Split (2017)

Melalui "Split" M. Night Shyamalan pertanda bahwa "The Visit" dua tahun kemudian bukan keberhasilan temporer, memantapkan lagi posisi sebagai sutradara thriller psikologis pintar, intens, dan (pastinya) mengejutkan. Suguhan penuh teka-teki, ketegangan, dengan balutan twist adalah "cinta pertama" bagi saya. Keasyikan merangkai misteri sambil rutin digedor jantungnya hingga berujung dibentuk terperangah akhir kejutan tak terduga merupakan gerbang pembuka menenggelamkan diri dalam dunia magis sinema. "Split" mengingatkan kepada indahnya masa-masa cinta pertama tersebut.

Suatu siang, tiga dewasa perempuan, Claire (Haley Lu Richardson), Marcia (Jessica Sula) dan si penyendiri Casey (Anya Taylor-Joy) diculik oleh laki-laki misterius berjulukan Dennis (James McAvoy), seorang mysopobia (fobia kotor). Terungkap jikalau sejatinya Dennis merupakan salah satu dari 23 kepribadian milik Kevin Wendell Crumb. Ketiganya pun mulai bertemu satu per satu kepribadian lain, ibarat Hedwig sang bocah 9 tahun, Patricia si perempuan dengan OCD, hingga Barry yang menyukai fashion sekaligus kepribadian paling dominan. Motif penculikan itu guna membangkitkan "The Beast", kepribadian ke-24 yang berdasarkan psikolog Dr. Karen Fletcher (Betty Buckley)  yang selama ini merawat Kevin  hanya fantasi belaka. 
"Split" murni karya fiksi hasil daya imajinasi, tapi Shyamalan pandai merangkai dunia khayal berbasis ajaran "seberapa jauh potensi badan dan pikiran manusia". Bagai versi gelap dan membumi dari "Lucy", Shyamalan memancing kengerian perihal adanya probabilitas kasus ibarat Kevin. Kenyataannya kita mengenal Billy Milligan yang di final 1970-an terungkap punya 24 kepribadian. Cerita buatan Shyamalan mungkin masih terjebak memposisikan penderita kelainan psikologis sebagai pelaku kejahatan, namun ia memberi "keadilan" berupa paparan jikalau pemilik Dissociative Identity Disorder (DID) ialah gifted, di mana masing-masing identitas mewakili perkembangan potensi seseorang ke tahap maksimum. 

Shyamalan masih mengandalkan pacing lambat dan intensitas di beberapa belahan sempat mengendur akhir terlampau ditarik ulur, namun "Split" urung berujung membosankan. Terdapat banyak sekali sesi terapi Kevin (or one of his personality to be precise) dengan Dr. Fletcher yang berkat kecermatan Shyamalan merangkai obrolan terasa bagai pertarungan dua pihak untuk saling menipu dan membongkar. Keseluruhan film pun dibangun sebagai satu sesi terapi besar di mana tiap kepribadian Kevin bercerita, mengatakan setiap sikap khas sedangkan penonton bertindak selaku observer, mempelajari detail masing-masing kepribadian yang oleh Shyamalan dikemas menarik, memunculkan studi huruf menarik pula.
Sang sutradara kembali unjuk gigi soal kepiawaian membangun ketegangan hasil pengemasan solid "kucing-kucingan" sederhana dibantu taktisnya penyuntingan milik Luke Franco Ciarrocchi memainkan tempo, memindahkan adegan di momen tepat. Editing turut berperan menjaga irama dikala flashback masa kemudian Casey kerap mengambil alih fokus. Flashback itu secara cerdas Shyamalan pakai bukan saja demi eksplorasi latar tokoh selaku pondasi, menjelaskan sikap pula kemampuan yang ia punya, tapi juga berfungsi menjalin ikatan protagonis dan antagonis, kemudian menguatkan usungan tema yang membalik klise sajian horor tatkala insan "buruk" (maniak seks, pemabuk, drug addict) menjadi korban. 

Salah satu sumber intensitas "Split" tak lain sisi unpredictable karakter Kevin. Dia bisa sekejap berganti kepribadian yang menghasilkan sikap berlainan nan tak terduga. Akting James McAvoy memfasilitasi terciptanya dinamika tersebut, mulus bertransformasi dari satu langsung ke berikutnya. Keputusan Shyamalan sering menggunakan close-up terbayar sewaktu lompatan huruf McAvoy terjadi di ranah verbal minor sekalipun. Kita sanggup melihat tatapan mata, senyum, gestur kecil, bahkan posisi alisnya berubah seketika. Performa AcAvoy pun mendukung sentuhan komedi yang Shyamalan selipkan dengan tepat di tengah konten kelam filmnya. Alhasil bukan Inkonsistensi tone yang nampak baik dalam pergerakan alur maupun akting McAvoy melainkan dinamika menyegarkan.

Dikenal lewat signature twist ending, Shyamalan tampaknya sadar bahwa mengejar substansi lebih penting dibanding memaksakan kejutan. "Split" enggan membelokkan arah begitu drastis tetapi masih akan menciptakan penonton tercengang atas unsur-unsur yang ditawarkan. Namun ending-nya tetap menyimpan kegilaan sehingga apabila anda ialah penggemar atau setidaknya familiar terhadap karya-karya Shyamalan, bersiaplah tercengang, melonjak kegirangan, atau bersumpah serapah. Hindari segala macam artikel bahkan halaman Wikipedia "Split" dan film Shyamalan lain. The master of modern suspense is back, totally back with a bang!

Belum ada Komentar untuk "Split (2017)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel