Belok Kanan Barcelona (2018)

(Review ini mengandung SPOILER)
Belum ada film yang bisa membawa saya dalam hubungan cinta/benci ibarat Belok Kanan Barcelona. Saya mengasihi caranya menuturkan betapa cinta sanggup mendorong seseorang berkorban meski harus menembus batas jarak dan waktu. Saya mengasihi caranya mendefinisikan “cinta sejati” sebagai seseorang yang selalu ada di samping pujaan hatinya tanpa memaksa balik dicintai. Saya pun mengasihi masing-masing abjad utamanya. Namun saya membenci ketika narasinya mulai terjun ke belahan agama bahkan terkesan offensive di beberapa titik.

Mengadaptasi novel Traveler’s Tale: Belok Kanan Barcelona karya Adhitya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya, dan Iman Hidayat, filmnya mengisahkan persahabatan Francis (Morgan Oey), Retno (Mikha Tambayong), Yusuf (Deva Mahenra), dan Farah (Anggika Bolsterli) yang sekarang tinggal terpisah di empat negara berbeda. Francis ialah pianis pemenang Grammy pertama asal Indonesia yang sekarang menetap di Los Angeles, Retno mengejar impiannya menjadi chef di Copenhagen, Yusuf mulai mendulang sukses di perusahaan di Cape Town, sedangkan Farah bekerja sebagai arsitek di Vietnam. Undangan ijab kabul Francis dengan Inez (Millane Fernandez) di Barcelona memberi mereka alasan untuk bertemu lagi, walau satu sama lain tak mengetahui intensi tersebut.

Semua bermula dari masa SMA, tatkala persahabatan keempatnya mulai bersemi, demikian pula cinta. Francis menyukai Retno pun sebaliknya, Farah yang jadi kawasan curhat Retno juga tertarik pada Francis, sementara Yusuf, si “penyedia bahu” bagi kesedihan Farah, turut rahasia memendam rasa kepadanya. Apabila banyak film kita memposisikan kelulusan Sekolah Menengan Atas selaku pembuka, Belok Kanan Barcelona menempatkannya di tengah, sesudah terlebih dulu membawa penonton mengarungi flashback yang menyoroti dinamika empat tokoh utama semasa SMA, memantapkan pondasi abjad beserta persahabatan mereka. Naskah yang disusun Adhitya Mulya (Jomblo, Shy Shy Cat) apik dalam mempresentasikan manis sekaligus pahitnya mengasihi mitra sendiri, ketika pengungkapan perasaan kolam haram hukumnya demi menjaga kelanggengan pertemanan.

Departemen akting merupakan elemen terkuat filmnya. Morgan kharismatik ibarat biasa sehingga gampang mendapatkan ketika Francis disukai dua gadis bagus walau detail penokohannya tak seberapa digali (baca: ia terkenal lantaran ganteng dan keren). Mikha mencurahkan emosi yang cukup meyakinkan untuk menjadkan ini performa terbaik sepanjang karirnya, tatkala Deva alhasil memperoleh bahan yang pas guna memfasilitasi bakat komediknya. Tapi magnet terbesar berasal dari Anggika melalui formasi verbal gila dan ketiadaan urat aib dalam berlagak konyol termasuk merangkak di aspal, Farah merupakan tugas yang bakal membuka lapang jalannya meraih status bintang kelas satu.

Sampai sini, Belok Kanan Barcelona bisa jadi salah satu film Indonesia terbaik 2018. Tontonan yang konsisten memberi tawa dalam pengalaman menonton menyenangkan. Penyutradaraan Guntur Soeharjanto (99 Cahaya di Langit Eropa, Ayat-Ayat Cinta 2) pun cukup efektif membuat adegan emosional ketika melukiskan momen “crack-and-heal” suatu persahabatan.  Berbeda dibanding caranya menangani 2 film 99 Cahaya di Langit Eropa, latar luar negeri urung dieksploitasi sebagai lokasi basuh mata belaka, melainkan panggung pembuktian bahwa kekuatan cinta bisa mendorong seseorang melintasi dunia.

Mengesankan, sampai elemen religi menggedor masuk, yang awalnya dipicu perbedaan dogma Francis dan Retno. Saya suka sebaris kalimat ucapan ayah Retno (Cok Simbara) yang kurang lebih berbunyi, “Apa kau tega membuat Francis harus menentukan antara kau (Retno) atau Tuhannya?”. Itu cara lembut untuk berkata “Jangan memacari orang berbeda agama”. Saya tak menyalahkan perspektif tersebut, lantaran kenyataannya, hal itu sulit dijalani di Indonesia. (Spoiler starts hereSaya pun tak mempermasalahkan konklusi sewaktu Francis alhasil memeluk Islam. Apa pun alasannya (sebatas untuk menikah atau memang dogma personal), itu cara paling kondusif semoga bisa menghabiskan hidup bersama.

Masalah mencuat ketika Belok Kanan Barcelona melukiskan orang Islam sebagai pemeluk agama luar biasa taat yang enggan berpindah dogma demi ijab kabul dan bersedia solat di tengah padang pasir, tetapi sebaliknya, Pastor dan Suster di tengah situasi mengancam kala mesin pesawat yang ditumpang meledak, malah bertingkah konyol, saling menyatakan cinta, merengek alih-alih memanjatkan doa, sesudah sepanjang perjalanan diperlihatkan sebagai orang-orang menyebalkan yang tak mempedulikan sekitarnya. Apabila cuma memunculkan salah satu (Muslim luar biasa taat atau mengolok-olok Pastor sebagai bahan komedi), tidak jadi masalah. Namun ketika dihadirkan bersamaan, secara otomatis tercipta komparasi jomplang yang begitu mengganggu. Sengaja atau tidak, hal itu menandakan ketidakpekaan para pembuatnya.

Belum ada Komentar untuk "Belok Kanan Barcelona (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel