Like Father, Like Son (2013)

Mungkin kalau anda mendengar perihal sebuah kisah perihal anak yang tertukar, pikiran anda akan pribadi tertuju pada cerita-cerita konyol ala sinetron-sinetron Indonesia. Mungkin anda jengah, bosan dan akan menganggap bahwa dongeng semacam itu sebagai dongeng yang bodoh. Saya pun demikian, gara-gara sinetron lokal kisah perihal putera atau puteri yang tertukar atau ditukar akan terdengar konyol kini ini. Tapi Like Father, Like Son garapan sutradara asal Jepang Hirokazu Koreeda ini menunjukan bahwa kisah semacam itu kalau memang ditangani dengan benar tetaplah berpotensi menjadi sebuah drama keluarga yang anggun dan menghanyutkan. Film ini sendiri banyak menerima apresiasi dari bebragai ekspo film internasional mulai dari Toronto, Vancouver, San Sebastian hingga puncaknya disaat Like Father, Like Son berhasil memenangkan penghargaan Jury Prize pada Cannes Film Festival tahun lalu. Memang penggagas dan pemicu konflik utama film ini ialah tertukarnya seorang anak, tapi dibalik itu ada banyak drama keluarga lain yang dieksplorasi secara mendalam oleh Koreeda. Makara siapa anak yang tertukar dalam film ini? Namanya ialah Keita (Keita Ninomiya), seorang bocah berusia enam tahun yang merupakan putera tunggal dari pasangan Ryota (Masaharu Fukuyama) dan Midori (Machiko Ono). 

Ryota ialah seorang arsitek sukses dan tentu saja kaya raya. Semua itu ia dapatkan berkat ambisi besar, rasa tidak ingin kalah dan waktu yang ia luangkan untuk terus berkonsetransi pada pekerjaannya tersebut. Tapi semua itu harus dibayar dengan sedikitnya waktu yang bisa ia habiskan bersama Keita. Hanya pada malam hari sepulang kerja saja ia bertemu dengan sang putera, itupun hanya beberapa saat. Meskipun begitu, Ryota punya keinginan atau lebih tepatnya ambisi besar agar Keita bisa mengikuti langkah suksesnya. Salah satunya ialah dengan terus mengajari Keita untuk bermain piano, sesuatu yang juga begitu ia kuasai. Sampai suatu hari Ryota dan Midori menerima kabar mengejutkan dari rumah sakit daerah Keita lahir, bahwa ternyata Keita bukanlah anak mereka. Pada ketika di rumah sakit ternyta Keita tertukar oleh anak dari pasangan Yudai (Riri Furanki) dan Yukari (Yoko Maki). Yudai dan Yukari ialah pasangan suami istri pemilik toko elektronik yang telah memiliki tiga orang anak, dimana salah satunya ialah Ryusei (Shogen Hwang) yang tidak lain ialah putera kandung dari Ryota dan Midori. Bagi kedua pasangan ini dilema besar pun segera menghampiri, yang menciptakan mereka berpikir "haruskah mereka menukar kembali anak mereka sehabis dibesarkan enam tahun lamanya?" 
Like Father, Like Son menjadi menarik alasannya ialah dilema tersebut. Tentu saja itu sebuah dilema yang sulit dan bisa menciptakan saya sebagai penonton ikut mencicipi hal yang dilematis dalam menyikapi konfliknya. Disatu sisi, tentu saja setiap orang renta ingin merawat anak kandung mereka, darah daging mereka sendiri. Tapi disisi lain apakah mereka tega menukar seorang anak yang selama bertahun-tahun sudah mereka rawat, sayangi dan dianggap sebagai anak kandung sendiri? Keempat orang renta yang ada punya dilema yang sama, tapi menyerupai yang sudah disebutkan oleh judulnya, sosok ayah khususnya Ryota bakal diberikan fokus yang lebih. Bagi Ryota yang ambisius, sangat penting bahwa sang putera bisa menyerupai dirinya, bisa sehebat dirinya. Hal itulah yang tidak ia lihat dari Keita yang nyatanya tidaklah berakal bermain piano meski sudah selalu dilatih. Ryota juga menyadari bahwa semakin Keita besar, ia akan semakin menyerupai dengan Yudai, ayah aslinya. Hal inilah yang juga tidak diinginkan Ryota, alasannya ialah baginya Yudai bukanlah seorang ayah yang baik dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan, serta sikapnya yang tidak terlihat tegas. Kalimat "Like Father, Like Son" sendiri akan lebih dieksplorasi lagi ketika kita secara sebentar namun efektif diajak untuk melihat bagaimana relasi Ryota dengan sang ayah, bagaimana ia dididik ketika kecil dulu, dan bagaimana semua itu mempengaruhi sosok Ryota sebagai seorang ayah. 

Saya suka bagaimana film ini terus berhasil memperlihatkan momen yang menarik satu demi satu disaat saya sudah mulai merasa daya tariknya menurun. Hal itu dilakukan dengan aneka macam cara entah itu lewat adegan emosional, humor-humor hangat yang hadir disela-sela interaksi keluarga yang menghidupkan suasana, hingga kejutan-kejutan kecil yang tidak diduga kehadirannya. Hirokazu Koreeda nampak sadar betul bahwa film yang "tenang" tanpa banyak riak-riak emosi menyerupai ini bisa terasa monoton, yang pada alhasil menciptakan sang sutradara menempatkan beberapa momen-momen diatas. Hebatnya, meski hanya tampil sekilas saja, momen-momen tersebut berhasil mengembalikan mood dan atensi saya terhadap filmnya sehabis beberapa kali sempat menurun. Terkadang Like Father, Like Son memang agak monoton, bahkan bergotong-royong durasi dua jam itu terasa terlalu panjang. Saya juga sempat merasa ada dua adegan yang layak untuk menjadi ending film ini sebelum alhasil hingga pada ending yang sesungguhnya. Adegan pertama tepat mengakhiri film ini dengan ambigu layaknya drama-drama arthouse lainnya. Sedangkan ending kedua tepat untuk memancarkan aura positif tapi tetap memperlihatkan kesan menyedihkan juga. Biasanya sehabis ending yang terlalu banyak, sebuah film akan semakin menurun alasannya ialah saya kehilangan ketertarikan dan merasa film seharusnya sudah selesai, tapi Koreeda masih bisa menaikkan kembali daya tarik film seolah sadar bahwa akan ada penonton yang beranggapan menyerupai saya.
Pada alhasil saya akan tetap menentukan dua "ending" yang lain, alasannya ialah ending yang sesungguhnya terasa bermain aman. Tapi toh memang itu esensi yang coba disampaikan Hirokazu Koreeda dalam film ini. Memang itulah tanggapan berdasarkan Koreeda perihal pertanyaan yang hadir perihal dilema karakter-karakternya. Jika bicara soal karakter, semua aksara yang ada disini terasa menarik berkat akting serta karakterisasi yang unik pada diri mereka masing-masing. Yang paling difokuskan tentu saja sosok Ryota dan Yudai. Mereka berdua menampilkan sosok ayah yang berlawanan. Ryota terlihat sebagai kepala keluarga yang bisa diandalkan menuntaskan aneka macam persoalan, tidak menyerupai Yudai yang nampak "lemah". Tapi kalau bicara soal masalah anak, maka segala kelemahan Yudai bermetamorfosis kekuatan besar, sedangkan semua kehebatan Ryota menghilang dan menjadikannya lemah. Akting kedua aktornya pun bagus. Bahkan kedua sosok istri yang lebih banyak berperan sebagai pendukung pun bisa bersinar disini. Midori ialah perempuan yang seringkali tersiksa dibawah bayang-bayang sosok Ryota, tapi beliau terus menerus menekan itu, menjadikannya sebagai sosok aksara yang lebih banyak membisu tapi menarik simpati. Yukari sebaliknya, beliau ialah istri yang nampak lebih bisa diandalkan dari sang suami, terkadang tegas dan menakutkan tapi dibalik itu beliau ibu yang penuh kasih sayang dan mengerti anak-anaknya. 

Dari deskripsi-deskripsi diatas perihal konflik dalam dongeng serta karakter-karakter yang menghiasi filmnya, sanggup disimpulkan bahwa Like Father, Like Son merupakan sebuah film yang benar-benar mengerti tema yang diangkat dan memperhatikan segala detail. Bukan sekedar detail yang nampak diluar, tapi detail yang tersirat dibalik segala hal yang nampak. Presentasinya sederhana, tapi dibalik itu ada kompleksitas luar biasa yang hadir dari konflik dilematisnya. Bisa saja ceritanya menjadi monoton kalau hanya berfokus pada dilema yang berulang-ulang, tapi Hirokazu Koreeda sanggup mengemasnya menjadi eksplorasi yang lebih jauh lagi dengan membuatkan kisah perihal anak yang tertukar menjadi sebuah observasi perihal keluarga dan segala relasi serta friksi yang terjadi di dalamnya. 

Belum ada Komentar untuk "Like Father, Like Son (2013)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel