Fences (2016)

Tanpa mengesampingkan faktor pendukung lain, dalam pementasan teater dengan segala keterbatasannya, akting beserta obrolan (bila ada) merupakan kekuatan terbesar, senjata utama mengalirkan cerita, memberikan emosi, merenggut atensi penonton. Denzel Washington selaku sutradara hasil pembiasaan pementasan berjudul sama karya August Wilson ini paham betul kekuatan tersebut. Tiada penemuan sinematik beliau terapkan, tidak pula long take dieksploitasi sebagaimana film berbasis pertunjukkan teater kebanyakan. Gaya penggarapan Washington hanya punya satu tujuan: menghilangkan sekat antara penonton dengan tontonan, mendekatkan keduanya.

Pittsburgh, 1950. Di suatu sore pada hari Jumat, Troy Maxson (Denzel Washington) bersama sahabatnya, Bono (Stephen Henderson) yang berprofesi sebagai pengumpul sampah gres menuntaskan pekerjaan mereka, dan serupa masyarakat kelas pekerja lain, menentukan bersantai di halaman belakang rumah menikmati final minggu, bercengkerama sembari ditemani sebotol gin. Turut bergabung yaitu Rose (Viola Davis), istri kedua Troy yang telah dinikahinya selama 18 tahun. Troy menceritakan bermacam kisah, begitu banyak hingga Bono menyebutnya "punya lebih banyak kisah dibanding jumlah dosa milik setan". Troy berseloroh penuh pujian semata demi memancing tawa, membuat obrolan hangat sore hari...or is it?
Troy adalah “the giant in the room”, menyimpan setumpuk kisah soal kemenangannya bergulat melawan final hidup (literally) hingga keyakinan bahwa kegagalannya menjadi pemain baseball profesional disebabkan diskriminasi terhadap kaum kulit gelap ketimbang keterlambatan lantaran usia yang terlampau tua. Semakin obrolan berlanjut, semakin kita diajak mempelajari tuturan di atas bukan Roy maksudkan hanya untuk menghangatkan situasi, melainkan ajang unjuk kekuatan, kebesaran sesosok laki-laki sekaligus kepala keluarga dengan kepemimpinan otoriter.

Naskah yang diubahsuaikan sendiri oleh August Wilson sebelum kematiannya pada 2005 membentuk satu studi abjad serta kondisi sosial mendalam. Simak Troy, father figure dari kelas sosial menengah ke bawah yang selalu menekankan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mengesampingkan mimpi pula kebahagiaan yang terlihat dari caranya bersikap kepada dua puteranya, Lyon (Russell Horsnby) si sulung dari ijab kabul pertama dan Cory (Jovan Adepo). Dia mengkritisi bagaimana Lyon bersikukuh bermain musik di kafe ketimbang mencari pekerjaan tetap, juga melawan impian Roy bermain football di sekolah yang menurutnya percuma, alasannya kulit gelap takkan diberi kesempatan bermain.
Dari konteks sosial isunya mungkin usang, meski tetap berperan selaku kapsul waktu, membingkai masa transisi kesetaraan hak antar-ras. Sebagai eksplorasi abjad lain lagi. Melalui plot yang digerakkan oleh gencarnya obrolan tempo tinggi, penonton harus selalu fokus (butuh beberapa menit membiasakan dengan gaya itu) kalau tak ingin melewatkan detail guna menjelaskan insiden atau membangun penokohan, semisal ketika perlahan kita diajak memahami bahwa Troy yang menekankan kemapanan materi, memaksa keluarganya hidup di realita nyatanya menolak berpijak pada realita soal mulai dipandangnya kaum kulit hitam. Lambat laun anggapannya soal pemain baseball kulit gelap yang sukses juga saingan akan jalan hidup putera-puteranya terdengar sebagai bentuk rasa iri.

Penyutradaraan Washington menerjemahkan penggarapan pertunjukkan teater tanpa terasa sekedar reka ulang. Perpindahan fokus yang di atas panggung memanfaatkan permainan lampu diubah menjadi pergantian shot. Lampu yang fade-out kemudian fade-in, bisa tersirat kita rasakan tanpa perlu mentah-mentah menampilkan itu. Karakternya pun tiba dan pergi mencerminkan bagaimana pemain drama silih berganti keluar-masuk panggung. Soal membangun tensi begitu pula emosi, Washington murni mengandalkan performa pemain drama ketimbang memanipulasi menggunakan musik dramatis di mana scoring Marcelo Zarvos berfungsi mengiringi, melengkapi, mendukung, bukan mencuri fokus.
Adaptasi ke dalam media lain sanggup berkhasiat untuk melaksanakan yang sulit dicapai sumbernya. Ketika panggung teater memisahkan, tak kadang membuat jarak antara penonton dengan penampil, “Fences” menghilangkannya ketika Washington banyak menggunakan close-up biar penonton bisa secara terang mengamati, dicengkeram oleh mulut dan ledakan emosi aktor. Mayoritas cast (Washington, Davis, Henderson, Williamson, dan Hornsby) sempat memainkan naskah ini di pertunjukkan tahun 2010 sehingga mereka sama sekali tak canggung mengatasi kalimat-kalimat panjang yang bergulir kencang.

Troy yaitu magnet, menarik perhatian seluruh lawan bicaranya. Demikian pula Denzel Washington yang bergerak dan bicara penuh antisuasme serta energi sehingga penonton bakal terpaku, membisu mengamati. Mykelti Williamson yaitu Gabriel, adik Troy dengan gangguan mental jawaban cedera kepala ketika Perang Dunia II. Karakter macam ini jamak hadir di teater sebagai “simpleton” sang pemicu gelak tawa. Sayang, penampilan Williamson tereduksi dampaknya sewaktu Washington memposisikan “Fences” demikian serius, melucuti peranan comic relief Gabriel, menjadikannya agak out-of-place. But Viola Davis is the real force here. Rose sedari awal cenderung tenang, defensif, meneduhkan, sehingga ketika Davis mencurahkan segala daya upaya meledakkan emosi saya pun dibentuk tercekat. Sebuah performa yang menuntut totalitas akting segala sisi, dan Davis lancar melakoninya, melapangkan jalannya memenangkan Oscar.

Fences” memberi pemahaman bahwa pagar dibentuk untuk melindungi yang di dalam, bukan membatasi, menghalangi mereka keluar dan sepenuhnya membatasi pihak luar sesekali berkunjung ke dalam. Masih mempersoalkan rasialisme, film ini enggan menebar amarah apalagi kebencian. Sebaliknya, seruan saling memahami, menerima, dan memaafkan justru jadi sajian utama yang terpampang pula dari bagaimana ending-nya memancarkan kedamaian dan perdamaian. 

Belum ada Komentar untuk "Fences (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel