Abominable (2019)
“Kan beliau punya kekuatan. Kenapa nggak dipake?”. Saya yakin protes semacam itu sering anda dengar (bahkan mungkin lontarkan sendiri) ketika menonton film dengan huruf pemilik kekuatan super, yang demi memfasilitasi progres cerita, tidak dipakai secara maksimal. Abominable, film yang telah dikembangkan semenjak 2010, berani mengambil risiko menciptakan rintangan yang karakternya hadapi terlalu gampang dilalui, demi melahirkan salah satu tontonan paling absurd produksi DreamWorks dalam beberapa tahun terakhir.
Sang pemilik yakni seekor yeti muda (Rupert Gregson-Williams), yang kabur dari akomodasi milik Dr. Zara (Sarah Paulson), sebelum sempat dipamerkan ke publik atas ajakan Burnish (Eddie Izzard), mantan penjelajah yang dicemooh akhir meyakini eksistensi yeti. Makhluk tersebut bersembunyi di atap apartemen Yi (Chloe Bennet), gadis remaja yang menjauh dari keluarganya selepas maut sang ayah.
Persahabatan unik pun terjalin di antara mereka. Yeti itu diberi nama Everest oleh Yi, mengacu pada gunung tertinggi di dunia tempatnya tinggal. Dibantu dua tetangganya, Peng (Albert Tsai) dan Jin (Tenzing Norgay Trainor) si laki-laki populer, tanpa memedulikan ancaman dari Burnish dan pasukannya, Yi nekat membantu Everest pulang dalam sebuah perjalanan yang turut mengantarkan Yi mencari makna di balik kata “pulang”.
Ditulis sendiri oleh sang sutradara, Jill Culton (sutradara perempuan pertama pembuat animasi komputer berbujet besar lewat Open Season), di permukaan, lebih banyak didominasi alur Abominable terasa generik, mengikuti contoh petualangan ringan kegemaran penonton anak, dengan huruf yeti berbulu menggemaskan dengan tingkah serupa sasaran pasar utamanya. Tapi jika dicermati, menyerupai telah disinggung di atas, Culton berani memanfaatkan kemampuan absurd yang Everest miliki, yakni mengontrol alam.
Kelaparan di tengah hutan? Everet bisa menumbuhkan buah berry. Terjebak di pinggir jurang? Jangan khawatir, Everest akan menyulap sebatang dandelion jadi berukuran raksasa sebagai alat bantu terbang. Kapalmu akan meluncur keluar dari air? Perkara gampang bagi Everest mengubah padang bunga layaknya gulungan ombak. Hampir seluruh persoalan sanggup diselesaikan dengan kekuatannya, kemudian apa perlunya bahaya?
Pertama, Culton paham betul beliau sedang mengerjakan film anak. Apa yang ditampilkan Abominable sudah cukup intens bagi mereka (bocah di samping aku berkali-kali menghela napas begitu adegan kejar-kejaran berakhir). Kedua, bagi penonton dewasa, kesan “simplifikasi” tadi dibayar lunas dengan mengakibatkan festival kekuatan Everest sumber keindahan. Menyaksikan Yi dan kawan-kawan berlayar menembus ombak bunga yakni pengalaman yang menggetarkan hati. Pemandangan magis, bukti kekayaan imajinasi Culton serta Robert Edward Crawford sang sinematografer.
Bisa ditebak, Abominable pun menyimpan subteks tentang kekerabatan dengan alam. Kekuatan Everest menyimbolkan proses “menyatu dengan alam”. Dia tidak berusaha mempunyai alam, berkebalikan dengan Burnish, yang diperlihatkan oleh sebuah momen satir menggelitik, sewaktu laki-laki renta ini jatuh cinta pada bunga-bunga di suatu pohon, kemudian memerintahkan anak buahnya menebang pohon itu agar bisa dipajang di kediamannya.
Tapi kehebatan naskah sekaligus penyutradaraan Culton bekerjsama terletak pada keberhasilan mengaduk-aduk emosi. Tema keluarga tentu paling utama, namun penyampaiannya elegan, subtil tanpa terlalu menekan luapan rasa, dan tersaji melalui bermacam-macam cara. Bisa lewat pemilihan lagu (Fix You jadi yang terbaik) didukung visual cantik, atau bahkan sekadar gambar sederhana tanpa tuturan ekspresi (clue: foto). Guratan emosi juga muncul dari sumber tidak terduga ketika salah satu huruf mengalami perubahan sikap, menegaskan posisi Abominable sebagai kisah mengenai kepulangan. Pulang ke rumah, pulang menemui keluarga, pulang kembali menuju kemanusiaan. Lights will guide you home...
Belum ada Komentar untuk "Abominable (2019)"
Posting Komentar