Ca-Bau-Kan (2002)

Pada ending film, Giok Lan (Niniek L. Karim) yang juga merupakan narator film ini melaksanakan pembenaraan sekaligus pembelaan atas profesi Ca-Bau-Kan yang sering dianggap "wanita murah". Sejatinya istilah "Ca-Bau-Kan" sendiri merupakan Bahasa Hokkian yang artinya "perempuan". Namun pada masa kolonialisme lebih sering diasosiasikan sebagai pelacur/simpanan para laki-laki Tionghoa. Sebuah narasi epilog seringkali merupakan konklusi sekaligus pesan yang ingin disampaikan sebuah film secara menyeluruh. Beranjak dari situ sekaligus track record Nia Dinata selaku sutradara dan penulis naskah, sanggup disimpulkan Ca-Bau-Kan ingin menjadi sebuah koreksi akan balasan masyarakat umum terhadap sekelompok wanita. Dalam filmnya sendri beberapa kali aksara Tinung (Lola Amaria) sang Ca-Bau-Kan digambarkan lewat obrolan sebagai sosok penting dalam kebesaran sang suami, Tan Peng Liang (Ferry Salim). 

Contohya ialah suatu adegan pada setting tahun 2000 ketika Giok Lan mengunjungi Oey Eng Goan (Joseph Ginting) di rumah sakit. Eng Goan menyatakan bahwa ia sama sekali tidak menduka seorang Tinung sanggup menjadi sosok kunci dalam keberhasilan Tan Peng Lian. Pertanyaannya, kunci di sebelah mana? Karena sebelum itu kita tidak berguru banyak wacana korelasi mereka berdua. Diawali dengan pertemuan pertama yang terjadi pada sebuah festival, Peng Liang mulai jatuh hati pada Tinung. Keduanya pun menikah meski Peng Lian telah memiliki istri yang sedang sakit parah dan dua orang putera. Kemudian dongeng berpindah pada perseteruan antara Peng Liang dengan sekelompok dewan pengusaha berjulukan "Kong Koan". Keduanya sempat terpisah namun Tinung selalu setia menantikan sang suami meski banyak menerima penderitaan. Apa yang terjadi sehabis peryataan Eng Goan diatas pun tidak jauh beda. Peng Liang kembali bersatu dengan Tinung, kemudian ikut berperan membantu usaha melawan penjajahan Jepang. 
Lalu bab sebelah mana yang hingga sanggup menciptakan Tinung berperan besar dalam kebesaran nama sang suami? Jangankan menunjukkan itu, Tinung selaku titular character saja terasa terpinggirkan dalam kisahnya sendiri. Paruh awalnya memang menunjukkan fase kehidupan Tinung ketika pertama memulai bekerja sebagai Ca-Bau-Kan hingga diambil sebagai selir seorang juragan pisang yang juga berjulukan Tan Peng Lian (Moejiono). Tapi sejak Tan Peng Lian dari Semarang hadir, sosok Tinung mulai terpinggirkan. Pada awalnya saya merasa hal itu hanya sementara, alasannya ialah filmnya memang butuh waktu tersendiri guna menggali aksara Pen Liang. Saya pun masih memaklumi "hilangnya" Tinung dari sentral dongeng alasannya ialah toh penggalian aksara Pen Liang tampil begitu menarik. Selipan konflik dagang yang sifatnya politis dan penuh konspirasi justru berhasil meningkatkan dinamika. Karakter Pen Liang pun dijelajahi dengan baik. Lewat momen-momen itu kita mulai mengenalnya sebagai pedagang yang kharismatik sekaligus punya banyak sekali trik licik dengan memanfaatkan kekayaannya. Dia sanggup mengontrol banyak pihak mulai dari kepolisian hingga pengadilan.

Setelah lengkap mengeksplorasi tokoh Pen Liang, film ini akan kembali pada Tinung atau korelasi keduanya, begitu saya kira. Namun sehabis beberapa usang saya mulai sadar bahwa naskah goresan pena Nia Dinata dan Puguh P.S. Admaja memang kesulitan untuk merangkum segala sisi yang dimiliki ceritanya. Begitu banyak konflik yang coba dimasukkan dalam film berdurasi dua jam ini. Selain eksplorasi dua tokoh utama dan perseteruan dengan "Kong Kuan" ada pula aspek usaha kemerdekaan yang muncul. Entah darimana secara tiba-tiba Peng Lian yang pada awalnya digambarkan sebagai pedagang licik itu punya sisi nasionalisme besar lengan berkuasa dalam dirinya. Segala tindakan kotor yang ia ambil ternyata bukan sekedar demi memperkaya diri namun juga untuk melawan kolonialisme Belanda kemudian kemudian Jepang. Separuh kedua film ini pun menjadi dipenuhi konflik berbeda yang dipaksakan untuk membaur sebagai satu kesatuan. Saya belum membaca novel Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa karya Remy Sylado yang merupakan materi pembiasaan film ini. Tapi dengan konten lebih dari 400 halaman rasanya cukup untuk mengeksplorasi itu semua, berbeda dengan dua jam durasi film ini.
Seperti "penyakit" kebanyakan film bertema biografi sejarah atau pembiasaan epic novel, film ini berusaha menampilkan sebanyak mungkin momen penting yang justru berakhir numpang lewat karena hadir hanya sepotong saja, setidaknya itulah yang terjadi pada paruh kedua sehabis paruh pertama yang mengalir begitu baik. Pesan yang coba diutarakan wacana profesi Ca-Bau-Kan pun tidak tersampaikan dengan baik, alasannya ialah pada kesudahannya Tinung tidak pernah nampak sebagai tokoh yang kuat. Memang penonton berhasil diyakinkan bahwa beliau bukan perempuan murahan, melainkan terhimpit keadaan. Dia besar lengan berkuasa alasannya ialah sanggup bertahan akan segala tekanan tersebut. Tapi butuh lebih dari sekedar itu untuk sanggup menjadikannya sosok besar lengan berkuasa yang menciptakan penonton kagum. Apalagi ketika diceritakan ia menyokong sosok Pen Liang. Sebagai romansa pun sama saja, alasannya ialah sehabis beranjak dari perkenalan keduanya tidak pernah ada eksplorasi jalinan cinta antara mereka. Baru ketika filmnya hampir usai, kita dibawa lagi kesana, itupun tidak banyak. 

Cukup disayangkan alasannya ialah saya yakin Lola Amaria punya kapasitas untuk bertransformasi dari Tinung yang tertindas menjadi Tinung si perempuan kuat. Sangat disayangkan pula kegagalan bertutur itu, alasannya ialah Ca-Bau-Kan adalah sebuah prestasi besar dalam tema yang diangkat sekaligus tata artistik. Pada masanya film dengan judul serta unsur budaya Tionghoa yang kental ibarat ini belumlah ada. Ca-Bau-Kan merupakan sebuah gebrakan dalam hal tersebut. Kondisi yang diangkat pun amat menarik, disaat banyak film ber-setting era penjajahan lebih berfokus pada perlawanan terhadap penjajah dengan selipan sedikit konflik internal, film ini sebaliknya. Kita diperlihatkan usaha yang terjadi dalam kaum Tionghoa dan di dalamnya pun terjadi banyak sekali macam perpecahan. Bahkan prolognya yang menunjukkan pertengkaran dua orang perempuan pun sudah menunjukkan itu, bagaimana banyak rakyat Indonesia justru saling terpecah belah alasannya ialah kepentingan langsung disaat seharusnya bersatu melawan satu musuh. 

Tata artistiknya juga menunjukkan bagaimana keberhasilan riset mendalam yang dilakukan Nia Dinata dan timnya. Setting penuh aspek kultural Tionghoa termasuk festival-festivalnya, kostum yang juga didukung oleh para desainer ibarat Robby Tumewu dan Yongki Komaladi (turut berakting disini), serta pemilihan musiknya berhasil membangun suasana besar lengan berkuasa sehingga penonton seolah benar-benar diajang "terbang" ke setting waktu dan lokasi yang digunakan. Tidak hanya pada tahun 2002, jikalau dibawa ke masa kini pun film ini masih akan menonjol dilihat dari totalitas penggarapannya.

Verdict: Ca-Bau-Kan adalah gebrakan sekaligus film yang penting, itu pasti. Tapi hal itu terbatas pada tema dan techincal achievement saja. Namun sayangnya bukan sebuah film yang manis alasannya ialah kegagalan ambisi besar Nia Dinata untuk mengeksekusi dongeng sekaya ini. Untung paruh pertamanya begitu kuat.

Belum ada Komentar untuk "Ca-Bau-Kan (2002)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel