The House With A Clock In Its Walls (2018)

Dalam salah satu perubahan jalur karir paling ekstrim semenjak George Miller membuat Babe: Pig in the City (1998) dan Happy Feet (2006), Eli Roth (Cabin Fever, Hostel, Death Wish) beralih sejenak (?) dari kegemarannya mandi darah menuju pembiasaan novel The House with a Clock in Its Walls, buku pertama dari 12 seri Lewis Barnavelt buatan John Bellairs (diteruskan Brad Strickland semenjak buku ketujuh sesudah Bellairs meninggal). Seperti banyak produksi klasik Amblin Entertainment, film ini akrab bagi penonton anak. Jika biasanya Roth menusuk dan merobek hati, kali ini ia coba menghangatkannya, meski kesannya sang sutradara total bergantung pada jajaran pemain untuk mencapai itu.

Kasus lain perihal perubahan karir absurd yaitu ketika Sam Raimi membuat trilogi Spider-Man. Raimi berhasil lantaran sutradara horor yang baik selalu mempunyai sensitivitas dalam membuat intensitas, yang mana penting bagi “film popcorn”. Itu sebabnya saya menaruh kepercayaan terhadap Aquaman garapan James Wan.  Berbeda dengan para kompatriotnya, Roth lebih banyak mengandalkan parade kekerasan brutal nan vulgar ketimbang memainkan tensi, yang berujung membuat kelemahan terbesar The House with a Clock in Its Walls.

Filmnya menghabiskan dominan durasi untuk: 1) Memperkenalkan Lewis Barnavelt (Owen Vaccaro), si bocah tertutup yang dianggap absurd oleh teman sebayanya, kepada dunia sihir ketika sang paman, Jonathan (Jack Black), menampung Lewis pasca kedua orang tuanya meninggal; dan 2) Menyoroti proses Lewis berguru menjadi warlock alias penyihir sebagaimana Jonathan. Tentu skenario buatan Eric Kripke (Boogeyman) kental aroma “underdog story”, lengkap dengan pesan soal “Kamu mempunyai kelebihan walau dipandang sebelah mata”.

Apabila anda perhatikan, dua poin di atas tak mengandung elemen pertempuran kebaikan melawan kejahatan menyerupai jamaknya film anak-anak. Elemen serupa tetap ada, namun tiba begitu kisahnya melewati separuh jalan. Sebelum hingga di sana, Roth sanggup membawa kita mengarungi perjalanan menghibur. Visualnya, yang melibatkan beling patri yang rutin berubah gambar, perabotan yang sanggup bergerak, serta singa dari rumput yang menolak buang air di kolam pasir, terlihat menarik  dalam balutan sinematografi Rogier Stoffers (School of Rock, The Vow, Death Wish). Deretan ilham imajinatif tersebut memang didasari materi aslinya, tetapi visi kreatif Roth berjasa menghidupkannya.

Mengikuti formula “underdog story”, tentu montage berisi perjuangan Lewis melatih ilmu sihirnya bisa kita temui. Montage yang berjalan singkat namun memikat lewat humor yang tampil besar lengan berkuasa berkat keberadaan Jack Black selaku salah satu keputusan casting yang tepat. Black tepat menangani tugas di dunia fantasi absurd menyerupai ini. Vaccaro si bintang film cilik pun tampil apik, khususnya ketika diminta menangis tanpa perlu terlihat menyebalkan. Tapi bintang terbesar film ini terang Cate Blanchett sebagai Florence Zimmerman, penyihir perempuan tetangga Jonathan dengan obsesi terhadap warna ungu. Pakaiannya berwarna ungu, bahkan ia berusaha mengubah ularnya menjadi ungu.

Blanchett mengajarkan bagaimana cara berakting di tontonan family-friendly. Dia bersenang-senang di adegan-adegan ringan, entah ketika bertukar usikan dengan Black atau ketika secara elegan tetapi playful, terlibat di tengah-tengah aksi. Pun The House with a Clock in Its Wall tak ubahnya film keluarga lain yang mempunyai pecahan dramatis, dan sewaktu momen itu tiba, cukup melalui satu monolog pendek, Blanchett berhasil mencengkeram perasaan. Anda akan tahu adegan yang mana ketika menontonnya. Dengarkan getaran suaranya, perhatikan tatapan matanya, pula keraguan kala melangkah, yang menyerupai halnya seseorang ketika dikuasai emosi, tak tahu mesti berbuat apa.

Tanpa kebolehan akting pemainnya, film ini akan menjadi perjalanan yang lezat dilihat namun nihil kepekaan akan intensitas. Narasinya terasa draggy, juga nyaris tanpa sentakan, alasannya yaitu sekali lagi, Roth bukan ahlinya membuat ketegangan bahkan ketika menggarap horor. Tanpa gore ia kehilangan banyak taring, walau untungnya tidak hingga jadi macan ompong. Roth memanfaatkan kesintingannya demi menghasilkan teror. Dia terbiasa mendobrak batas. Itulah mengapa imajinasinya bergerak liar tatkala menangani hiburan visual, dan rasanya nyaris tak ada sutradara yang bernyali memperlihatkan sosok iblis dalam tampilan se-disturbing Azazel versi Roth di sini.

Akibat sisi lemah penyutradaraan Roth, saya tak sabar guna beralih dari dua poin alur di atas untuk segera mencapai titik di mana ancaman besar, hasil dari jam yang disembunyikan dalam dinding rumah Jonathan oleh seorang penyihir, mulai merangsek masuk. Jam itu terus berdetak tiap malam. Jonathan dan Florence tak tahu ke mana jam itu bakal membawa mereka, walau pastinya bukan menuju hal menyenangkan. Bahaya itu kesannya menampakkan wujudnya sewaktu Lewis, didorong keputusasaannya untuk mencari teman melalui pembuktian bahwa ia bisa menguasai sihir, nekat melaksanakan hal terlarang. Timbul pertanyaan, “Kenapa Lewis tak memamerkan kemampuannya menggerakkan barang yang telah dikuasainya saja?”. Saya yakin itu sudah cukup memesona bagi kawan-kawannya.

The House with a Clock in Its Walls bermuara di pertempuran trio protagonis melawan monster labu plus banyak sekali makhluk absurd lain, yang kembali, gagal menyentuh intensitas maksimum, salah satunya akhir titik puncak yang berakhir terlampau mudah. Setidaknya, satu momen konyol (dan agak creepy) yang melibatkan “badan Jack Black” mengambarkan bersama-sama Roth, biarpun bukan produsen ketegangan handal, mempunyai otak sinting yang sanggup memproduksi hiburan.

Belum ada Komentar untuk "The House With A Clock In Its Walls (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel