bahkan John Cena sebagai Jack Burns tak sanggup menyelamatkan mereka.

Tidak perlu khawatir, lantaran elemen itu cuma menyita sedikit waktu. Bumblebee lebih sering bertahan di skala kecil, mempresentasikan perjalanan menyenangkan yang mencakup perjuangan Charlie mengajari Bee bersembunyi atau membalas dendam pada seorang gadis “jahat”. Benar bahwa naskahnya tidak menyuntikkan hal baru, tapi tujuannya jelas, sederhana, dan terpenting, berhasil dicapai. Bumblebee ingin penontonnya menyukai kedua protagonis, dan itulah yang terjadi.

Daya tarik diciptakan melalui hal kecil alih-alih dongeng besar yang terlampau rumit, sampai-sampai filmnya tersesat sendiri. Ambil referensi sewaktu Bee ingin tau dengan benda-benda di sekelilingnya, yang membua saya pun ingin tau menanti kelucuan apa yang bakal ia lakukan berikutnya. Dan untuk pertama kali, saya tertawa lepas menyaksikan humor milik seri Transformers berkat kecanggungan serta keluguan sang robot tituler berwarna kuning.

Knight mengganti suasana “akhir dunia” kesukaan Bay (yang harus diakui efektif membangun intensitas aksi) dengan sense of wonder ala Steven Spielberg lewat musik gubahan Dario Marianelli (Pride & Prejudice, Kubo and the Two Strings, Darkest Hour). Biarpun Knight belum menyempurnakan sentuhan Spielbergian miliknya (kemampuan menguras air mata penonton lewat drama), Bumblebee tetap menu hangat yang mengingatkan akan karya-karya klasik Spielberg. Akhirnya ada film Transfomers yang tidak menciptakan saya berharap aksara manusianya tewas, atau lebih baik lagi, hilang dari eksistensi.

Belum ada Komentar untuk "Bumblebee (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel