Tujuh Bidadari (2018)

Film buruk kadang sanggup tampil menyenangkan, entah sebagai guilty pleasure atau tontonan so-bad-it’s-good. Lain dongeng dengan film membosankan, yang takkan menarik ditonton—untuk kemudian dievaluasi—ulang. Tapi itu masih belum ada apa-apanya dibandingkan film buruk sekaligus membosankan. Tujuh Bidadari yaitu salah satunya, dan membuat saya bertanya-tanya, “Ada apa dengan Muhammad Yusuf?”.

Sejak 2013 hingga 2015, Yusuf rutin meluncurkan horor tiap tahun, yang seluruhnya, meski jauh dari sempurna, punya kualitas memuaskan. Kemasukan Setan (2013), Angker (2014), dan Misterius (2015) mengambarkan kapasitasnya memanfaatkan kesederhanaan guna membuat teror. Bukan tumpukan jump scare, melainkan kengerian hakiki. Lalu The Curse (2017) mengubah segalanya, dan sekarang Yusuf resmi melahirkan dua horor buruk yang membosankan secara beruntun (belum termasuk drama-romantis Bluebell yang tayang April lalu).

Saya sudah menerima firasat buruk kala filmnya dibuka oleh title card berupa keterangan bahwa Tujuh Bidadari melaksanakan pengambilan gambar eksklusif di Aradale Lunatic Asylum yang terletak di Ararat, Australia. Seolah kualitas sebuah film otomatis bertambah jikalau dibentuk di lokasi aslinya. Judulnya sendiri merujuk pada nama grup band daerah ketujuh tokoh utama film ini tergabung (bukan, bukan 7 Icons), yang sedang melangsungkan proses pembuatan video klip di Australia. Sebuah tantangan besar bagi naskahnya untuk membuat penonton ingat, apalagi peduli terhadap huruf sebanyak itu.

Bagaimana cara filmnya menyiasati itu? Tujuh Bidadari meminta tiap karater menyebut nama beserta posisi mereka di grup band satu per satu, dan itu dilakukan dua kali (wawancara dan rekaman vlog), alih-alih memberi mereka penokohan solid. Anehnya, bukan itu saja hal yang diulangi secara tidak perlu. Di Australia, Tujuh Bidadari (selanjutnya disebut “7B”) bertemu penyanyi lokal berjulukan Mark (William D McLennan), yang mengajak mereka mengunjungi Aradale. Mark menyebut bahwa 10 ribu orang tewas di sana. 7B pun terkejut. Keesokan hari, dalam perjalanan menuju Aradale, Mark menyampaikan hal serupa, dan 7B kembali terkejut.

Masih ada contoh-contoh lain, menyerupai dongeng Mark bahwa sang kakek dahulu merupakan karyawan Aradale. Saya tak tahu apa yang terjadi di belakang layar. Tapi saya berasumsi, ini akhir kurangnya koordinasi dan/atau pemahaman menyeluruh dalam proses menulis dan/atau menulis ulang, yang dilakukan keempat penulis naskahnya: Muhammad Yusuf, Konfir Kabo (produser direktur The Curse), King Javed (Angker), Resika Tikoalu (produser The Curse juga Tujuh Bidadari). Entahlah.

Setelah berkeliling sejenak di rumah sakit, Mark meninggalkan 7B di sebuah ruangan dengan alasan mengambil minum. Tapi, sebab bermacam-macam alasan, masing-masing anggota 7B mulai meninggalkan ruangan, dan alhasil tewas satu demi satu. Tersimpan pandangan gres menarik di sini, berupa penggabungan slasher yang menekankan atmosfer ketimbang gore, dengan horor supranatural. Masalahnya, tempo lambat yang diterapkan Yusuf nihil intensitas maupun kengerian. Sebagaimana The Curse, sang sutradara hanya melambatkan penuturan, dan itu berbeda dengan membangun atmosfer, yang mana perlu memperhatikan camerawork, mise-en-scène, musik, dan lain-lain.

Pun kita tahu jikalau sosok yang menghabisi 7B tidaklah menyeramkan, dan sekalinya sosok itu melancarkan serangan, aksinya terjadi off-screen, di mana kita leih sering cuma melihat cipratan darah atau mendengar dampak bunyi tusukan. Artinya, baik penantian atau payoff-nya tak memberi apa pun kecuali rasa bosan. Sulit pula mempedulikan ketujuh gadis itu tatkala para aktris urung memberi performa meyakinkan, antara kurang bernyawa, atau sebaliknya, cringey dan berlebihan. Hanya Dara Warganegara sebagai Stella yang menarik disimak, itu pun sebab ia kebagian porsi kesurupan.

Sesekali, Tujuh Bidadari bersedia menawarkan sadisme cukup eksplisit, yang sanggup sedikit memudarkan kebosanan, walau lubang-lubang aspek teknis sanggup ditemukan di sana-sini. Misalnya satu mayit yang tewas dipenggal, namun kita masih sanggup melihat terang leher dan kepala yang terpasang utuh di tubuh. Tapi saya tidak mengkritisi kurang beraninya Tujuh Bidadari mengumbar kebrutalan. Itu pilihan yang Yusuf beserta timnya ambil, dan sayangnya, pilihan itu gagal dimaksimalkan.

Masalah lain dipicu begitu berantakannya naskah dalam menangani elemen supranatural. Mengapa harus 7B yang diincar? Mengapa Stella sangat menyerupai Shu Yin si penyihir? Mengapa Shu Yin memerlukan dukungan insan biasa jikalau ia sendiri sanggup dengan praktis menghabisi nyawa korban memakai ilmu gaibnya? Ketika rangkaian pertanyaan masih berseliweran, Tujuh Bidadari mendadak berakhir sehabis memaksakan diri memberikan latar belakang soal bencana 100 tahun lalu. Seolah para penulis kebingungan memilih kapan, di mana, dan bagaimana mereka mesti menempatkan eksposisi tersebut, kemudian tetapkan menaruhnya sembarang tempat. Setidaknya saya suka riasan sederhana untuk hantu Shu Yin yang didominasi warna putih dengan sedikit corak merah di wajah.

Belum ada Komentar untuk "Tujuh Bidadari (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel