Carrie (2013)
Film Carrie isyarat Brian De Palma yang rilis tahun 1976 merupakan teladan sebuah film yang semakin sering dilihat akan semakin bagus hasilnya. Saat pertama kali menonton saya tidak terlalu terpesona kecuali pada akting Sissy Spacek dan Piper Laurie serta klimaksnya yang penuh kekacauan, api dan darah babi tersebut. Tapi semakin sering saya menonton ulang, atmosfer horornya yang kelam semakin terasa kuat, drama wacana bullying pada gadis anti-sosial serta hubungan unik antara Carrie dan ibunya terasa semakin bagus. Berselang 37 tahun kemudian Kimberly Peirce (Boys Don't Cry) mewujudkan kembali Carrie ke layar lebar untuk ketiga kalinya (yang kedua yakni film televisi yang rilis tahun 2002). Tentu saja saya merasa bahwa ini yakni proyek yang pointless meski Peirce menjanjikan pembiasaan terbaru ini akan lebih erat ke novelnya, tapi tetap saja versi De Palma yakni horor klasik yang sulit ditandingi. Tapi berkat jajaran cast yang memukau ibarat Chloe Moretz dan Julianne Moore sayapun tertarik melihat film ini, khususnya untuk melihat bagaimana Chloe Moretz mewujudkan "kegilaan" Carrie White.
Kisahnya tidak berbeda jauh dengan versi De Palma, yakni wacana Carrie (Chloe Moretz), seorang gadis pemalu dan introvert yang dikucilkan di sekolahnya. Tidak jarang Carrie mengalami bullying di sekolahnya termasuk ketika ia ketakutan melihat ada darah mengalir dari tubuhnya yang ternyata yakni darah menstruasi dimana insiden itu berujung pada pelemparan tampon oleh teman-temannya. Kondisi Carrie dirumah ternyata tidak lebih gampang daripada di sekolah jawaban sosok sang ibu, Margareth (Julianne Moore) yang begitu fanatik kepada agaman bahkan menjurus kearah gila. Margareth begitu mengekang kehidupan Carrie dan hanya memaksanya untuk berdoa dan memohon ampun pada Tuhan setiap hari. Namun Carrie bukannya tidak mempunyai orang yang peduli padanya. Ada Miss Desjardin (Judy Greer) sang guru olahraga yang selalu membantu Carrie di sekolah. Kemudian ada juga Sue Snell (Gabriella Wilde), sahabat sekolah Carrie yang merasa bersalah telah melaksanakan bullying pada Carrie dan ingin menebus kesalahannya.
Tentu saja bagi para penonton yang sudah merasakan versi De Palma akan tahu bahwa semua konfliknya akan berujung pada sebuah titik puncak abnormal pada Prom Night. Tapi sebelum hingga disana, akan ada banyak drama wacana Carrie, Margareth dan lingkungan sosial di sekitar mereka. Kaprikornus untuk menciptakan Carrie menjadi sebuah film yang memuaskan sang sutradara harus sanggup memaksimalkan drama di paruh awalnya dengan tetap mempertahankan atmosfer kelam yang mencekam untuk kemudian gres habis-habisan mengumbar horornya sesudah Prom Night dimulai. Saya sendiri tidak berharap akan menerima tontonan yang melebihi versi De Palma, melainkan hanya ingin melihat visi gres seorang Kimberly Peirce terhadap novel Stephen King tersebut. Tapi nyatanya apa yang Peirce lakukan disini hampir sama persis dengan yang dilakukan oleh De Palma dulu. Ini memang bukan shot-to-shot remake tapi semua adegan vital dalam versi 1976-nya diulan lagi disini tanpa banyak menambahkan aspek-aspek gres sebagai pembeda untuk menciptakan filmnya lebih segar. Kecuali opening dan konfrontasi antara Carrie dan Margareth yang mencekam dan cukup brutal di final tidak ada perbedaan antara versi ini dengan versi De Palma.
Kemudian kita bicara momen sebelum titik puncak yang vital untuk tetap menciptakan filmnya menarik meski minus adegan-adegan menyeramkan. Kisah bullying-nya sendiri tidak terlalu mengena alasannya yakni lagi-lagi yang terjadi yakni pengulangan terhadap scene ikonik dari film aslinya ketika Carrie mengalami menstruasi. Selain itu, yang muncul justru memasukkan banyak sekali pop culture ibarat YouTube hingga attitude khas film-film cukup umur yang menampilkan huruf cewek terkenal yang sok cantik, bitchy dan menyebalkan. Yang terjadi yakni Carrie menjadi terasa terlalu cukup umur dan kurang kelam. Begitu juga hubungan antara Carrie dan Miss Desjardin yang kurang tergali dimana sang guru kurang terasa sebagai "guardian angel" bagi Carrie di sekolah. Sedangkan sosok Sue Snell kurang terasa "pertobatannya" sehingga motivasinya untuk berkorban besar bagi Carrie menjadi kurang jelas. Sedangkan hubungan antara Carrie dan Margareth mungkin yang paling terasa kuat, meski pada kesannya kerumitan perasaan Margareth yang bercampur antara sayang dan benci pada Carrie kurang terasa. Dibandingkan menyoroti kelamnya hidup Carrie, film ini nampak lebih tertarik mengeksplorasi perjuangan Carrie mempelajari kekuatan telekinesisnya yang mana merupakan pilihan keliru.
Drama wacana kehidupan kelam Carrie yakni daya tarik utama film aslinya, dan mengurangi porsi hal itu hanya untuk memberi waktu menunjukkan lebih banyak kekuatan Carrie menyebabkan filmnya terasa membosankan di beberapa bagian. Mudah saya pada kesannya hanya sanggup berharap dipuaskan lagi oleh titik puncak prom night yang abnormal tersebut. Jalan menuju kearah sana dibangun dengan baik dimana saya makin bersimpati pada sosok Carrie ketika beliau begitu senang hingga kesannya ketika momen itu datang saya mulai girang. Tapi apa yang terjadi yakni kekecewaan lagi. Meski dibalut pengaruh visual yang lebih mumpuni, visi dari Kimberly Peirce terhadap adegan tersebut terlalu ramah bagi saya. Meski masih melaju kencang, klimaksnya nampak kurang bertaring, dimana kebrutalannya tidak terlalu terasa dan kesadisannya pun terasa lembek. Akhirnya sebelum saya sempat dipuaskan momen itu sudah berakhir, dan makin kecewalah saya. Untung masih ada kejutan di final pada konfrontasi Carrie dan Margareth, tapi lagi-lagi kekecewaan muncul ketika film ini mencoba merekonstruksi ulang scene penutup dari film De Palma dengan begitu menggelikan.
Untung masih ada akting memukau dari Chloe Moretz dan Julianne Moore. Keduanya sama-sama menawarkan versi gres pada huruf yang mereka mainkan. Margareth versi Moore lebih kelam, abnormal dan diliputi kebencian yang lebih besar sedangkan Carrie versi Chloe Moretz lebih "normal" daripada Siisy Spacek yang gila. Membuat Carrie White lebih normal yakni salah satu perjuangan untuk menciptakan film ini lebih gampang dinikmati penonton umum, begitu pula dengan banyaknya unsur drama cukup umur yang menciptakan tone film tidak terlalu kelam. Namun hasil kesannya justru mengecewakan. Carrie menjadi kehilangan sentuhan drama kelamnya, klimaksnya pun tidak menggigit dan dipenuhi hal-hal menggelikan wacana drama remaja. Tidak adanya perjuangan dari Kimberly Peirce untuk menawarkan sentuhan yang berbeda dengan versi De Palma juga makin menciptakan Carrie menjadi remake yang tidak perlu lengkap dengan kualitas yang mengecewakan.
Belum ada Komentar untuk "Carrie (2013)"
Posting Komentar