A Man Called Ahok (2018)

Suka/tidak suka itu urusan lain, tapi secara umum dikuasai rakyat Indonesia niscaya tahu siapa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok beserta ideologi dan segala sepak terjangnya. Tapi A Man Called Ahok bukan sekedar coba memindahkan Ahok yang publik kenal di artikel media cetak atau layar beling menuju layar lebar, melainkan memanfaatkan familiaritas penonton terhadap Ahok sebagai pondasi guna menuturkan latar belakang watak dan sikapnya. Kita tahu ia keras, dan film ini jelaskan mengapa ia keras. Kita tahu kebenciannya atas oknum korup, dan film ini jabarkan bagaimana masa lalunya, kehidupannya di Belitung, terutama keluarganya, membentuk kebencian tersebut.

A Man Called Ahok memang karenanya tampil bagai foreshadowing sepanjang 90 menit, khususnya kala tersaji pembicaraan perihal keyakinan sang ayah, Tjung Kim Nam alias Indra Tjahaja Purnama (Denny Sumargo), bahwa kelak puteranya bakal menjadi pejabat, pula pertanyaan soal “Apa bisa orang Cina jadi pejabat?”. Tapi sebagai suguhan yang bertujuan memberi pemahaman akan karakternya, film yang diubahsuaikan dari buku berjudul sama karya Rudi Valinka ini, telah menjalankan tugasnya dengan baik.

Satu hal yang sanggup pribadi kita pelajari, yakni Ahok merupakan “perwujudan” mendiang ayahnya, pemilik tambang timah yang dijuluki “Tauke” alias “bos besar” berkat kesediaannya selalu mengulurkan tangan menolong orang-orang kesusahan, meski itu memaksanya berhutang sana-sini di tengah kondisi bisnis tak menentu akhir praktek korup. Bukan Tjung Kim Nam saja, semua pengusaha di Belitung harus membayar “uang pelicin” apabila tidak ingin proyeknya dipersulit.

Ahok muda (Eric Febrian) melihat ayahnya sebagai laki-laki penyayang, jujur, namun bisa tegas, keras, bahkan tak segan “menyemprot” karyawan yang bertindak curang kemudian memecatnya di muka umum. Singkatnya, serupa Ahok yang kita kenal sebagai Gubernur DKI Jakarta. Terasa bagai kumpulan foreshadowing, untungnya naskah hasil goresan pena sutradara Putrama Tuta (Catatan Harian Si Boy, Noah Awal Semula) bersama Ilya Sigma (Rectoverso, Sundul Gan: The Story of Kaskus) dan Dani Jaka (Modal Dengkul, Pizza Man), rapi dalam merajut dongeng yang poin-poinnya saling mendukung ketimbang sebaran keping-keping acak fase hidup karakternya yang dijahit paksa layaknya kelemahan banyak biopic (setidaknya pada 2/3 awal durasi).

Akting jajaran pemain pun membantu A Man Called Ahok melaju mulus sebagai drama keluarga. Denny Sumargo menghadirkan performa terbaik sepanjang karir sebagai laki-laki penuh kepedulian, bapak penyayang, dan pebisnis tegas. Tiga sisi itu bisa ia satukan untuk membentuk huruf yang utuh. Hal serupa layak dialamatkan pada Eriska Rein—yang kembali ke layar lebar sesudah 3 tahun—selaku pemain drama Buniarti Nigsih alias Cibun, ibunda Ahok. Respon Cibun kala sang suami mengambil uang dari tangannya untuk diberikan pada para peminta pertolongan yakni conton kepiawaian Eriska memainkan emosi kecil namun efektif.

Kemudian filmnya melompat menuju masa cukup umur Ahok (diperankan Daniel Mananta), sewaktu ia gres kembali ke Belitung sesudah merantau, berkuliah di Jakarta. Ahok ingin membantu ayahnya (kini diperankan Chew Kin Wah) yang mulai sakit-sakitan mengurus tambang, sekaligus coba meruntuhkan sistem korup. Tapi eksekusinya tidak semudah di teori. Terdapat perdebatan menarik antara Ahok dan Indra, di mana naskahnya sanggup mengutarakan perspektif berdasar milik kedua pihak, sehingga sanggup memancing pemikiran penonton mengenai “Sudut pandang mana yang benar?”. A Man Called Ahok bukan tengah membenarkan praktek suap, namun mengingatkan betapa ada garis batas abu-abu di antara benar dan salah.

Masalah terbesar fase ini terletak di pergantian pemain. Terasa mengganjal, ketika Indra dan Buniarti (ganti diperankan Sita Nursanti) “berubah wajah”, namun Donny Damara, Ferry Salim, hingga Yayu Unru masih tetap memerankan tokoh masing-masing, dengan hanya sedikit modifikasi tata rias. Dunia dalam A Man Called Ahok pun terasa inkonsisten, apalagi ditambah perubahan huruf Indra. Jangan salah, akting Chew Kin Wah masih sehebat biasanya, masih jago memunculkan haru pada momen dramatis. Tapi Indra versi Denny Sumargo dan versi Chew Kin Wah terang dua huruf berbeda.

Daniel Mananta melaksanakan impersonasi untuk Ahok sebaik mungkin (kecuali rambut palsunya yang nampak asing dari depan), walau ada kalanya ia terlihat menyerupai karikatur, ada kalanya ia berhasil menangani ciri-ciri mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, dari suara, gestur, hingga tabiat. Inilah kesulitan memerankan individu kasatmata dengan kekhasan yang dikenal luas. Aktor mesti melaksanakan pendalaman ekstra, alasannya yakni jikalau tidak, kebebasan interpretasi aktingnya bisa terkekang. Di samping jajaran cast yang lebih luwes lantaran memperoleh kebebasan menafsirkan karakternya, Daniel kerap terjebak permasalahan itu.

Sedangkan di departemen penyutradaraan, Putrama Tuta kembali unjuk gigi, memamerkan kapasitasnya mengkreasi adegan dramatis efektif, yang sesekali bicara hanya lewat visual (shot dari belakang ketika Ahok membesuk ayahnya yang jatuh sakit), sesekali lewat kombinasi visual dengan bahasa verbal (shot dari liang kubur dibarengi kalimat “Makasih Pa” ucapan Ahok, yang tepat merangkum hubungannya dengan sang ayah).

Sayangnya, Tuta sendiri tak kuasa menahan semoga filmnya tak kehilangan pijakan di sepertiga akhir, tatkala kita karenanya datang di babak politik kehidupan Ahok. Penceritaan A Man Called Ahok menjadi terburu-buru, melompat-lompat. Karena ketika itu, mudah semua yang film ini ingin sampaikan (pembentuk sosok Ahok) telah usai, dan masih berlanjut mungkin lantaran anggapan “Kamu tidak bisa menciptakan film perihal politikus tanpa menampilkan karir politiknya”. Bagai sekedar memenuhi obligasi, penuturannya tak lagi menyertakan hati, dan berakhir sekedar melaksanakan checklist. A Man Called Ahok sama sekali tidak buruk, tetapi tokoh menyerupai Basuki Tjahaja Purnama layak diberi film yang lebih dari sebatas “tidak buruk”.

Belum ada Komentar untuk "A Man Called Ahok (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel